Warisan Utang dan Tantangan Fiskal Pemerintah Prabowo

Dr. Anggawira, CNBC Indonesia
14 July 2025 11:10
Dr. Anggawira
Dr. Anggawira
Dr. Anggawira merupakan pemimpin di dunia bisnis dan berbagai organisasi. Ia dipercaya sebagai Sekretaris Jenderal HIPMI 2022-2025 dan Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi Mineral & Batubara (ASPEBINDO). Saat ini, Anggawira menjabat sebagai Komisaris PT. Bum.. Selengkapnya
Penegak Hukum Sikat Korupsi Diancam, Prabowo: Saya Tidak Gentar
Foto: Ilustrasi Prabowo Subianto. (Edward Ricardo Sianturi/CNBC Indonesia)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Di balik narasi keberhasilan pembangunan infrastruktur selama dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), tersembunyi tantangan berat yang kini diwarisi oleh Presiden Prabowo Subianto: beban fiskal akibat lonjakan utang.

Hingga akhir 2024, utang pemerintah Indonesia tercatat sekitar Rp 8.000 triliun atau hampir 39% dari PDB. Jika ditambah utang BUMN dan skema penjaminan lainnya, total eksposur fiskal negara bisa mendekati Rp 15.000 triliun hingga Rp 19.000 triliun seperti telah diperingatkan oleh INDEF dan ekonom nasional sejak beberapa tahun lalu.



Meski rasio utang terhadap PDB Indonesia masih relatif moderat dibandingkan negara maju, yang menjadi perhatian adalah struktur dan utilisasi utangnya. Tidak semua utang yang besar bermasalah, selama dikelola secara efisien dan menghasilkan produktivitas. Sayangnya, sebagian utang kita digunakan untuk pembiayaan proyek-proyek infrastruktur yang belum sepenuhnya memberikan return fiskal maupun ekonomi.

Ruang Fiskal Menyempit, Risiko Membesar
Ada tiga indikator penting yang harus dicermati. Pertama, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan pajak telah mencapai sekitar 20%, dua kali lebih tinggi dari batas aman versi IMF. Artinya, hampir 1 dari 5 rupiah yang dikumpulkan dari pajak habis untuk membayar bunga-belum termasuk pokoknya.

Kedua, profil utang jangka pendek Indonesia cukup tinggi. Pada 2025 saja, lebih dari Rp 700 triliun Surat Berharga Negara (SBN) jatuh tempo. Jika tidak dikelola dengan cermat, ini dapat menciptakan tekanan pembiayaan dan volatilitas pasar.

Ketiga, komitmen belanja sosial dan subsidi harus tetap dijaga di tengah tekanan fiskal. Program-program seperti bantuan langsung tunai, subsidi energi, hingga ketahanan pangan sangat krusial bagi stabilitas sosial dan politik, terutama di tahun-tahun awal pemerintahan.

Benchmark ASEAN: Pelajaran dari Tetangga
Untuk memahami posisi Indonesia, penting membandingkan dengan negara tetangga.

• Malaysia memiliki rasio utang terhadap PDB sebesar 63% (2024), namun beban bunga hanya sekitar 13% dari penerimaan negara. Malaysia juga sudah mulai menurunkan subsidi energi dan memfokuskan insentif untuk sektor strategis berbasis manufaktur dan teknologi.
• Thailand, dengan rasio utang 61% dari PDB, mampu menjaga defisit fiskal di bawah 3% melalui reformasi pajak pertambahan nilai (VAT) dan efisiensi belanja publik.
• Filipina, meskipun memiliki rasio utang 60% PDB, telah meningkatkan tax ratio-nya hingga 14-15% berkat program Comprehensive Tax Reform yang agresif dan digitalisasi sistem perpajakan.

Indonesia, yang saat ini memiliki tax ratio stagnan di kisaran 10,5%, tertinggal jauh dari benchmark kawasan. Di sisi lain, utilisasi utang yang belum optimal dan masih tingginya fiscal leakage membuat efisiensi belanja menjadi isu mendesak.

Lima Rekomendasi Strategis
1. Reformasi Pajak Inklusif dan Digital
Perluasan basis pajak wajib dilakukan, terutama di sektor ekonomi digital dan informal. Pemerintah juga bisa mempertimbangkan penguatan cukai (termasuk carbon tax dan sugar tax) serta evaluasi insentif pajak korporasi yang tidak produktif.

2. Reorientasi Belanja untuk Transformasi Ekonomi
Belanja negara harus difokuskan pada pendidikan vokasi, riset teknologi, dan ketahanan pangan berbasis industri. Program subsidi perlu diarahkan menjadi subsidi langsung, bukan berbasis komoditas.

3. Manajemen Utang yang Transparan dan Produktif
Audit independen terhadap proyek infrastruktur hasil utang harus menjadi agenda rutin. Selain itu, pemerintah perlu memperluas instrumen pembiayaan inovatif seperti green bonds, diaspora bonds, dan revenue-based financing.

4. Reformasi BUMN sebagai Pilar Fiskal Baru
Sebagai entitas yang menampung banyak utang negara, BUMN harus direstrukturisasi. IPO anak usaha strategis, divestasi aset non-produktif, dan pembentukan investment holding untuk sektor-sektor kunci bisa meningkatkan efisiensi dan daya saing.

5. Konsolidasi Fiskal dan Komunikasi Publik
Konsistensi menjaga defisit di bawah 3% PDB akan mengirimkan sinyal kuat kepada investor. Di sisi lain, pemerintah perlu membangun narasi fiskal yang transparan dan inklusif agar kebijakan tidak menimbulkan resistensi sosial.

Kesimpulan: Ujian Kepemimpinan Ekonomi
Pemerintahan Prabowo memiliki peluang untuk membalikkan tantangan menjadi momentum koreksi fiskal. Warisan utang bukan akhir dari segalanya, tapi alarm bahwa Indonesia perlu mengubah cara belanja dan meminjam secara lebih disiplin, produktif, dan terukur.

Kita tidak boleh alergi terhadap utang, namun harus tegas dalam memastikan setiap rupiah utang menciptakan nilai tambah ekonomi, bukan sekadar pertumbuhan nominal. Pelajaran dari negara tetangga membuktikan bahwa disiplin fiskal adalah fondasi utama bagi pembangunan yang berkelanjutan dan berdaulat.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation