Alokasi Anggaran Pertahanan Cerminan Kinerja Ekonomi Nasional

Alman Helvas Ali CNBC Indonesia
Rabu, 16/07/2025 05:40 WIB
Alman Helvas Ali
Alman Helvas Ali
Alman Helvas Ali adalah konsultan pada Marapi Consulting and Advisory dengan spesialisasi pada defense industry and market. Pernah menjadi C... Selengkapnya
Foto: Kendaraan lapis baja listrik Pandu Maung MV3 buatan Pindad saat pameran Indo Defence 2024 Expo and Forum di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Rabu (11/6/2025). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Sejak tahun 2004 sampai kini, anggaran pertahanan Indonesia selalu berkisar antara 0,7 persen hingga 0,8 persen Pendapatan Domestik Bruto (PDB), walaupun Indonesia digolongkan oleh Bank Dunia sebagai negara upper middle income. Mencermati Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dalam beberapa tahun terakhir, realisasi anggaran pertahanan seringkali lebih tinggi daripada pagu APBN, dengan pengecualian pada Tahun Anggaran (TA) 2021.


Tentu saja pagu APBN maupun realisasi belanja untuk Kementerian Pertahanan tidak dapat dijadikan satu-satunya acuan menyangkut belanja pertahanan, sebab terdapat kegiatan belanja pertahanan yang dibiayai oleh Pinjaman Luar Negeri (PLN) dan Pinjaman Dalam Negeri (PDN). Selama kurun 2020-2024, terjadi peningkatan drastis PLN dan PDN dibanding antara periode 2015-2019 yang dialokasikan bagi pengadaan sistem senjata.

Terjeratnya anggaran pertahanan Indonesia pada angka 0,7 persen sampai 0,8 persen dari PDB tidak dapat dilepaskan dari kinerja ekonomi nasional yang tidak memukau dalam 10 tahun terakhir. Mengacu pada data yang tersedia, selama era 2014-2024 pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata hanya 4,2 persen. Sementara pada masa 2004-2014 rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,74 persen berdasarkan data Badan Pusat Statistik.

Tanpa pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sukar untuk meningkatkan anggaran pertahanan secara drastis mengingat setiap pemerintahan memiliki prioritas belanja non sektor pertahanan yang harus dipenuhi, apalagi jika belanja tersebut terkait dengan janji politik kampanye pemilu presiden.

Beberapa waktu lalu Menteri Keuangan sudah menyampaikan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) RAPBN 2026 kepada DPR. Berdasarkan KEM-PPKF RAPBN 2026, terdapat delapan strategi dalam mewujudkan Indonesia yang tangguh, mandiri, dan sejahtera, satu di antaranya ialah pertahanan semesta.

Terkait hal tersebut, Kementerian Keuangan menetapkan bahwa pagu indikatif APBN Kementerian Pertahanan pada RAPBN 2026 adalah Rp 167,4 triliun. Namun Kementerian Pertahanan sepertinya tidak puas dengan pagu indikatif tersebut sehingga mengusulkan kepada DPR agar pagu indikatif dinaikkan menjadi Rp 184 triliun.

Apabila menilik tantangan yang dihadapi oleh Kementerian Pertahanan, memang pada TA 2026 terdapat beberapa kegiatan belanja yang memerlukan anggaran yang besar.

Pertama, aktivitasi kontrak akuisisi sistem senjata. Memperhatikan secara seksama revisi DIPA keempat APBN 2025 Kementerian Pertahanan, alokasi dana Rupiah Murni Pendamping (RMP) bagi aktivasi kontrak pengadaan peralatan perang nilainya cukup kecil sehingga mungkin hanya lima atau enam kontrak saja yang akan berstatus efektif pada tahun ini.

Diperkirakan masih ada sekitar 50 kontrak pembelian sistem senjata yang menunggu alokasi dana RMP pada tahun fiskal 2026 andaikata Kementerian Keuangan menyetujui loan agreement. Pencapaian MEF 2020-2024, baik ditinjau dari sisi berapa banyak kontrak yang dapat diaktivasi dan berapa persen daya serap PLN, nampaknya akan ditentukan pada TA 2026, di mana hal demikian juga mencerminkan betapa alokasi PLN senilai US$25 milyar tidak mudah untuk dieksekusi.

Kedua, pembayaran utang PLN dan PDN. Setiap tahun terdapat utang jatuh tempo yang harus dibayarkan oleh Kementerian Pertahanan, di mana utang tersebut mencakup pokok utang beserta bunga utang. Sampai kini belum terdapat informasi berapa besar utang jatuh tempo untuk tahun depan.

