Elegansi dan Rantai Nilai

Fakhrul Fulvian CNBC Indonesia
Rabu, 09/07/2025 05:20 WIB
Foto: Ilustrasi masyarakat. (Edward Ricardo/CNBC Indonesia)

Pengantar Serial Matinya Ilmu Ekonomi: Di tengah dunia yang terus bergerak cepat namun terasa semakin kosong, kami mengajak anda untuk berhenti sejenak, untuk menoleh ke belakang, menatap ke dalam, dan melihat ke depan. Serial Matinya Ilmu Ekonomi bukan sekadar kumpulan kritik.

Ia adalah upaya jujur untuk memandang ilmu ekonomi dari sudut yang jarang diterangi: dari sisi yang tidak selalu efisien, tidak selalu rasional, tapi sepenuhnya manusiawi.

Di sini, kami ingin menyegarkan kembali ingatan kita akan mengapa ekonomi ada, bukan hanya sebagai alat hitung, tetapi sebagai cermin kegembiraan, pencapaian, penderitaan, ketimpangan, dan harapan zaman. Adapun Episode ke-8 ini penulis beri judul: "Elegansi Dan Rantai Nilai". Semoga bermanfaat, Selamat Menikmati.

Membela Elegansi dan Kemewahan Sebagai Jalan Menuju Pertumbuhan dan Martabat Manusia
Kita sering diminta hidup sederhana. Tapi siapa sangka, justru rumah besar dan pesta mewah bisa menyelamatkan ekonomi? Produktivitas telah menjadi sebuah obsesi baru, segala sesuatu yang dianggap tidak langsung menghasilkan laba mulai dicurigai, bahkan dicela.


Rumah besar disebut boros. Pesta mewah dicibir dan Busana yang indah dianggap sia-sia. Semuanya harus ringkas, fungsional, dan lean. Kita sekarang lupa, bahwa dari balik spreadsheet yang dingin itu, kita lupa satu hal: bahwa ada begitu banyak tangan yang bekerja, hidup, dan menggantungkan harapannya pada sesuatu yang kita sebut elegansi.

Pada zaman now kesederhanaan dipuja sebagai nilai universal, tapi ia diam-diam menyembunyikan arogansi: bahwa yang sederhana, murah, dan efisien itu lebih bermoral. Kita melupakan bahwa dunia tak hanya dibangun oleh efisiensi. Ia juga dibangun oleh upacara, oleh keindahan, oleh busana pengantin yang dirancang dengan cinta, oleh rasa yang diwariskan oleh kuali dan dandang, serta oleh meja makan besar yang menampung tiga generasi.

Pawai kenegaraan, keriuhan pernikahan, dan tarian keluarga di malam syukuran adalah apa yang kita ingat dan kita catat dalam sejarah keluarga dan bangsa, bukan berapa banyak mur atau kain yang dihabiskan.

Ekonomi modern terlalu lama berpihak pada logika yang kering: bahwa nilai = fungsi / biaya. Maka segala sesuatu yang tidak punya fungsi langsung akan dicoret. Tapi di mana tempat bagi perancang gaun? Bagi penata bunga? Bagi juru masak pribadi, asisten rumah tangga, pelayan pesta, penata rumbut, juru rias, fotografer keluarga, dan arsitek interior? Mereka hidup dalam orbit elegansi. Mereka hidup dari upacara. Di balik gaun pengantin yang memesona, ada lima tangan yang bekerja dengan cinta.

Dari Kritik Galbraith ke Pembelaan Elegansi
Kenneth Galbraith dalam The Affluent Society (1958) menyuarakan kritik terhadap masyarakat makmur yang terperangkap dalam konsumsi yang kosong: barang-barang pribadi melimpah, sementara fasilitas publik terbengkalai. Ia menyebutnya sebagai paradoks kekayaan, masyarakat kaya tapi miskin makna.

Galbraith benar dalam satu hal: kita harus berhati-hati terhadap kemewahan yang hanya menjadi pamer. Tapi kita juga harus lebih cermat membedakan dua hal: Affluensi yang hampa ketika konsumsi menjadi pelarian. Lalu juga ada elegansi yang berakar, ketika gaya hidup menciptakan kerja, relasi, ekonomi dan nilai sosial.

Dalam nada yang senada namun dari sisi sejarah, Kaisar Wilhelm II dari Jerman, di masa pengasingannya pasca-Perang Dunia I, kerap meratapi hilangnya Jerman sebagai negeri seni dan budaya. Ia melihat tanah airnya berubah menjadi negara pedagang, kehilangan aristokrasi, kehilangan elegansi.

Dalam kesaksian para penulis biografinya, Wilhelm II melihat transformasi itu sebagai kemunduran: dari bangsa yang dahulu agung dan berbudaya tinggi menjadi masyarakat yang sibuk menghitung laba dan kehilangan cita rasa.

