Kekosongan Hukum Artificial Intelligence di RI: Ancaman & Tantangan

Muhammad Arbani CNBC Indonesia
Rabu, 09/07/2025 05:10 WIB
Muhammad Arbani
Muhammad Arbani
Muhammad Arbani merupakan dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Adhyaksa serta peneliti di Rajawali Cendekia. Riset yang dia lakukan berkaitan ... Selengkapnya
Foto: Ilustrasi AI. (Ilham Restu/CNBC Indonesia)

Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dalam beberapa tahun terakhir telah membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan manusia, mulai dari ekonomi, pendidikan, hiburan, hingga pemerintahan. Di Indonesia, penggunaan AI semakin meluas, termasuk dalam industri ekonomi kreatif, seperti pembuatan musik, video, dan konten digital lainnya yang sebagian besar dihasilkan secara otomatis oleh perangkat lunak berbasis AI.


Sayangnya, hingga saat ini Indonesia belum memiliki undang-undang khusus yang secara eksplisit mengatur penggunaan teknologi AI. Regulasi yang tersedia masih terbatas pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) yang bersifat imbauan moral terkait etika penggunaan AI (Kemenkominfo, 2023).

Ketidakhadiran kerangka hukum yang komprehensif menyebabkan kekosongan regulasi dalam menghadapi permasalahan-permasalahan aktual yang timbul akibat penyalahgunaan AI, seperti pelanggaran hak cipta, penyebaran disinformasi, konten provokatif terhadap lembaga negara, serta penyalahgunaan deepfake. Hal ini menunjukkan perlunya perhatian serius dari negara untuk menyusun dasar hukum yang jelas, adil, dan adaptif terhadap perkembangan teknologi, agar pemanfaatan AI di Indonesia dapat berjalan secara etis dan bertanggung jawab.

Kekosongan Hukum dalam Mengatur AI di Indonesia
Teknologi kecerdasan buatan (AI) berkembang pesat di Indonesia tanpa adanya regulasi hukum yang mengimbanginya. Sampai saat ini, belum ada satu pun Undang-Undang (UU) khusus yang mengatur mengenai AI secara komprehensif. Ketidakhadiran UU ini menciptakan kekosongan hukum yang signifikan, terutama ketika AI mulai digunakan dalam skala besar untuk berbagai kepentingan, baik komersial, sosial, maupun politik.

Regulasi yang saat ini digunakan, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), belum mampu menjawab tantangan-tantangan spesifik yang muncul akibat penggunaan AI. UU ITE pada dasarnya hanya mengatur transaksi elektronik dan informasi digital secara umum, bukan pada proses pembuatan konten berbasis algoritma yang dilakukan secara otonom oleh mesin (Surden, 2019). Ketika AI mampu menghasilkan keputusan atau karya tanpa campur tangan manusia secara langsung, pendekatan hukum konvensional menjadi tidak relevan.

Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memang telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Penggunaan Kecerdasan Buatan. Namun, surat edaran tersebut bersifat imbauan, bukan aturan yang mengikat secara hukum (Kemenkominfo, 2023). Dalam praktiknya, imbauan tidak memiliki kekuatan hukum untuk menjatuhkan sanksi, sehingga pelanggaran etika pun menjadi sulit untuk ditindak.

Tantangan Hak Cipta dalam Ekonomi Kreatif Berbasis AI
Dalam sektor ekonomi kreatif, AI telah mengubah cara orang memproduksi dan mendistribusikan karya. Banyak kreator konten yang kini menggunakan aplikasi berbasis AI seperti Suno, Boomy, atau Synthesia untuk membuat lagu, ilustrasi, atau video yang sepenuhnya dihasilkan mesin. Konten-konten ini bahkan dapat diunggah ke platform seperti YouTube dan dimonetisasi secara masif, menghasilkan keuntungan besar tanpa campur tangan manusia dalam proses kreatifnya.

Masalah hukum muncul ketika mempertanyakan siapa yang berhak atas karya tersebut. Dalam sistem hukum kekayaan intelektual konvensional, hak cipta hanya diakui bagi karya ciptaan manusia. Jika sebuah lagu atau ilustrasi sepenuhnya dihasilkan oleh algoritma AI, maka secara hukum tidak ada subjek hukum manusia yang dapat diklaim sebagai pencipta. Hal ini menimbulkan kekosongan dalam mekanisme pemberian royalti dan perlindungan hak cipta (Gervais, 2020).

Lebih lanjut, dalam beberapa kasus, AI juga dapat menciptakan karya yang mirip atau bahkan menjiplak karya orang lain karena dilatih dari data publik yang luas. Ketika AI menciptakan lagu yang secara tidak sadar menyerupai lagu berhak cipta yang sudah ada, siapa yang harus bertanggung jawab, pengguna aplikasi, pembuat AI, atau tidak ada pihak yang bisa dimintai tanggung jawab. Situasi ini memperlihatkan betapa lemahnya posisi hukum dalam menanggapi inovasi yang sangat cepat dari AI di bidang ekonomi kreatif (Surden, 2019).

Ancaman Disinformasi dan Polarisasi oleh Konten AI
Selain tantangan ekonomi, penggunaan AI untuk menciptakan konten yang bersifat politis dan provokatif juga menimbulkan ancaman serius bagi stabilitas sosial dan politik. Teknologi deepfake, misalnya, memungkinkan manipulasi wajah dan suara tokoh publik untuk menyampaikan informasi palsu. Konten semacam ini sering digunakan untuk mendiskreditkan tokoh politik, aparat penegak hukum, atau lembaga pemerintah, termasuk institusi kepolisian.

Akibatnya, AI dapat menjadi alat propaganda yang sangat efektif, terutama dalam menyebarkan disinformasi dan memperkeruh opini publik. Dalam konteks ini, AI bukan hanya teknologi netral, melainkan alat yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan destruktif, terutama ketika tidak ada regulasi hukum yang mengontrolnya secara ketat (Pagallo, 2020). Ini menjadi ancaman baru bagi negara, karena kekuatan hukum untuk menindak penyebaran konten destruktif berbasis AI masih sangat terbatas.

Polisi sebagai aparat penegak hukum pun menghadapi dilema. Tanpa regulasi yang eksplisit dan dasar hukum yang memadai, upaya untuk menangkap pelaku pembuat konten destruktif menjadi terhambat. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana polisi bisa bertindak dalam ruang digital ketika hukum belum memberikan landasan yang kuat. Di sinilah urgensi pembentukan UU AI menjadi sangat mendesak.

Perlunya Undang-Undang AI yang Inklusif dan Partisipatif
Mengingat kompleksitas tantangan yang ditimbulkan AI, sudah saatnya Indonesia memiliki UU khusus yang mengatur segala bentuk penggunaan kecerdasan buatan secara menyeluruh. Namun, pembentukan regulasi ini tidak bisa dilakukan secara terburu-buru dan sepihak. Regulasi tersebut harus disusun secara partisipatif dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pengusaha, komunitas AI, asosiasi teknologi, akademisi, dan masyarakat sipil.

UU yang dibuat juga perlu mengakomodasi prinsip keadilan, akuntabilitas, transparansi, dan perlindungan terhadap data pribadi. Selain itu, perlu ada pengaturan yang jelas mengenai kepemilikan karya yang dihasilkan AI, distribusi royalti, tanggung jawab hukum atas konten, serta batasan etis dalam pengembangan teknologi AI (Cath et al., 2018). Regulasi tidak boleh bersifat represif atau mengekang inovasi, melainkan harus bersifat fasilitatif dan adaptif terhadap perubahan.

Sebagaimana yang terjadi di beberapa negara lain seperti Uni Eropa dan Jepang, proses penyusunan UU AI dilakukan secara terbuka, berbasis riset ilmiah, dan dialog dengan pelaku industri. Indonesia seharusnya dapat belajar dari pendekatan tersebut agar regulasi yang disusun tidak hanya memberikan perlindungan hukum, tetapi juga mampu mendorong inovasi yang berkelanjutan (Binns, 2021).

Perkembangan pesat teknologi kecerdasan buatan di Indonesia telah membawa dampak yang luas, baik dalam bidang ekonomi kreatif maupun dalam kehidupan sosial-politik. Namun, belum adanya Undang-Undang khusus yang mengatur AI menciptakan kekosongan hukum yang serius. Regulasi yang tersedia saat ini, seperti UU ITE dan Surat Edaran Menkominfo, belum memadai untuk menjawab kompleksitas persoalan yang muncul, mulai dari pelanggaran hak cipta, ketidakjelasan kepemilikan karya berbasis AI, hingga penyebaran konten provokatif dan manipulatif yang mengancam stabilitas negara.

Masalah ini menjadi semakin krusial karena AI tidak hanya menciptakan peluang baru dalam industri digital, tetapi juga membuka celah penyalahgunaan yang dapat merugikan banyak pihak. Oleh karena itu, diperlukan pembentukan Undang-Undang AI yang bersifat inklusif, adaptif, dan partisipatif. Regulasi tersebut harus mengakomodasi masukan dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk pelaku industri AI, akademisi, pembuat kebijakan, serta masyarakat sipil.


(miq/miq)