Menyearahkan Pembangunan Pusat dan Daerah

Mashudi Nugroho CNBC Indonesia
Senin, 16/12/2024 04:04 WIB
Mashudi Nugroho
Mashudi Nugroho
Mashudi merupakan salah satu aparatur sipil negara di Kementerian Keuangan. Saat ini bertugas sebagai pejabat pengawas pada Kantor Pelayanan... Selengkapnya
Foto: Ilustrasi gedung perkantoran di Jakarta. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Sejak diberlakukannya otonomi daerah, saat ini pemerintahan di Indonesia banyak mengalami dinamika, baik di tingkat pemerintah daerah maupun di tingkat pemerintah pusat. Hal tersebut dapat dilihat dari peraturan hukum yang mendasari pelaksanaan otonomi daerah, yaitu Undang-undang (UU) nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.


Sejalan dengan pemerintahan, mengingat bahwa pengelolaan keuangan daerah juga menjadi hak penuh daerah, pengaturan terkait dengan keuangan daerah juga ikut mengalami dinamika. UU nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah saat ini diubah pula dengan UU nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Otonomi daerah yang dilaksanakan berdasarkan UU sebagaimana disebut di atas tidak berarti pemerintah pusat melepaskan begitu saja segala urusan ke daerah. Sebagai bentuk dukungan, eksistensi, dan tanggungjawab yang dimiliki, pemerintah pusat tetap memberikan dukungan keuangan kepada pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang disahkan tiap tahun.

Dukungan tersebut dialokasikan dalam dana Transfer ke Daerah (TKD). Dana ini akan diberikan kepada daerah untuk membiayai pembangunan daerah, tentu saja dengan kekuasaan pengelolaan yang secara penuh dimiliki oleh daerah. Dana TKD tersebut antara lain adalah Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Otonomi Khusus, Dana Keistimewaan DIY, Dana Desa, dan Insentif Fiskal.

Berdasarkan UU nomor 22 tahun 1999, Pemerintah Daerah memiliki kekuasaan penuh atas pembangunan daerah masing-masing. Hal ini menyebabkan pemerintah daerah merasa tidak memiliki hubungan hierarki dengan pemerintahan di tingkat atasnya, sehingga mengakibatkan adanya disharmoni hubungan antarsatuan pemerintahan pusat dan daerah (Setkab, 2023).

Otoritas atas daerah, kondisi geografis, serta faktor politik seringkali membuat para kepala daerah memiliki visi, misi, dan program pembangunan yang berbeda-beda. Visi, misi, dan program pembangunan yang dibuat menyesuaikan dengan prioritas daerah, namun seringkali ditemukan berbeda dengan kebijakan dan visi misi pemerintah pusat, dalam hal ini presiden. Kondisi ini tentu saja akan membuat pemerintah pusat sulit untuk mewujudkan visi dan misi yang telah ditetapkan.

Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu menerbitkan UU nomor 32 tahun 2004, dengan harapan bahwa pembangunan akan dapat dilaksanakan secara merata dan searah, sesuai dengan visi dan misi pembangunan nasional, yang sesuai dengan salah satu tujuan negara sebagaimana tertuang dalam pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) Tahun 1945, yaitu memajukan kesejahteraan umum.

Perbedaan arah pembangunan antara pusat dan daerah akan berakibat tidak efektifnya pengeluaran negara dan daerah. Oleh karena itu, pemerintah pusat merasa perlu melakukan perubahan dalam pelaksanaan pembangunan, agar pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah bisa berjalan searah dan sinergis, demi tercapainya tujuan pembangunan nasional. Hal inilah yang menjadi salah satu dasar dan alasan adanya perubahan dari UU terkait dengan pemerintahan dan keuangan di daerah.

Selain pengaturan tentang pemerintahan, pengaturan tentang keuangan juga perlu diubah. Pengaturan terkait hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah juga mengalami perubahan.

Dinamika dalam pengelolaan keuangan bahkan lebih besar, hal ini ditandai dengan diterbitkannya UU nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) yang menggantikan UU nomor 33 Tahun 2004 yang dianggap sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada di bidang keuangan.

UU nomor 1 tahun 2022 dianggap lebih fleksibel, karena penggunaan dana APBN yang diserahkan ke daerah bisa disesuaikan dengan kebutuhan daerah, namun sekali lagi, kesesuaian dengan program nasional menjadi salah satu syarat mutlak yang harus dipenuhi.

Salah satu dampak menonjol dari implementasi UU nomor 1 tahun 2022 bagi daerah antara lain adalah terkait dengan Dana Alokasi Umum (DAU). Jika UU sebelumnya menyatakan bahwa seluruh DAU bebas dikelola dan digunakan oleh pemerintah daerah (karena hanya bersifat block grant), UU nomor 1 tahun 2022 membagi DAU menjadi dua, yaitu DAU yang bersifat block grant (yang tidak ditentukan penggunaannya) dan DAU yang bersifat specific grant (yang ditentukan penggunaannya).

Pembagian dua jenis DAU ini didasari oleh fakta bahwa DAU yang disalurkan belum optimal dalam mengatasi ketimpangan fiskal, belum mampu mendorong pemerataan dan peningkatan layanan publik, serta belum dapat meningkatkan kinerja daerah dalam mempertanggungjawabkan belanjanya secara efisien dan akuntabel.

Rata-rata realisasi belanja pegawai yang didanai DAU adalah sebesar 32,4%, sedangkan rata-rata realisasi belanja infrastruktur publik yang didanai DAU adalah sebesar 11,5% (Prasetyo, 2023), artinya, realisasi DAU sebagian besar digunakan untuk belanja birokrasi.

Pengaturan penggunaan DAU specific grant membuat pemerintah pusat lebih mudah mengendalikan arah pembangunan dan pencapaian prioritas nasional. Namun hal sebaliknya dirasakan oleh pemerintah daerah.

Bagi daerah yang sangat bergantung pada DAU, adanya DAU specific grant justru dianggap membatasi kewenangan daerah. Jika sebelumnya pemerintah daerah bebas dan memiliki kuasa penuh atas DAU yang mereka terima, dengan skema baru ini, pemerintah daerah tidak bisa terlalu leluasa untuk mengatur penggunaan DAU, mengingat ada hal khusus yang harus dibiayai dengan bersumber dari DAU tersebut, seperti penggajian Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), pendanaan kelurahan, dan lain-lain.

Pengaturan ini membuat pemerintah daerah merasa bahwa otonomi daerah saat ini dibatasi, karena pemerintah daerah tidak lagi leluasa dalam pengelolaan dana yang mereka miliki.

Terlepas dari hal-hal tersebut di atas, masyarakat Indonesia sudah pasti mengidamkan kesejahteraan. Pembangunan yang ada, baik dari sudut pandang pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, diharapkan mampu memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat.

Ekonomi yang maju, ketimpangan ekonomi yang rendah, layanan kesehatan yang memadai, lapangan kerja yang luas, dan hal baik lain sudah tentu akan menjadi hal yang tidak mustahil, jika pembangunan dapat dilaksanakan secara sinergis, merata, dan berkelanjutan. Semoga dengan dinamika yang ada, kita bisa mencapai kondisi negara Indonesia yang maju dan sejahtera.


(miq/miq)