Membongkar Motif Trump di Balik Perang Tarif

Perang tarif yang dilancarkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump belakangan ini bukanlah kebijakan baru. Di masa awal dirinya menjabat sebagai presiden, di tahun 2018, Trump juga melakukan hal serupa. Perang tarif saat ini bisa dibilang adalah strategi lanjutan dari keputusan yang pernah ia teken sebelumnya.
Bedanya, di masa awal perang tarif diluncurkan, satu-satunya negara yang secara khusus ditargetkan adalah China. Kini, perang tarif menyasar banyak negara termasuk negara-negara sekutu AS yang selama berpuluh-puluh tahun loyal mendedikasikan diri sebagai aliansinya. Langkah Trump tentu menimbulkan tanda tanya. Dan yang paling urgen ditanyakan adalah apa motif Trump sebenarnya di balik kebijakan tersebut?
Jauh hari sebelum fenomena ini menyedot perhatian masyarakat internasional, Mearsheimer pernah menyinggung perihal ini dalam tulisannya yang berjudul "The Inevitable Rivalry: America, China, and the Tragedy of Great-Power Politics" di tahun 2021 dan terbit di Foreign Affairs.
Pokok argumen Mearsheimer dalam tulisan tersebut adalah konflik AS dan China merupakan takdir yang tak terhindarkan. Pasti terjadi, seiring bertambah kuatnya China. Dan tarif yang Trump lancarkan terhadap China di masa awal menjabat adalah upaya AS menahan laju kebangkitan China semakin jauh. Pasalnya, AS terusik munculnya kompetitor baru yang sewaktu-waktu bisa menggeser kekuatan hegemoninya.
Perang dagang di tahun 2018, kata Mearsheimer, merupakan bentuk strategi "containment" AS. Containment, dalam padanan Indonesia dapat diartikan sebagai strategi "penahanan" atau "pembendungan".
Secara denotatif, maksud containment dalam perang dagang merujuk pada upaya AS untuk menahan laju kebangkitan ekonomi China karena dipandang membahayakan hegemoni AS. Sikap AS sangat sesuai dengan prediksi neorealisme, sebuah paham dalam teori hubungan internasional, yang percaya bahwa negara besar akan berlomba untuk menjadi yang terkuat dan berupaya melemahkan lawannya masing-masing.
Pandangan Neorealis
Kalangan Neorealis seperti Mearsheimer dan Waltz menegaskan bahwa negara-negara besar akan terus berupaya meningkatkan kekuatan relatifnya terhadap para pesaingnya. Begitu pun AS dan China. Keduanya akan sama-sama saling mengecek kekuatan kompetitor mereka satu sama lain. Mempertimbangkan kekuatan musuh penting untuk strategi bertahan hidup di tengah dunia yang anarki. Siapa kuat dia yang akan menang.
Menurut Waltz (1979), anarki adalah kondisi struktural di mana sistem global diisi oleh unit-unit yang sejajar, yang independen dan bebas - dalam hal ini negara - yang hidup bersamaan dengan absennya satu sistem pemerintahan global yang tunggal dan otoritas tertinggi yang sanggup memaksakan hukum dan sanksi kepada unit-unit penyusunnya secara mengikat dan tegas. Kedaulatan di antara negara-negara tersebar, tidak terpusat dalam satu bentuk unit pengelolaan pemerintahan yang sah.
Makanya, sulit untuk mengatur kehidupan antarnegara di dunia sebab masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Mengutip kata-kata Mearsheimer (2021), "...tidak ada otoritas yang lebih tinggi untuk mengadili perselisihan antarnegara atau melindungi mereka saat terancam". Singkatnya, tidak ada yang bisa diharapkan oleh negara selain dirinya sendiri. Inilah gambaran kondisi anarki.
Di tengah situasi anarki, setiap negara akan berlomba menjadi yang terkuat di rimba politik dunia. Negara, karenanya, akan berupaya memperkuat diri lewat kepemilikan senjata sebagai fungsi pertahanannya. Namun, baik Walt maupun Mearsheimer, mereka berbeda pandangan soal ambang batas ideal kekuatan yang semestinya dimiliki negara untuk bisa survive di tengah musuh-musuhnya.
