Ketahanan Energi, Dilema Impor LPG, dan Alternatif yang Terabaikan

Feiral Rizky Batubara, CNBC Indonesia
25 March 2025 09:20
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara merupakan pemerhati kebijakan publik dan praktisi ketahanan energi. Feiral telah lama berkiprah dalam perumusan kebijakan energi nasional, mengawal transisi menuju ketahanan energi yang berkelanjutan. Ia juga merupakan Ketua Dewan P.. Selengkapnya
Karyawan melakukan pengecekan tabung Gaslink disalah satu rumah makan di Jakarta, Selasa (14/12/2021). PT Gagas Energi Indonesia (Gagas) memperkenalkan kembali Gaslink C-Cyl dengan kemasan yang lebih fresh, Gaslink C-cyl adalah Compressed Natural Gas (CNG) untuk pelanggan sektor industri dan komersial yang disalurkan menggunakan tabung dengan kapasitas 20-25 M3 atau setara dengan 20 Kg.  (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Ilustrasi CNG. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Pemerintah Republik Indonesia pernah membuat keputusan besar pada tahun 2007: mengganti minyak tanah dengan gas cair LPG sebagai bahan bakar utama rumah tangga. Langkah ini diambil dengan dua tujuan: menghapus ketergantungan subsidi yang membebani APBN dan mengalihkan minyak tanah untuk kebutuhan yang lebih strategis seperti bahan bakar penerbangan.

Hasilnya? Hampir seluruh wilayah Indonesia kini mengandalkan LPG. Namun, ada harga mahal yang harus dibayar. Alih-alih menciptakan ketahanan energi, kebijakan ini justru menjerumuskan Indonesia ke dalam ketergantungan impor LPG yang semakin membengkak.

Data menunjukkan, produksi LPG domestik antara 2019 hingga 2024 mengalami stagnansi di angka 2 juta metrik ton per tahun. Di sisi lain, konsumsi terus melonjak, dari 7,8 juta metrik ton pada 2019 menjadi 8 juta metrik ton pada 2024. Jurang antara produksi dan konsumsi ini terpaksa ditutup dengan impor, yang kini menguras devisa negara hingga Rp50 triliun per tahun.

Pertanyaannya: Apakah konversi minyak tanah ke LPG benar-benar solusi jangka panjang, atau hanya memindahkan masalah dari satu energi ke energi lain?

Kembali ke Minyak Tanah?
Menyediakan kembali minyak tanah ke pasaran bukan pilihan realistis. LPG sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat karena lebih bersih, efisien, dan mudah digunakan. Kembali ke minyak tanah justru akan menciptakan kekacauan logistik dan kekecewaan publik. Di titik ini, muncul urgensi mencari alternatif. Sejumlah opsi telah dikaji-tetapi masih tertahan di meja diskusi, tanpa realisasi nyata.

Dimethyl Ether (DME): Harapan atau Ilusi?
Salah satu alternatif yang sering didengungkan adalah Dimethyl Ether (DME). Dengan memanfaatkan cadangan batu bara Indonesia yang melimpah, DME bisa menjadi pengganti LPG. Dibanding LPG, DME memiliki karakteristik pembakaran yang lebih bersih dan efisien.

Namun, jalan menuju DME penuh rintangan. Proses gasifikasi batu bara untuk menghasilkan DME membutuhkan investasi besar, baik dari sisi teknologi maupun infrastruktur. Belum lagi, tantangan keamanan dalam transportasi dan penyimpanan DME yang belum sepenuhnya terpecahkan. Saat ini biaya produksi DME sekitar USD 470 / ton yang artinya akan lebih mahal dibandingkan impor LPG.

Apakah DME solusi jangka panjang? Mungkin saja, tetapi tanpa insentif yang jelas dan komitmen investasi, DME bisa tetap menjadi sekadar wacana.

Condensate: Potensi Besar yang Terlupakan
Alternatif lain yang kurang mendapat perhatian adalah condensate, produk sampingan dari eksplorasi gas alam. Dengan harga rata-rata US$18 per barel, jauh lebih murah dibandingkan Brent crude yang mencapai US$160 per ton, condensate bisa menjadi pengganti LPG dengan modifikasi minimal pada infrastruktur yang sudah ada.

Keunggulan lain dari condensate adalah tekanannya yang lebih rendah dibandingkan LPG, sehingga lebih aman dan memperpanjang umur tabung gas yang ada. Jika condensate bisa menggantikan 1 juta metrik ton impor LPG, negara bisa menghemat hingga US$550 juta per tahun.

Indonesia memiliki sumber condensate melimpah, terutama di Donggi Senoro dan Tangguh. Jika pemerintah serius, uji coba bisa segera dilakukan di kawasan timur Indonesia, sebelum diterapkan secara nasional.

Jaringan Gas Kota dan Biogas: Potensi yang Terlupakan
Selain DME dan condensate, opsi lain yang seharusnya lebih dioptimalkan adalah Compressed Natural Gas (CNG) dan biogas. Jaringan gas kota berbasis CNG bisa menjadi solusi jangka panjang. Indonesia memiliki cadangan gas alam berlimpah, dan CNG lebih murah serta lebih ramah lingkungan dibanding LPG.

Namun, membangun jaringan gas kota membutuhkan sinergi kuat antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Tanpa kerja sama ini, proyek infrastruktur CNG hanya akan menjadi ambisi tanpa eksekusi.

Di sisi lain, biogas memiliki potensi besar, terutama dengan basis pertanian Indonesia yang luas. Melalui pemanfaatan limbah organik, biogas bisa menjadi sumber energi berkelanjutan, mengurangi impor LPG, sekaligus memberdayakan masyarakat di pedesaan.

Ketahanan Energi Bukan Sekadar Ekonomi, Tapi Soal Kedaulatan
Ketergantungan Indonesia pada LPG impor bukan sekadar persoalan ekonomi, tetapi juga masalah kedaulatan energi dan ketahanan nasional. Pertanyaan besar yang harus dijawab pemerintah adalah: Apa prioritas utama? Apakah hanya menutup defisit neraca berjalan? Atau benar-benar membangun kemandirian energi?

Jika hanya ingin memenuhi permintaan LPG saat ini, solusinya adalah meningkatkan kapasitas produksi dalam negeri. Jika ingin benar-benar lepas dari LPG, maka transisi ke DME, condensate, dan CNG harus menjadi kebijakan nyata, bukan sekadar proyek percontohan.

Di sisi lain, jika prioritas utama adalah mengurangi defisit transaksi berjalan, pemerintah harus mengejar solusi dengan dampak ekonomi tercepat-misalnya segera mengadopsi condensate dan mempercepat produksi biogas skala nasional.

Ketahanan energi Indonesia membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan strategis, yang mampu menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pemerintah perlu mengambil langkah tegas untuk mengurangi ketergantungan pada energi impor, sekaligus berinvestasi pada energi alternatif yang lebih berkelanjutan.

Jika tidak, beban impor LPG yang terus meningkat akan menjadi bom waktu yang semakin sulit dikendalikan. Indonesia harus segera bertindak, sebelum masalah ini berubah menjadi krisis yang tak terelakkan.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation