Menilik Kapasitas Fiskal Belanja Sistem Senjata Periode 2025-2029

Alman Helvas Ali, CNBC Indonesia
10 February 2025 13:10
Alman Helvas Ali
Alman Helvas Ali
Alman Helvas Ali adalah konsultan pada Marapi Consulting and Advisory dengan spesialisasi pada defense industry and market. Pernah menjadi Country Representative Indonesia untuk Jane’s Aerospace, Defense & Security pada tahun 2012-2017. Sebagai konsultan.. Selengkapnya
Momen HUT ke-79 Republik Indonesia, PT Pindad memperkenalkan produk inovasi terbaru dalam mengembangkan senjata anti-drone buatan dalam negeri yang diberi nama SPS-1 (Senjata Pelumpuh Senyap seri 1) dan kendaraan Maung MV3 Mobile Jammer pada 17 Agustus 2024 di Ibu Kota Nusantara (IKN). (Dok: PT Pindad)
Foto: Ilustrasi SPS-1 racikan PT Pindad. (Dokumentasi PT Pindad)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Kebijakan pemotongan anggaran senilai Rp 306 triliun pada tahun fiskal 2025 memberikan dampak yang cukup signifikan pada jalannya pemerintahan. Sejumlah pihak menduga bahwa kebijakan demikian diambil agar program Makan Bergizi Gratis yang menjadi janji politik administrasi Presiden Prabowo Subianto dapat berjalan hingga tahun anggaran 2025 berakhir.

Terdapat indikasi bahwa program tersebut tidak direncanakan dengan matang, sementara pemerintah masih tetap bersikeras melanjutkan kegiatan yang tidak penting dan mendesak seperti pemindahan ibu kota. Di sisi lain, pemerintah harus mematuhi aturan defisit APBN sebesar tiga persen dari PDB sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003.

Sektor pertahanan tidak kebal dari kebijakan pemotongan anggaran yang dilakukan oleh pemerintahan Prabowo Subianto, meskipun sektor itu salah satu prioritas utama. Anggaran pertahanan yang terbagi atas lima Unit Organisasi mengalami pemotongan pula walaupun tidak besar.

Pemotongan anggaran pertahanan bernilai Rp 2,6 triliun dengan anggaran TNI Angkatan Darat mendapatkan pemotongan terbesar yakni Rp 797,3 miliar. Sedangkan anggaran TNI Angkatan Udara mendapatkan pemotongan terkecil dibandingkan dua matra lainnya, yaitu sebesar Rp 420,6 miliar.

Secara nominal, TNI Angkatan Udara biasanya memang menerima anggaran (Rupiah Murni) paling kecil dibandingkan TNI Angkatan Darat dan TNI Angkatan Laut, walaupun harus mengoperasikan dan memelihara beragam sistem senjata yang kompleks dan mahal.

Penerapan kebijakan pemotongan anggaran ketika APBN 2025 belum berjalan 30 hari terjadi saat Kementerian Pertahanan masih harus menyelesaikan pekerjaan rumah akuisisi sistem senjata yang dibiayai oleh Pinjaman Luar Negeri (PLN) sebagai bagian dari MEF 2020-2024. Dengan penandatanganan loan agreement program kapal selam Scorpene Evolved pada 31 Januari 2025, tersisa 50 perjanjian pinjaman yang belum selesai proses di Kementerian Keuangan.

Di antara penghambat loan agreement ialah sikap Kementerian Pertahanan yang hendak meneruskan pengadaan sistem senjata dari Turki, padahal lembaga pemeringkat seperti Fitch Rating dan S&P Global menempatkan credit rating negara itu BB-.

Kementerian Keuangan tentu saja sangat memperhatikan credit rating tersebut sebab akan memberikan risiko besar bagi Indonesia sebagai borrower, sementara lender dan insurer pun tidak akan berjudi dengan risiko besar yang akan mereka tanggung terkait pinjaman kepada Jakarta yang akan dibelanjakan di Turki.

Seperti pernah diulas sebelumnya, terdapat dugaan bahwa tertundanya penandatanganan loan agreement pada akhir tahun lalu terkait erat dengan ketersediaan dana Rupiah Murni Pendamping (RMP) pada APBN 2025. Besaran alokasi dana RMP pada pos anggaran belanja modal Kementerian Pertahanan pada tahun ini diperkirakan hanya sekitar satu per enam dari total anggaran belanja modal.

Sampai kini belum terdapat data dan informasi pasti apakah dana RMP kembali mengurangi pengurangan sebagai akibat pemotongan anggaran di Kementerian Pertahanan atau tidak. Hanya saja, bahkan dengan asumsi bahwa dana RMP tidak terkena pemotongan anggaran, jumlah tersebut tidak berbanding lurus dengan nilai kontrak yang menantikan penandatanganan loan agreement.

Isu besaran dana RMP nampaknya mulai muncul sejak alokasi PLN bagi Kementerian Pertahanan melonjak dari US$ 7,7 miliar pada kurun 2015-2019 menjadi US$25 milyar pada periode 2020-2025. Di masa alokasi PLN hanya satu digit dalam miliar dolar AS, pemerintah nampaknya tidak memiliki masalah dengan penyediaan dana RMP.

Akan tetapi ketika alokasi PLN sudah menyentuh angka dua digit dalam miliar dolar AS, sepertinya pemerintah mulai kesukaran menyiapkan dana RMP, di mana kesulitan tersebut diduga karena semakin sempitnya ruang fiskal. Seperti diketahui, pada periode 2019-2024 pemerintahan saat itu mempunyai banyak program ambisius sehingga memerlukan pembiayaan RM maupun PLN yang lebih besar walaupun pandemi Covid-19 melanda.

Langkah administrasi Presiden Prabowo Subianto melakukan pemotongan anggaran merupakan bukti bahwa pemerintah menghadapi keterbatasan ruang fiskal yang cukup akut di tengah sejumlah program prioritas yang baru saja dijalankan. Kondisi demikian hendaknya dibaca sebagai tanda peringatan bagi kegiatan akuisisi peralatan perang yang memakai skema PLN hingga pemerintahan ini berakhir pada 2029.

Terdapat harapan bahwa Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas akan segera mengeluarkan Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri (DRPLN) Jangka Menengah 2025-2029 bagi Kementerian Pertahanan dalam beberapa bulan ke depan. Jika asumsi bahwa nilai alokasi PLN berkisar antara US$ 25 miliar hingga US$ 35 miliar, patut diwaspadai tentang kemampuan fiskal pemerintah sampai ujung dekade ini untuk menyediakan dana RMP.

Apabila pemerintah tidak meninjau belanja yang dilaksanakan selama ini, dapat dipastikan bahwa hingga dasawarsa ini berakhir tidak tersedia ruang fiskal yang cukup untuk membiayai belanja pertahanan. Kenaikan drastis pendapatan negara adalah hal yang sulit untuk terwujud mengingat kondisi ekonomi Indonesia yang dipengaruhi oleh situasi ekonomi internasional, selain sukarnya menaikkan tax ratio dalam waktu yang singkat.

Pada sisi lain, pemerintah setiap tahun mempunyai kewajiban membayar pokok utang dan bunga utang kepada kreditor, di mana pada APBN 2025 bernilai 45 persen dari total besaran APBN. Pilihan pemerintah hingga 2029 tidak banyak terkait dengan belanja APBN, namun belum terlihat tanda-tanda bahwa pemerintah akan mengurangi atau bahkan menghentikan program belanja yang tidak penting dan mendesak.

Jika ruang fiskal pemerintah hingga 2029 masih sama dengan saat ini, dapat dipastikan bahwa belanja pertahanan masih akan mengalami kesulitan seperti sekarang. Sekitar 80 persen ruang fiskal APBN sudah dikapling untuk mandatory spending dan non-discretionary spending, sehingga ruang fiskal yang tersisa untuk berbagai kegiatan lain tinggal 20 persen.

Sekarang diperkirakan ruang fiskal 20 persen pun semakin sempit karena beragam program yang dijalankan oleh pemerintah secara bersamaan dan mungkin keleluasaan fiskal hanya berkisar lima persen saja atau bahkan kurang dari itu.

Dengan kondisi demikian, terdapat kekhawatiran bahwa jika pemerintah menyediakan alokasi PLN antara US$ 25 miliar hingga US$ 35 miliar bagi Kementerian Pertahanan hingga akhir dekade ini, kontrak yang dapat dieksekusi menjadi efektif akan sangat sedikit karena alokasi dana RMP tidak akan jauh berbeda dengan kemampuan pada tahun anggaran 2025.

Ruang fiskal yang lebih besar akan tercipta apabila pemerintah mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi minimal enam persen per tahun, sehingga tersedia ruang pembiayaan yang lebih besar pula bagi belanja pertahanan. Terciptanya ruang pembiayaan tersebut hendaknya dialokasikan bagi anggaran belanja modal dan bukan anggaran belanja pegawai.

Tanpa pertumbuhan ekonomi minimal enam persen per tahun dan ditambah dengan penghapusan atau pengurangan pembiayaan kegiatan-kegiatan yang tidak penting dan mendesak, terdapat pesimisme terhadap realisasi belanja sistem senjata yang dibiayai oleh PLN pada tempo 2025-2029.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation