Salah Kaprah Pelepasan Ikan Invasif & Dampak Ekologis yang Terabaikan

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Sektor kelautan dan perikanan kembali mencatatkan rapor biru dalam perolehan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sepanjang tahun 2024, PNBP Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat rekor tertinggi sejak lembaga ini berdiri, yaitu sebesar Rp2,16 triliun per 30 Desember 2024.
Pencapaian ini tentu saja mencerminkan keberhasilan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono bersama timnya dalam meracik strategi andalan yakni ekonomi biru sebagai "mesin" untuk mengoptimalkan potensi maritim bagi Indonesia adil makmur.
Trenggono mengandalkan lima program ekonomi yang bertujuan untuk menjaga keberlanjutan ekosistem laut dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Lima program tersebut adalah, Pertama, perluasan kawasan konservasi laut yang bertujuan meningkatkan luas area konservasi laut untuk melindungi keanekaragaman hayati dan menjaga keseimbangan ekosistem.
Kedua, Penangkapan Ikan Terukur Berbasis Kuota guna mencegah overfishing, mendistribusikan nilai ekonomi ke daerah, dan memastikan keberlanjutan sumber daya ikan. Ketiga, mengembangkan kegiatan budidaya perikanan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan untuk meningkatkan produksi dan kesejahteraan masyarakat.
Keempat, Pengelolaan dan Pengawasan Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil guna memastikan pemanfaatan sumber daya di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan secara bijaksana dan berkelanjutan.
Kelima, Penanganan sampah plastik di laut melalui gerakan Bulan Cinta Laut (BCL) yang melibatkan nelayan dalam upaya membersihkan sampah plastik di laut untuk menjaga kebersihan dan kesehatan ekosistem laut.
Konsisten
Jika dirunut sejak tahun 2021 penerapan lima program ekonomi biru berjalan konsisten. Terbukti, untuk perluasan kawasan konservasi yang dilaksanakan oleh Ditjen Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut (PKRL) menunjukkan perkembangan seperti luas kawasan konservasi yang pada tahun 2024 ditargetkan 29,3 juta hektar saat ini telah mencapai 29,9 juta hektar atau 9,2% dari luas laut Indonesia.
Capaian ini kian mendekati target di mana pada tahun 2030, 10% atau 32,5 juta hektar dari luas laut Indonesia menjadi wilayah konservasi. Selain perluasan kawasan konservasi, di tahun 2024 Trenggono bersama timnya telah berhasil mendaftarkan dua kawasan konservasi sebagai lokasi Particularly Sensitive Sea Area (PSSA) yaitu Kawasan Konservasi Nusa Penida dan Gili Matra menjadi lokasi PSSA.
Ini berarti lokasi tersebut telah diakomodasi oleh International Maritime Organization (IMO) di dalam peta laut internasional sehingga kapal tidak boleh menjadikan lokasi tersebut sebagai alur laut.
Di sisi PNBP, Ditjen PKRL menjadi salah satu pemasok PNBP, yakni di angka Rp833,18 miliar di tahun ini. Kontributor utamanya adalah dari PNBP Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) sebagai izin prinsip yang harus dipenuhi pelaku usaha untuk kegiatan menetap di laut.
Ditjen PKRL juga penanggungjawab Program "Bulan Cinta Laut," yang berhasil membersihkan 744,60 ton sampah di 22 lokasi dengan melibatkan 1.763 nelayan aktif.
Sementara untuk pengelolaan perikanan tangkap, terlihat capaian PNBP perikanan tangkap hingga 20 Desember 2024 sebesar Rp 966,02 miliar, terdiri dari PNBP SDA Rp 868,03 miliar dan non SDA Rp97,99 miliar. Penerapan kebijakan PNBP pascaproduksi yang digagas Trenggono terbukti membawa banyak perbaikan pada sistem perikanan tangkap nasional.
Selain peningkatan penerimaan negara, akurasi data dan pengurusan perizinan juga menunjukkan tren positif di sepanjang tahun 2023. Per 20 Desember 2024, tercatat sebanyak 14.611 kapal izin pusat (beroperasi di atas 12 mil) yang melakukan usaha perikanan tangkap. Berdasarkan data sementara hingga 30 November 2024, produksi perikanan tangkap telah mencapai 6,7 juta ton.
PNBP pascaproduksi merupakan penerapan sistem keadilan. Sebab pembayaran PNBP oleh pelaku usaha disesuaikan dengan jumlah tangkapan yang dihasilkan.
