Arah Kemandirian Energi RI di Tengah Konflik Global dan Krisis Iklim

Muhammad Dayyan Al Fikri, CNBC Indonesia
02 December 2024 18:10
Muhammad Dayyan Al Fikri
Muhammad Dayyan Al Fikri
Muhammad Dayyan Al Fikri adalah mahasiswa program studi Hubungan Internasional di Universitas Islam Indonesia yang memiliki fokus pada geopolitik, teknologi, dan energi berkelanjutan. Selain aktif dalam kegiatan akademis, ia adalah pendiri bersama SnS Koi .. Selengkapnya
Schneider Electric
Foto: Ilustrasi PLTS. (Dokumentasi Schneider Electric)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Konflik geopolitik global dan krisis iklim telah memperlihatkan kerentanan sistem energi dunia, termasuk Indonesia. Ketergantungan pada bahan bakar fosil impor menjadikan Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga internasional dan ancaman gangguan pasokan energi.

Pada tahun 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengimpor 75,72 juta barel minyak mentah, meskipun merupakan negara penghasil minyak. Ketergantungan ini menggambarkan tantangan besar dalam mencapai kemandirian energi.

Selain itu, krisis iklim memaksa negara-negara untuk segera beralih ke energi bersih guna mengurangi emisi karbon. Sebagai bagian dari komitmennya, Indonesia menargetkan 23% energi terbarukan dalam bauran energi nasional pada 2025, sesuai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

Namun, tantangan infrastruktur, dominasi batu bara, serta minimnya investasi menghambat pencapaian target tersebut. Dalam konteks ini, kemandirian energi menjadi lebih dari sekadar upaya memenuhi kebutuhan domestik, melainkan juga strategi mitigasi risiko geopolitik dan krisis iklim global.

Grafik tabel Bauran Energi Indonesia 2023. (Dok. Istimewa)Foto: Bauran energi Indonesia (Dokumentasi pribadi)



Tantangan Kemandirian Energi Indonesia

1. Ketergantungan pada Energi Fosil
Hingga tahun 2022, batu bara menyumbang 38% dari total bauran energi nasional, menjadikannya komponen utama sistem energi Indonesia (Kementerian ESDM, 2023). Meski memberikan kontribusi signifikan terhadap devisa negara melalui ekspor, penggunaannya untuk pembangkit listrik domestik menyumbang hingga 40% dari total emisi karbon nasional.

Selain itu, Indonesia mengimpor sekitar 45% kebutuhan LPG pada tahun yang sama, memperlihatkan ketergantungan tinggi pada sumber energi fosil impor.

Lonjakan harga energi global yang dipicu oleh konflik Rusia-Ukraina pada 2022 semakin menegaskan risiko ekonomi dari ketergantungan ini. Dampaknya langsung terasa pada inflasi domestik, memengaruhi daya beli masyarakat, serta stabilitas sosial.

2. Krisis Iklim dan Dampaknya pada Energi
Krisis iklim tidak hanya menjadi tantangan global, tetapi juga ancaman langsung bagi Indonesia. Perubahan pola cuaca ekstrem, seperti banjir dan kekeringan, telah memengaruhi infrastruktur energi.

Misalnya, kekeringan yang melanda Waduk Cirata pada 2021 mengurangi kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) hingga 15%. Insiden ini menggarisbawahi kerentanan sistem energi terhadap perubahan iklim yang semakin tak terprediksi.

3. Hambatan Regulasi dan Investasi
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi menekankan pentingnya diversifikasi energi dan pengembangan sumber terbarukan. Namun, implementasinya sering terkendala tumpang tindih regulasi, minimnya insentif investasi, serta kompleksitas birokrasi.

Data menunjukkan bahwa pada 2022, investasi di sektor energi terbarukan hanya mencapai US$ 1,38 miliar, jauh di bawah target US$ 3,3 miliar yang ditetapkan pemerintah (Kementerian Investasi, 2022).

Hambatan-hambatan ini menciptakan tantangan signifikan dalam menarik minat investor sekaligus memperlambat pencapaian target bauran energi terbarukan.

Strategi Meningkatkan Kemandirian Energi

1. Diversifikasi Energi
Langkah pertama menuju kemandirian energi adalah diversifikasi sumber energi. Indonesia memiliki potensi besar dalam bioenergi, terutama dari kelapa sawit, sisa hasil pertanian, dan limbah organik. Namun, pada 2022, kapasitas bioenergi yang dimanfaatkan hanya mencapai 10% dari potensinya.

Untuk meningkatkan kapasitas ini, pemerintah perlu menyederhanakan proses perizinan dan menawarkan insentif fiskal kepada investor. Pengembangan bioenergi tidak hanya mengurangi ketergantungan pada energi fosil, tetapi juga memberikan dampak positif bagi perekonomian pedesaan dengan menciptakan lapangan kerja baru.

2. Penguatan Infrastruktur Energi Terbarukan
Indonesia memiliki potensi besar dalam energi surya dan angin. Potensi energi surya mencapai 207,8 GW, tetapi baru kurang dari 1% yang dimanfaatkan (IEA, 2022). Penguatan infrastruktur, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Angin (PLTA), harus menjadi prioritas dalam agenda nasional.

Selain itu, pengembangan teknologi penyimpanan energi, seperti baterai, penting untuk mengatasi intermitensi dalam pasokan energi terbarukan. Dengan berinvestasi pada teknologi ini, Indonesia dapat meningkatkan stabilitas sistem energi terbarukan.

3. Pengurangan Ketergantungan pada Batu Bara
Transisi dari batu bara ke energi bersih harus dilakukan secara bertahap namun tegas. Pendekatan just energy transition dapat menjadi solusi, di mana pekerja sektor batu bara diberikan pelatihan ulang untuk beralih ke sektor energi terbarukan. Jerman telah berhasil mengimplementasikan program ini, dan model tersebut dapat diterapkan di Indonesia.

4. Reformasi Kebijakan dan Insentif
Penetapan kebijakan feed-in tariff dapat memberikan kepastian pasar bagi pengembang energi terbarukan. Selain itu, revisi terhadap Pasal 20 UU Energi untuk menambahkan kewajiban anggaran khusus bagi pengembangan energi terbarukan dapat mempercepat pencapaian target bauran energi nasional.

5. Peningkatan Kesadaran Publik dan Partisipasi Komunitas
Partisipasi aktif masyarakat diperlukan untuk mendukung transisi energi. Program edukasi tentang efisiensi energi dan penggunaan energi bersih dapat membantu mengurangi konsumsi berbasis fosil.

Salah satu contoh sukses adalah program Solar Energy Village di Bali, di mana komunitas lokal dilibatkan dalam pengelolaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya.

Studi Kasus: Keberhasilan Brasil dalam Bioenergi

Brasil memberikan contoh inspiratif dalam memanfaatkan potensi bioenergi. Dengan memanfaatkan bioetanol dari tebu, Brazil berhasil mengurangi ketergantungan impor minyak hingga 35% dan menciptakan ribuan lapangan kerja di pedesaan.

Indonesia, dengan potensi kelapa sawit dan biomassa yang melimpah, dapat mengadopsi pendekatan serupa. Selain memperkuat kemandirian energi, langkah ini juga mendukung pembangunan berkelanjutan dan mitigasi perubahan iklim.

Kesimpulan
Kemandirian energi adalah fondasi bagi ketahanan nasional Indonesia, terutama di tengah konflik global dan krisis iklim. Dengan strategi diversifikasi energi, penguatan infrastruktur terbarukan, reformasi kebijakan, serta partisipasi masyarakat, Indonesia dapat menjadi pelopor transisi energi di kawasan.

Pengalaman Brasil memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal untuk mendukung kemandirian energi. Dengan implementasi kebijakan yang tegas dan dukungan investasi yang memadai, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemimpin dalam transisi energi global.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation