Perang Tarif Donald Trump: Indonesia Harus Bermain Cerdas

Profesor Lawrence Loh CNBC Indonesia
Selasa, 24/06/2025 08:10 WIB
Profesor Lawrence Loh
Profesor Lawrence Loh
Profesor Lawrence Loh adalah Director Centre for Governance and Sustainability (CGS) di NUS Business School, National University of Singapor... Selengkapnya
Foto: Ilustrasi Donald Trump. (CNBC Indonesia/Edward Ricardo Sianturi)

Sejak Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan tarif resiprokal atau tarif timbal balik yang sebelumnya menjadi ancaman, kini ekonomi global sedang berada dalam kondisi yang sangat rapuh. Meski belakangan terjadi pelonggaran tarif tinggi antara AS dan China, banyak negara, terutama yang bergantung pada ekspor dan sektor padat karya, tetap diliputi kekhawatiran akan masa depan.


Indonesia, yang terancam dikenakan tarif resiprokal hingga 32 persen, kini menghadapi bayang-bayang krisis yang lebih serius. Dengan rupiah yang terus melemah akibat tekanan tarif ini, apakah Indonesia sedang memasuki masa "tarif-fying" atau masa yang menakutkan?

Mengamati berbagai laporan dari luar yurisdiksi Indonesia, saya hanya bisa membayangkan kekhawatiran yang menyelimuti seluruh negeri. Ekonomi Indonesia sudah lebih dulu melemah sejak bulan Ramadan pada Maret lalu, yang biasanya menjadi momen peningkatan aktivitas ekonomi tahunan. Tahun ini, pasar saham justru anjlok.

Suasana Idulfitri tahun ini pun terasa kurang semarak. Jumlah pemudik berkurang, dan konsumsi masyarakat menjelang hari raya lebih rendah dari yang diperkirakan. Situasi ini diperburuk dengan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor padat karya, membuat ribuan orang kehilangan pekerjaan hanya beberapa pekan sebelum Lebaran.

Kondisi dalam negeri yang lesu ini, ditambah dengan tekanan dari luar, membuat Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat beberapa kali menghentikan perdagangan pada Maret dan April untuk mencegah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terjun bebas. Nilai tukar rupiah menembus Rp17.000 per dolar AS, memicu alarm psikologis yang mengingatkan kita pada angka serupa saat krisis moneter Asia tahun 1998 lalu.

Sisi domestik memainkan peran penting dalam penurunan nilai tukar rupiah. Penerimaan pajak yang lebih rendah dari perkiraan baru-baru ini dapat menyebabkan pelonggaran kebijakan moneter, yang kemudian akan meningkatkan jumlah uang beredar.

Hal ini dapat menyebabkan inflasi, yang kemudian mendorong depresiasi mata uang. Pengeluaran pemerintah yang tidak berkelanjutan juga bisa membuat investor melepas mata uang negara tersebut, yang pada akhirnya menurunkan nilai tukar.

Dari sisi internasional, tarif baru-baru ini cenderung membuat ekspor Indonesia ke AS berkurang, yang pada akhirnya menurunkan permintaan terhadap rupiah, dan menyebabkan nilainya melemah. Secara lebih luas, kebijakan tarif ini juga bisa memengaruhi sentimen investor terhadap kondisi ekonomi Indonesia, yang berujung pada turunnya permintaan rupiah dan pelemahan mata uang.

Kini, dengan nilai rupiah yang sempat menyentuh titik terendah sejak 1998, intervensi tegas dari Bank Indonesia menjadi sangat krusial untuk mencegah pelemahan yang terus berlanjut. Salah satu langkah yang sudah diambil adalah intervensi melalui pasar non-deliverable forward luar negeri.

Meski begitu, penguatan kebijakan ekonomi dalam negeri dan sistem perdagangan internasional tetap perlu dilakukan karena depresiasi secara umum bisa berlangsung selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Pemulihan nilai rupiah bisa terjadi dengan cepat, bahkan dalam hitungan bulan, asal didukung oleh kebijakan ekonomi dan situasi perdagangan global yang menguntungkan.

Namun, pemulihan depresiasi rupiah ini akan sangat bergantung pada interaksi antara kebijakan domestik dan perkembangan internasional, ditambah dengan langkah-langkah stabilisasi bank sentral yang tepat waktu dan efektif.

Intervensi bank sentral melalui suku bunga dan pengaturan uang beredar saja tidak cukup. Kebijakan ini harus selaras dengan kebijakan fiskal seperti belanja negara dan penerimaan pajak.

Pada akhirnya, nasib kesejahteraan lebih dari 200 juta rakyat Indonesia kini berada di tangan para pembuat kebijakan, dan bagaimana pemerintah secara cerdas menjalin kerja sama dengan negara tetangga terdekatnya.

Upaya Kolektif Negara-negara di ASEAN untuk Meredam Dampak Tarif
Salah satu pepatah China favorit saya berbunyi "Tetangga dekat lebih baik daripada saudara jauh." Pepatah ini terasa relevan ketika tarif dari AS mulai menyentuh peti-peti kargo yang menumpuk di pelabuhan Asia Tenggara.

Negara-negara ASEAN, khususnya yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap ekspor, menjadi yang paling terdampak. Vietnam dan Kamboja masing-masing dikenai tarif hingga 46 dan 49 persen. Malaysia 24 persen yang relatif rendah, dan Singapura hanya 10 persen. Sementara itu, Indonesia sendiri dikenakan tarif 47 persen untuk produk tekstil, salah satu ekspor utamanya ke AS.

Untungnya, hanya beberapa jam setelah tarif ini berlaku awal April lalu, Trump mengumumkan penangguhan selama 90 hari untuk sebagian besar tarif resiprokal tersebut. Pemerintah di negara-negara Asia yang diuntungkan oleh penangguhan ini tengah menyusun strategi kebijakan atau cara yang akan meminimalkan dampak yang tidak diinginkan terhadap perekonomian mereka.

Kebijakan tarif dari AS seharusnya menjadi pengingat bagi ASEAN untuk membangun ketahanan dari dalam. Cara tercepat dan termudah untuk berkolaborasi antar negara-negara di ASEAN adalah dengan mulai mempererat hubungan bilateral.

Singapura dan Indonesia, misalnya, bisa memperkuat kemitraan yang sudah ada, seperti pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Batam-Bintan-Karimun. Inisiatif strategis ini yang bertujuan untuk menarik investasi, memperlancar perdagangan, dan memperkuat konektivitas antar kedua negara, dapat bermanfaat karena letak pulau-pulau tersebut yang dekat dengan Singapura.

Faktanya, tidak ada waktu yang lebih baik daripada sekarang untuk bergerak melampaui pulau-pulau ini ke wilayah lain di Indonesia, termasuk ibu kota baru, Nusantara.

Dalam dinamika perdagangan global yang berubah cepat, masa depan negara-negara ASEAN memang penuh tantangan. Namun sebagaimana semboyan bangsa Indonesia, "Bhinneka Tunggal Ika," ketika negara-negara ASEAN saling bersatu, daya tahan masing-masing negara akan jauh lebih kuat. Bahkan di tengah masa-masa yang penuh ketidakpastian, setiap negara ASEAN bisa saling menguatkan satu sama lain.


(miq/miq)