Dari sisi pencatatan produksi, pelaksanaan pemungutan PNBP pasca produksi berkontribusi positif terhadap pelaporan pendataan di pelabuhan perikanan. Hingga hari ini, pendaratan ikan di pelabuhan perikanan telah tercatat 1,3 juta ton.
Di sektor perikanan budidaya, perolehan PNBP juga melebihi dari target yang sudah ditetapkan yakni mencapai Rp 80,38 miliar. Perolehan PNBP ini merupakan akumulasi dari PNBP Satuan Kerja Badan Layanan Umum (BLU) sebesar Rp59,16 miliar dan Satuan Kerja Ditjen Perikanan Budi Daya sebesar Rp21,22 miliar.
Tahun 2024, total produksi ikan hasil budi daya mencapai 6,37 juta ton, meningkat 13,64% dari tahun sebelumnya. Sedangkan produksi rumput laut mencapai 10,80 juta ton, meningkat sebesar 10,82% dari tahun sebelumnya.
Kenaikan produksi tersebut diikuti tren positif peningkatan nilai rata-rata pendapatan pembudidaya ikan. Nilai rata-rata pendapatan pembudidaya mencapai Rp 5.136.547 atau meningkat sebesar 4,55% dari tahun sebelumnya. Nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di beberapa daerah.
KKP juga berhasil mendongkrak peningkatan produksi 5 komoditas unggulan ekspor, yakni udang, kepiting, rumput laut, lobster dan tilapia. Untuk udang, produksinya di tahun ini meningkat menjadi 1,13 juta ton, dibanding tahun lalu sebesar 941 ribu ton. Untuk komoditas ikan nila juga mampu mencapai 1,38 juta ton, meningkat produksi tahun sebelumnya 1,36 juta ton.
Produksi lobster juga mengalami peningkatan pada 2024 mencapai 481 ton, dibanding tahun sebelumnya 437 ton. Pun demikian dengan kepiting meningkat dari 5.860 ton di 2023 menjadi 6.446 ton di tahun ini.
Modeling Budi Daya Udang Berbasis Kawasan (BUBK) di Kebumen, Jawa Tengah seluas 75 Ha mampu menghasilkan nilai produksi sementara mencapai Rp 18,4 miliar dan menciptakan lapangan kerja untuk 3.161 orang.
Kemudian modeling budi daya ikan nila salin (BINS) di Karawang, Jawa Barat, seluas 84 Ha dengan nilai produksi sementara mencapai Rp 6,76 miliar, serta menciptakan lapangan pekerjaan untuk 785 orang. Selanjutnya modeling Budi Daya Rumput Laut di Wakatobi seluas 50 Ha dengan nilai produksi sementara mencapai Rp 1,09 miliar.
Kontribusi Nasional
Lebih jauh, kontribusi sektor perikanan terhadap perekonomian nasional terlihat terus menguat. Hingga triwulan III tahun 2024, subsektor perikanan menyumbang 2,54% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dengan nilai Rp407 triliun atas dasar harga berlaku.
Pertumbuhan PDB sektor ini juga menunjukkan perbaikan signifikan, dari -2,68% pada triwulan III tahun 2023 menjadi 2,25% pada periode yang sama di tahun 2024. Subsektor perikanan berada di atas subsektor tanaman pangan, peternakan, dan tanaman holtikultura.
Tak hanya itu, produk perikanan Indonesia sudah diterima di 140 negara sepanjang tahun 2024. Ekspor hasil perikanan sebanyak 1,15 juta ton dengan nilai US$4,81 miliar pada periode Januari - Oktober 2024.
Angka tersebut lebih tinggi dibanding periode 2023 yaitu sebanyak 0,99 juta ton dengan nilai US$ 4,61 miliar. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak lima negara tujuan ekspor utama Indonesia meliputi Amerika Serikat, Tiongkok, Asean, Jepang, dan Uni Eropa.
Semua capaian ini adalah hasil dari sinergi kebijakan berbasis data, inovasi, dan kolaborasi berbagai pihak yang memberikan manfaat bagi masyarakat pesisir, lingkungan, dan generasi mendatang.
Namun, tantangan ke depan masih besar, mulai dari perubahan iklim, degradasi lingkungan, hingga persaingan global. Di sinilah dibutuhkan konsistensi mengarahkan pembangunan ekonomi biru harus terus berada di jalur keseimbangan antara keberlanjutan ekologi dan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Karena, ekonomi biru bukan hanya soal angka, tetapi juga soal keberlanjutan!