Jerman di masa itu telah jadi negara yang dingin. Elegansi telah mati dan aristokrasi lenyap. Dulu kita punya gaya, sekarang hanya ada hitung-hitungan. Pernyataan itu bukan hanya nostalgia Kaisar yang kalah, tetapi juga pengingat bahwa peradaban membutuhkan ruang untuk keindahan. Bahwa seni, upacara, dan keanggunan adalah bagian dari infrastruktur batin suatu bangsa. Dan ketika itu hilang, bukan hanya pekerjaan yang sirna, tapi juga martabat kolektifnya.

Elegansi adalah infrastruktur dari rantai nilai. Sebuah rumah besar bukan sekadar tempat tinggal. Ia adalah ekosistem kerja. Di dalamnya ada sopir, ART, tukang kebun, tukang listrik, katering, hingga guru privat. Setiap dinding, setiap ruang, adalah peluang kerja.

Sebuah pernikahan mewah bukan sekadar simbol status. Ia adalah sumber hidup bagi desainer busana, florist, MC, pemusik, penata lampu, fotografer, penjaga keamanan, hingga penyedia tenda. Bahkan seorang ibu yang menggelar arisan besar telah menciptakan permintaan bagi katering lokal dan jasa rias. Mereka semua terlibat dalam rantai nilai, bukan dalam dosa konsumsi, tapi dalam penciptaan nilai ekonomi yang manusiawi.

Dua Dunia: Yang Elegan dan Yang Fungsional
Bayangkan dua pernikahan. Yang pertama, berlangsung di sebuah gedung minimalis. Semua serba efisien. Makanan dipesan daring, tanpa interaksi. Tak ada MC, tak ada pemusik. Pengantin memakai busana jadi, dibeli lewat e-commerce. Foto diambil oleh tamu dengan ponsel masing-masing. Tak ada dekorasi, tak ada tenda. Bahkan tidak ada undangan cetak. Hemat. Ringkas. Fungsional.

Yang kedua, berlangsung di halaman rumah keluarga besar. Sejak pagi, tetangga dan penyedia jasa datang. Tukang dekor, penata lampu, florist, MC, fotografer, tim dokumentasi video. Sang pengantin memakai busana rancangan khusus dan dijahit selama berminggu-minggu.

Masakan dikelola katering rumahan yang mempekerjakan 20 ibu-ibu lokal. Ada petugas parkir, penjaga keamanan, penyewa kursi, penyedia panggung, penata suara, bahkan penyanyi keroncong malam harinya. Mahal? Iya. Tapi bukan cuma untuk pamer, melainkan untuk menghidupi banyak sekali tangan.

Di pesta yang elegan itu, pekerjaan diciptakan bukan karena keperluan, tapi karena cinta pada detail. Dan pekerjaan yang diciptakan bukan hanya fungsional, tapi bermakna. Elegansi ternyata mendatangkan keberkahan untuk banyak orang. Elegansi ini membuat kita bisa meningkatkan margin tanpa ekspansi lelah.

Upacara sebagai Sumber Pertumbuhan Ekonomi
Kita harus membela upacara keagamaan, kenegaraan, fashion show, perjalanan dinas dan acara keluarga sebagai bagian dari pembangunan. Mereka bukan pemborosan, melainkan pusat gravitasi dari kerja manusia.

Upacara kenegaraan menciptakan permintaan akan tata busana nasional, paduan suara anak, pawai seni, pengamanan, dan desain protokoler. Pesta keluarga menciptakan permintaan atas jasa catering, rias pengantin, dekorasi, musik, MC, hingga jasa mobil. Perayaan keagamaan menghidupkan perajin kue, penjual baju muslim, seniman kaligrafi, penyewa karpet, guru mengaji, hingga biro perjalanan haji.

Di dalam upacara, ada waktu untuk hening, ada ruang untuk hormat, ada urutan, bukan karena kita kaku, tapi karena kekacauan tak bisa jadi budaya. Ketika pemimpin pakai batik terbaiknya,ketika ajudan menuntun seorang lansia turun panggung, ketika podium dibersihkan sebelum digunakan adalah hal-hal yang subtil. Semua itu elegansi yang mengandung jiwa pelayanan. Dan di situlah kebangsaan menemukan bentuknya.

Jika kita ingin pertumbuhan ekonomi tinggi, maka pertumbuhan itu tidak bisa hanya bersumber dari ekspor, pabrik, atau digitalisasi. Ia harus tumbuh dari perayaan, dari estetika, dari dunia kerja yang membutuhkan kehadiran manusia secara utuh, bukan hanya klik dan logistik.

Dunia elegan itu menciptakan banyak lapangan pekerjaan. Sektor elegan itu padat karya secara alami. Ia tidak bisa diotomatisasi. Tidak bisa disubstitusi oleh AI, karena AI terlalu bagus dan membosankan. Ia juga tidak bisa diimpor dari China. Busana adat harus dijahit dengan cinta. Ritual keluarga harus disiapkan oleh tangan manusia. Musik pengiring tak bisa disintesis penuh dan masakan itu harus dibuatkan oleh tangan hangat ibu, bukan robot canggih.

