Saatnya Negara Intervensi di Tengah Lesunya Ekonomi?

Bayu Muhammad Noor Arasy CNBC Indonesia
Senin, 07/07/2025 05:20 WIB
Bayu Muhammad Noor Arasy
Bayu Muhammad Noor Arasy
Bayu Arasy merupakan Tenaga Ahli Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Daerah Khusus Ibukota (DKI)... Selengkapnya
Foto: Suasana perdagangan di Pasar Induk, Jakarta, beberapa waktu lalu. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Inflasi yang terus meningkat, kondisi pasar tenaga kerja yang memburuk dengan terjadinya pemecatan setelah penutupan pabrik di berbagai tempat, ekosistem bisnis yang semakin suram, itulah penemuan-penemuan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) yang terbit awal tahun ini.



Survei tersebut memberikan gambaran yang suram mengenai perekonomian Indonesia. Bahwasanya, kesulitan terus menerpa Indonesia dan diproyeksikan akan berlangsung selama beberapa waktu ke depan. Jika tidak segera diatasi, maka Indonesia berkemungkinan akan menghadapi kontraksi atau penurunan ekonomi yang lebih parah lagi. Sekarang saja, LPEM menemukan sektor retail dan konsumsi, otomotif dan properti, bank dan kreditur, serta manufaktur sudah mengalami kesulitan.

Penelitian LPEM itu menarik karena menyelidiki pandangan para ahli, terdiri dari para akademisi, peneliti, profesional dan lain-lain, terhadap kondisi ekonomi yang sedang dihadapi. Kesimpulannya sangat mengkhawatirkan, yaitu sebanyak 55 persen dari responden yang berjumlah 42 ahli ekonomi sepakat bahwa kondisi perekonomian sekarang lebih buruk dibandingkan beberapa waktu sebelumnya. 7 di antaranya berpendapat kondisi itu sangat buruk. Sementara itu, 11 lainnya melihat ekonomi mengalami stagnasi.

Hasil penelitian LPEM FEB UI itu membenarkan perasaan masyarakat bahwa perekonomian sedang tidak baik-baik saja. Di berbagai platform media sosial (medsos) yang ada, warganet mengeluhkan hal itu. Biasanya, para pengguna medsos mengomentari berita-berita pemecatan yang terus muncul dari waktu ke waktu.


Penekanan terhadap pengangguran mungkin disebabkan oleh isunya yang relevan bagi masyarakat, yang mana banyak pekerja kesulitan untuk menafkahi keluarga serta dirinya sendiri meskipun sedang bekerja. Akan tetapi keluhannya tidak terbatas kepada pemecatan dan masalah pengangguran saja, melainkan para netizen juga membicarakan spektrum isu yang luas.

Masyarakat di tanah air menghadapi permasalahan ekonomi besar secara umum dalam berbagai aspek yang ada. Sebagai contoh, masalah inflasi yang diproyeksikan terus meningkat akan diperparah oleh meningkatnya pengangguran. Terbaru, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan IHK Juni 2025 tercatat inflasi sebesar 0,19% (mtm), sehingga secara tahunan IHK mengalami inflasi sebesar 1,87%. Sebelumnya pada Mei 2025, terjadi deflasi -0,37%.

Deflasi atau turunnya harga barang dan jasa secara umum itu salah satunya diakibatkan oleh turunnya daya beli masyarakat. Ini tidak mengherankan menimbang adanya inflasi dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai tempat yang gulung tikar.

Berdasarkan data Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), terdapat 45 ribu buruh yang di-PHK oleh 38 perusahaan. Tidak sedikit dari para pekerja itu yang diputus kontraknya karena perusahaan tempat mereka bekerja pailit. Beberapa lainnya karena pabrik tempat mereka bekerja direlokasi ke negara-negara lain seperti PT Sanken Indonesia yang pindah ke Jepang dengan memecat 900 karyawan, sementara itu PT Yamaha Music Piano meninggalkan 1.100 karyawan ke Republik Rakyat China (RRC).

PHK terbesar dialami oleh karyawan PT Sritex di Sukoharjo, Jawa Tengah (Jateng), yang berjumlah 10.665 orang. Setiap pemecatan itu merupakan suatu tragedi dalam dirinya sendiri, tetapi juga semakin memperlemah daya beli masyarakat di tengah-tengah kondisi ekonomi sulit.

Pemerintah sudah merespons kondisi ini dengan mengeluarkan berbagai kebijakan fiskal dan melayangkan wacana pembentukan lembaga-lembaga baru untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi yang ada. Seperti disampaikan oleh Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, pemerintah sejauh ini telah merogoh kantong sebanyak Rp57,4 triliun untuk stimulus yang berlangsung dari kuartal I sampai dengan kuartal III mendatang.

Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Yassierli, mengungkapkan Prabowo akan membentuk Lembaga Produktivitas Nasional yang bertugas untuk meningkatkan daya produksi sektor swasta dan publik. Sebelumnya, Prabowo sendiri mengumumkan akan membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional sebagai lembaga penasihat dalam upayanya membentuk aturan-aturan yang berpihak kepada kaum buruh.

