Membaca Poros Anti-AS: Krisis Iran, Manuver Korut dan Dilema Indonesia

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Dunia saat ini dihebohkan dengan isu akan dimulainya Perang Dunia III. Hal tersebut dibuktikan oleh alat utama sistem persenjataan (alutsista) Iran yang membombardir wilayah-wilayah strategis di Israel dan beberapa markas militer AS yang terletak di negara-negara dalam jangkauan nuklir seperti Qatar.
Mengutip CNBC Indonesia, perang selama 12 hari antara Israel dan Iran tidak hanya menelan korban jiwa dan merusak infrastruktur, tetapi juga mengguncang fondasi ekonomi Israel secara mendalam.
Sejumlah laporan memperkirakan bahwa biaya konflik ini telah membebani keuangan negara hingga puluhan miliar dolar, memperbesar defisit anggaran, dan memicu kekhawatiran investor atas stabilitas ekonomi jangka pendek.
Menurut Financial Express, sebagaimana dikutip dari Anadolu Agency, Kamis (26/6/2025), Israel menghabiskan sekitar US$5 miliar atau sekitar Rp81,15 triliun hanya dalam minggu pertama serangan terhadap Iran.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump pun mencoba tampil sebagai penengah dengan mengeklaim Israel dan Iran sudah sepakat menghentikan perang. Namun, tensi belum turun, bahkan pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei menyatakan tidak akan menyerah terhadap Amerika Serikat dan mengancam akan kembali menyerang pangkalan militer Negeri Paman Sam.
Selain dampak kondisi geopolitik yang memanas, negara-negara mulai menganalisa potensi untuk bergabung atau tidak bergabung dalam blok-blok tertentu serta menganalisis berbagai kemungkinan yang secara umum akan terjadi seperti jika Selat Hormuz ditutup maka harga minyak akan melesat naik.
Dampak lain yang tidak dilihat adalah potensi "kekacauan" yang akan terjadi pada platform-platform media sosial. Kekacauan yang dimaksud adalah terkait etika dan moral pengguna sosial media yang akan memanfaatkan keadaan perang untuk menimbulkan ketakutan yang lebih pada masyarakat khususnya di platform digital.
Menurut penulis, hal ini perlu dipertanyakan, apakah kekacauan ini didalangi oleh negara-negara yang bertikai? Atau ada kelompok intelektual yang ingin menciptakan ketakutan dalam civilized world community?
Masyarakat perlu mewaspadai kebenaran informasi yang beredar di platform sosial media terlebih lagi dengan perkembangan AI konten yang disajikan dapat menyerupai keadaan sesungguhnya.
Sebagai contoh dalam konteks peperangan, prompt AI dapat menskenariokan adegan-adegan sesuai dengan perkembangan yang terjadi dalam suatu adegan AI sehingga validitasnya dibuat akurat.
Pemerintah, khususnya di Indonesia, dapat mencegah ketakutan terjadi dengan membuat aturan hukum tegas tentang pelarangan konten-konten yang difabrikasi serta konten-konten yang dapat memiliki potensi untuk memecah belah, membuat ketakutan di tengah masyarakat, memiliki unsur yang tidak sesuai dengan kaidah moral dan kesusilaan.
Kemudian apabila diperlukan, penulis menyarankan pembuatan satuan tugas khusus terkait pengawasan AI di Indonesia dengan stakeholders terkait seperti Kementerian Komunikasi dan Digital, Badan Siber dan Sandi Negara, dan Badan Intelijen Negara.