Waltz (1988) yakin, kepemilikan kekuatan material (militer) harus moderat. Di mana negara hanya perlu memenuhi target pertahanan dan keamanannya sesuai kebutuhan. Sesuai kebutuhan artinya seimbang dengan komposisi kekuatan lawan yang dipersepsikan sebagai musuh.
Tidak terlalu lemah dan juga tidak terkesan berlebihan. Sebab, "baik terlalu sedikit maupun terlalu banyak" kata Waltz, bisa mengundang malapetaka dari musuh-musuhnya. Sederhananya, kepemilikan kekuatan sebuah negara, jika bisa, disesuaikan dengan kekuatan relatif lawan.
Sementara Mearsheimer (2001), percaya logika sebaliknya. Menurutnya, tiap negara besar akan terus berlomba untuk mencapai kekuatan absolut sampai benar-benar meniadakan pesaing lain yang sejajar. Mereka akan berupaya, paling minimal, menjadi hegemoni di kawasan tempat mereka tinggal. AS di benua Amerika, China di benua Asia. Dengan menjadi kekuatan tunggal di masing-masing kawasan, harapan untuk bertahan eksis di tengah dunia anarki akan semakin besar.
Meski berbeda soal target capaian akumulasi kekuatan, baik Waltz maupun Mearsheimer keduanya berbagi pandangan yang sama soal niat jangka panjang negara-negara besar. Di tengah dunia yang anarki, kata mereka, tidak satu pun aktor yang bisa dipercaya atas niat baiknya di masa yang akan datang.
Masing-masing aktor, faktanya, hanya akan mengejar aspirasinya sesuai kepentingan nasional sendiri-sendiri. Baik China maupun AS menurut neorealis berperilaku berdasarkan kerangka berpikir ini. Tidak akan pernah ada damai di antara kedua negara besar. Negara yang baru bangkit (China) dan negara hegemon lama (AS) akan terus saling curiga.
Mengapa Harus Perang Tarif?
Masih berdasarkan catatan Mearsheimer (2021), kebangkitan ekonomi China menjadi fakta objektif yang tidak bisa dibantah. Dan perang tarif menurutnya adalah salah satu upaya AS untuk menghambat kebangkitan China, selain upaya-upaya lainnya, seperti melawan dominasi China di Laut China Selatan; menangkal aspirasi China menganeksasi Taiwan; serta melarang Huawei beroperasi di wilayah AS.
Dengan memperlambat kebangkitan ekonomi China melalui pengenaan tarif dan strategi yang lain, paling tidak AS bisa mengambil keuntungan sambil berlari lebih gesit agar paritas kekuatannya tidak semakin sejajar dan disalip China.
Dengan menjaga gap ekonomi, AS bisa lebih tenang untuk menghadapi kekuatan relatif ekonomi China di masa depan. Jika gap berhasil diperlebar, secara kalkulasi kekuatan, AS berpeluang tetap mempertahankan statusnya sebagai hegemoni tunggal. Meski, kata Mearsheimer (2021), "...[sebenarnya] sekarang sudah terlambat untuk berbuat banyak tentang hal itu".
Mengapa memperlambat ekonomi China perlu dilakukan? Sebab fakta lain menunjukkan, saat ekonomi China meningkat, upaya transformasi kekuatan militernya pun semakin intensif. Artinya, kekuatan ekonomi adalah rute awal menuju revitalisasi kekuatan militer sebuah negara.
Di samping untuk mereduksi kekuatan ekonomi China, perang tarif yang sekarang menimpa banyak negara juga dilatarbelakangi angan-angan Trump untuk mendorong Rusia agar mau masuk ke dalam gerbong aliansinya.
Setidaknya, Trump ingin menampakkan niatnya kepada Putin bahwa dirinya benar-benar ingin berkoalisi dengan Rusia lewat pembuktian pengenaan perang tarif yang juga menargetkan banyak negara Uni Eropa, yang merupakan musuh sengit Rusia dalam konflik Rusia-Ukraina belakangan ini.