Kendati demikian, masyarakat belum melihat adanya cahaya di ujung terowongan permasalahan ekonomi ini. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) masih menyorot lemahnya daya beli masyarakat beserta PHK yang terjadi secara masif.

Menurut perkumpulan tersebut, hal itulah yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal I/2025 hanya mencapai 4,87 persen. Padahal, Indonesia berhasil mencetak angka 5,11 persen dalam kuartal pertama pada tahun sebelumnya. Ini memunculkan pertanyaan mengenai keefektifan pemerintah dalam menghadapi penurunan ekonomi selama beberapa waktu terakhir.

Tanpa bermaksud untuk menyalakan sirene alarm yang berlebihan, Indonesia memang belum sampai mengalami depresi. Namun, Indonesia dapat menarik beberapa pelajaran dari Amerika Serikat (AS) kala menghadapi Depresi Besar yang terjadi pada awal abad ke-20 itu.

Dalam rangka menghadapi malaise ekonomi tersebut, pemerintah AS yang dipimpin oleh Presiden Franklin Delano Roosevelt (FDR) memberlakukan kebijakan 'New Deal' dan membentuk lembaga-lembaga seperti Civilian Conservation Corps (CCC), Public Works Administration (PWA), dan Civil Works Administration.

Michael Lind (2012) dalam Land of Promise: An Economic History of the United States menerangkan pentingnya lembaga-lembaga tersebut bagi AS yang sedang menghadapi krisis ekonomi. Sebagai contoh, CCC merekrut warga AS yang menganggur untuk bekerja dalam upaya-upaya konservasi alam seperti penghijauan kembali hutan-hutan di negara itu. Kemudian, WPA mempekerjakan pengangguran dalam proyek-proyek infrastruktur mulai dari pembangunan jalanan, jembatan, dan proyek-proyek lainnya.

Erich Rauchway (2008) menjelaskan bahwa Roosevelt ingin merekrut sebanyak mungkin orang menganggur melalui WPA yang bertugas untuk mengerjakan proyek-proyek umum. Bahkan, WPA juga mempekerjakan para seniman, penulis, dan aktor untuk berkarya. Sekarang, terdapat banyak hasil kesenian seperti mural-mural yang berada dalam bangunan-bangunan umum hasil pekerjaan WPA.

Demikian, signifikansi lembaga-lembaga yang dibentuk oleh Roosevelt terletak dalam fungsinya untuk merekrut sebanyak mungkin pengangguran dan mempekerjakan mereka di proyek-proyek umum. Hal itu juga meningkatkan daya beli para pekerja yang mendapatkan upah setelah keluar dari penganggurannya dan bekerja lagi.

Seperti yang ditunjukkan oleh 'New Deal' Roosevelt ketika menghadapi Depresi Besar di AS, pemerintah Indonesia yang sedang dipimpin oleh Prabowo dapat bersikap proaktif dalam menghadapi berbagai permasalahan ekonomi di depan mata. Penyaluran stimulus beserta penguatan kelembagaan pemerintah dalam mengurusi isu perekonomian di Indonesia merupakan langkah awalan yang bagus.

Terlebih efisiensi anggaran yang sempat membuat semua pihak mengencangkan ikat pinggang telah berakhir. Sehingga, pemerintah harusnya memiliki ruang gerak fiskal yang lebih luas lagi untuk melibatkan diri dalam urusan perekonomian bangsa. Dalam situasi seperti itu, pemerintah harus memastikan bahwa intervensi fiskalnya menghasilkan dampak tepat, yaitu memutar kembali roda perekonomian yang mandek belakangan ini.

Pemerintah harus segera memfokuskan diri kepada program-program penciptaan lapangan pekerjaan dan upaya-upaya lainnya yang dapat mendongkrak daya beli masyarakat dan dengan itu konsumsi rumah tangga sebagai bagian dari langkah awal memulihkan perekonomian.

Sekarang, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam waktu dekat. Selama ini, pemerintah sudah melaksanakan berbagai program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Desa Merah Putih, sampai dengan program Sekolah Rakyat.

Kebijakan-kebijakan tersebut berpotensi menjadi tempat-tempat penciptaan lapangan pekerjaan baru. Adanya perhatian pemerintah untuk memenuhi barang dan/atau jasa umum, yaitu makanan sebagai contoh dalam program MBG yang membutuhkan rekrutmen berskala besar bisa diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut.

Kini, masyarakat tengah menanti tangan panjang pemerintah untuk merogoh kantongnya supaya kekayaan dapat lebih tersalurkan lagi ke bawah, sekalipun melalui program-program yang dijalankan di sektor umum.

Melalui kebijakan-kebijakan tersebut, seperti MBG, Koperasi Desa Merah Putih, dan Sekolah Rakyat, dibimbing oleh Dewan Kesejahteraan Pekerja dan Lembaga Produktivitas Nasional, kekayaan negara dapat disalurkan ke masyarakat. Sehingga, daya beli masyarakat bisa kembali menguat dan perekonomian nasional hidup lagi setelah mengalami kelesuan yang menghambatnya belakangan ini.


(miq/miq)