Bandingkan dengan ekonomi yang fungsional: apartemen mungil yang bahkan tak butuh ART, makanan beku yang tinggal dipanaskan, kehidupan yang berjalan sendiri tanpa perlu banyak interaksi. Dunia fungsional tampak canggih, tapi ia miskin pekerjaan. Penyerapan tenaga kerja yang tinggi hanya akan lahir dari dunia yang menghargai elegansi. Karena hanya dalam dunia yang mencintai detail, makna, dan perayaan, pekerjaan manusia masih dibutuhkan dalam bentuknya yang utuh.

Di tengah ekonomi yang semakin tipis dan mentalitas publik yang semakin sempit, muncul satu tren yang menyedihkan: orang-orang yang hidup elegan, anggun, atau penuh estetika dengan cepat dicurigai, dicaci, bahkan diserang.

Terlepas dari mana sumbernya, kita tidak pernah mau tahu berapa banyak pekerjaan yang mereka ciptakan? Berapa banyak rumah yang mereka hidupkan? Berapa banyak jiwa yang mereka beri makan, baik langsung atau tak langsung lewat keputusan gaya hidup mereka?

Kita tidak boleh mempersekusi mereka yang hidup elegan. Karena kadang, justru di balik baju gaya yang chick, pesta besar, dan rumah luas itu ada kehidupan yang lebih padat karya, lebih menghargai manusia, dan lebih berakar daripada dunia efisien yang sepi dan sinis.

Kita terlalu cepat mencurigai kemewahan, dan terlalu lambat menyadari bahwa justru di dalamnya ada ruang kerja yang paling manusiawi. Elegansi yang sejati bukan pamer. Ia adalah cinta terhadap keindahan, tradisi, dan interaksi sosial. Ia bukan dosa. Ia bisa menjadi berkah yang menyerap banyak tangan.

Ironi Pembangunan: Ketika Ekonomi Hidup dari Kalender Ibadah dan Liburan
Kita telah lama diajari bahwa perekonomian akan tumbuh jika kita semakin efisien, semakin rasional, dan semakin produktif. Maka kita menciptakan sistem, kurikulum, dan kebijakan yang mengejar efisiensi nyaris seperti agama. Kita menghapus yang tidak perlu, memangkas jeda, mengatur jadwal dengan presisi. Tapi realitas makroekonomi berkata lain: pertumbuhan justru sering datang dari musim yang paling tidak efisien.

Ramadhan, Lebaran, Natal, tahun baru, liburan sekolah, thanksgiving di Amerika Serikat ataupun Lunar New Year di China selalu dipantau data-data ekonominya. Justru di saat-saat ketika kota melambat, toko tutup lebih lama, orang pulang kampung, dan pengeluarannya bisa tak terkendali dan tidak masuk akal, justru ekonomi menggeliat.

Indikator belanja meningkat, konsumsi naik, permintaan tenaga kerja temporer melonjak, dari jasa pengiriman hingga perias pengantin. Bahkan pasar keuangan pun memperhitungkan momentum ibadah dan liburan dalam proyeksinya. "Kita membangun seluruh sistem ekonomi untuk efisiensi, tapi berharap ekonomi pulih setiap kali kalender memberi kita alasan untuk berhenti bekerja dan mulai merayakan."

Kita lupa bahwa yang menggerakkan ekonomi bukan hanya kerja, tapi juga pulang. Bukan hanya produksi, tapi juga perayaan. Bukan hanya kalkulasi, tapi juga kasih. Maka jika kita ingin memahami dunia kerja masa depan, jangan hanya menghitung berapa pabrik yang berdiri. Hitung juga berapa banyak momen yang manusia rayakan bersama, karena di sanalah dunia kerja, dunia jasa, dan dunia makna bermula.

Penutup: Dari Pabrik yang Gelap ke Dunia yang Terang
Hari ini, pabrik-pabrik paling canggih di dunia tak butuh lampu. Mereka menyebutnya dark factory tempat produksi berjalan otomatis, tanpa manusia, tanpa suara, tanpa kehidupan. Semua sempurna, semua efisien, tapi juga semua sunyi. Namun ekonomi tidak bisa hidup dalam kegelapan, Apalagi manusia.

Pekerjaan manusia lahir dari cahaya: dari perayaan, dari interaksi, dari keindahan yang bisa dilihat, disentuh, dan dirayakan bersama. Gaun pengantin harus dilihat. Rumah yang megah harus ramai. Anak-anak harus tertawa. Doa harus diucapkan bersama dalam suasana yang khidmat dan berkumpul. Musik harus mengalun. Hidup tak bisa ditransaksikan dalam gelap.

Dark factory membuktikan bahwa produksi bisa dilakukan tanpa cahaya, tanpa manusia. tapi ekonomi yang memanusiakan, dan kehidupan yang berarti, hanya bisa dicapai dengan terang, dengan kehadiran, kehangatan, dan elegansi.


(miq/miq)