Namun apabila mengacu pada data tahun-tahun sebelumnya maka bernilai triliunan Rupiah. Sebagai gambaran, pada tahun ini jumlah PLN yang jatuh tempo bagi belanja sistem senjata bernilai dua digit dalam triliun Rupiah yang pembayarannya berasal dari alokasi belanja modal.

Ketiga, pembentukan Batalyon Teritorial Pembangunan (BTP). Rencana pembentukan 300 BTP diperkirakan memerlukan anggaran senilai Rp 12 triliun, di mana pada tahun ini TNI Angkatan Darat berencana merekrut 24 ribu tamtama untuk mengisi 100 BTP.

Angka Rp 12 triliun mengacu pada alokasi anggaran awal yang disetujui bagi pembentukan 50 BTP pada semester pertama 2025. Salah satu konsekuensi pembentukan 300 BTP adalah meningkatnya kebutuhan belanja pegawai pada RAPBN 2026 karena kebijakan zero growth personel kini sudah tidak dianut lagi.

Terkait permohonan Kementerian Pertahanan kepada DPR agar menaikkan pagu indikatif RAPBN 2026 dari Rp 167,4 triliun menjadi Rp 184 triliun, apakah pemerintah masih mempunyai kapasitas fiskal untuk memenuhi hal tersebut? Mengacu pada KEM PPKF RAPBN 2026, bersama dengan pertahanan semesta terdapat tujuh strategi lain yang menjadi prioritas pemerintah, termasuk Makan Bergizi Gratis, ketahanan pangan, ketahanan energi dan pembangunan desa, koperasi dan UMKM.

Pemerintah sepertinya menempatkan pembiayaan delapan strategi sebagai prioritas, sementara ruang fiskal kian terbatas yang antara lain disebabkan oleh proyeksi menurun pendapatan pajak pada tahun ini di tengah peningkatan kebutuhan belanja negara. Dengan ruang fiskal yang terbatas, Kementerian Pertahanan bersaing dengan kementerian/lembaga lain yang juga sudah mengajukan permohonan kenaikan pagu indikatif untuk RAPBN 2026.

Ketidakpastian yang membayangi situasi politik ekonomi global ke depan mempengaruhi pula kinerja ekonomi Indonesia. Apabila kinerja ekonomi tidak sesuai prediksi, maka hal tersebut akan memaksa pemerintah untuk menerbitkan utang baru dan atau menggunakan dana Saldo Anggaran Lebih (SAL) guna menutupi defisit.

Sejauh ini pemerintah memilih memakai SAL untuk menambal pelebaran defisit karena penurunan penerimaan pajak dan peningkatan belanja negara. Pada sisi lain, sejumlah pihak menyebut bahwa Debt Service Ratio Indonesia saat ini sudah mencapai 45 persen atau dengan kata lain 45 persen dari pendapatan negara digunakan untuk membayar pokok utang dan bunga utang.

Kenaikan alokasi pagu indikatif RAPBN 2026 untuk Kementerian Pertahanan sebesar 10 persen dari Rp 167,4 triliun menjadi Rp 184 triliun akan tergantung pada kesepakatan antara DPR dan Kementerian Keuangan dalam pembahasan RAPBN 2026 setelah presiden membacakan RAPBN 2026 dan Nota Keuangan.

Berdasarkan perhitungan, kenaikan pagu indikatif sebesar 10 persen nampaknya sulit dilakukan tanpa mengorbankan alokasi bagi kementerian/lembaga lain. Kenaikan alokasi pagu indikatif mungkin pula terjadi jika pemerintah bersedia memperbesar ruang utang baru pada tahun depan dengan segala konsekuensi, khususnya utang jangka pendek.

Alokasi anggaran pertahanan yang belum mencapai 1,5 persen PDB merupakan cerminan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional belum dapat mendukung hal tersebut. Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerintah memiliki pekerjaan rumah yang penuh tantangan terkait dengan banyak hal, seperti pembenahan daya saing Indonesia.

Andaikata pada akhir dekade ini pemerintah mampu menaikkan alokasi anggaran pertahanan menjadi satu persen PDB berkat pertumbuhan ekonomi rata-rata enam persen, hal demikian sudah merupakan pencapaian yang luar biasa.

Penting untuk diingat bahwa membahas tentang alokasi anggaran pertahanan harus selalu dikaitkan kinerja pertumbuhan ekonomi nasional, sebab pembangunan sektor pertahanan tidak boleh mengorbankan sektor-sektor lain yang terkait dengan kesejahteraan masyarakat.


(miq/miq)