Uni Eropa adalah negara paling vokal terhadap perang Rusia-Ukraina. Dengan menampakkan sikap permusuhan kepada Uni Eropa melalui perang tarif, setidaknya Trump bisa berharap agar Rusia mau sama-sama dengan AS untuk membendung kebangkitan China. Lagipula, sejarah aliansi Rusia dan AS bukanlah sesuatu yang baru. Keduanya pernah sama-sama berada dalam satu gerbong aliansi saat menghadapi Jerman dan mitranya di perang dunia satu dan dua.
Alasan rasional lainnya mengapa AS lebih memilih perang tarif dibanding melancarkan perang konvensional atau melalui perang proksi lewat Taiwan untuk menghentikan kebangkitan China, sebab cara ini lebih murah. Perang konvensional dan proksi memakan biaya yang tidak kecil apalagi perang terbuka seperti itu dihantui perang nuklir yang lebih menakutkan.
ICAN (The International Campaign to Abolish Nuclear Weapons) - sebuah organisasi non-pemerintah yang mengadvokasi pelenyapan kepemilikan senjata nuklir, menyitir data dari Federation of American Scientist tahun 2025, menyatakan bahwa China merupakan negara ketiga pemilik nuklir terbanyak di dunia, sementara AS berada di peringkat kedua.
Friksi langsung di antara kedua negara nuklir akan memicu perang berdarah yang tak terkontrol. Makanya perang tarif akan lebih logis dalam mereduksi kekuatan China dibanding perang konvensional.
Di samping itu, logika perang tarif yang Trump inisiasi, juga lebih lekat mengikuti gaya diplomasi China yang fokus pada bidang ekonomi. Sejauh ini, sejak Perang China-Vietnam berakhir di tahun 1979, China sama sekali tidak pernah terlibat konfrontasi militer dengan negara lain (Pino, 2022).
Artinya, sepanjang 46 tahun lamanya, China menjadi satu-satunya negara besar saat ini yang tidak pernah pergi berperang. Bandingkan dengan AS dan Rusia yang terlibat perang di berbagai front. AS kini masih sengit dengan Yaman, dan Rusia dengan Ukraina.
Intinya, undangan atau inisiasi perang konvensional oleh AS kepada China hanya akan semakin memicu persepsi buruk masyarakat internasional terhadap sepak terjang AS selama ini. China adalah aktor ekonomi terpenting abad ini. Cara paling efektif melemahkan laju pertumbuhannya adalah melalui invasi ekonomi. Perang tarif menjadi front peperangan paling ideal dan paling rasional oleh AS untuk menusuk China di sektor ini.
Selain itu, saya juga sepakat dengan gagasan umum (saya lupa sumber bacaan pastinya) yang menyatakan bahwa perang tarif adalah langkah cek ombak pemerintah Trump untuk menguji loyalitas sekutu-sekutunya. Trump ingin menguji sejauh mana negara-negara di dunia merespons kebijakan yang diambilnya.
Perang tarif penting untuk menegaskan posisi keberpihakan negara lain atas posisi AS. Jika negara-negara tertentu menentang tarif yang dikenakan lewat pemberlakuan balasan, mereka dipandang sebagai potensi sekutu China di masa depan. Sementara jika menunjukkan sikap inferior dan bergeming membalas, mereka dianggap berpotensi menjadi sekutu AS.
Walau hal tersebut baru sekedar dugaan, namun cara Trump melibatkan negara lain, khususnya negara-negara terbelakang dalam perang tarif ini justru semakin memperkuat penalaran tersebut. Sebab, amat tidak logis melibatkan negara-negara yang secara kekuatan relatif masih sangat jauh di bawah AS dalam friksi tarif ini.
Proteksionisme, bisa saja merupakan faktor lainnya yang melatarbelakangi langkah ekonomi Trump, tapi sekali lagi, dalih untuk melibatkan negara-negara kecil, juga negara sekutu setianya dalam perang tarif lebih cocok dibaca sebagai strategi preemptive AS untuk membaca struktur kekuatan sekaligus mengukur derajat kesetiaan aliansi dan nonaliansi di tengah infiltrasi pengaruh ekonomi China di banyak tempat.
(miq/miq)