Energi Kita, Masa Depan Kita: Mengurai Jurus Tingkatkan Lifting Migas

Dr. Anggawira, CNBC Indonesia
29 November 2024 10:50
Dr. Anggawira
Dr. Anggawira
Dr. Anggawira merupakan pemimpin di dunia bisnis dan berbagai organisasi. Ia dipercaya sebagai Sekretaris Jenderal HIPMI 2022-2025 dan Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi Mineral & Batubara (ASPEBINDO). Saat ini, Anggawira menjabat sebagai Komisaris PT. Bum.. Selengkapnya
INFOGRAFIS, Kontraktor Migas Raksasa RI
Foto: Ilustrasi kegiatan pertambangan minyak dan gas. (Edward Ricardo/CNBC Indonesia)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Ketergantungan Indonesia pada impor energi menjadi ironi besar di tengah melimpahnya sumber daya alam yang kita miliki. Data dari SKK Migas menunjukkan bahwa lifting minyak nasional pada tahun 2023 hanya mencapai 614 ribu barel per hari, jauh dari target yang ditetapkan sebesar 705 ribu barel per hari.

Ketergantungan pada impor, terutama untuk minyak mentah dan BBM, tidak hanya membebani neraca perdagangan, tetapi juga melemahkan posisi strategis Indonesia dalam percaturan global. Dalam konteks inilah, visi Presiden Prabowo Subianto melalui Asta Cita untuk mencapai swasembada energi mendapatkan relevansinya. Namun, visi ini membutuhkan strategi yang tidak hanya ambisius tetapi juga terukur.

Peningkatan lifting migas bukan sekadar soal eksplorasi atau teknologi semata; ini adalah persoalan multidimensional yang menyentuh aspek kebijakan, investasi, hingga efisiensi operasional.

Sebagai langkah awal, teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) menawarkan potensi besar. EOR mampu meningkatkan produksi di lapangan-lapangan tua yang selama ini dianggap tidak lagi ekonomis.

Data menunjukkan bahwa dengan EOR, potensi peningkatan produksi dapat mencapai 30%-60% dibandingkan metode konvensional. Di Indonesia, penerapan EOR pada lapangan seperti Minas dan Tanjung telah membuktikan efektivitasnya, meski penerapannya masih terbatas akibat tingginya biaya awal.

Namun, teknologi saja tidak cukup tanpa dukungan infrastruktur yang memadai. Indonesia masih menghadapi kendala pada sistem jaringan pipa yang terbatas, kapasitas kilang yang tidak mencukupi, serta logistik transportasi migas yang kerap tidak efisien.

Sebagai perbandingan, negara tetangga seperti Malaysia telah berhasil memanfaatkan kapasitas infrastruktur mereka secara optimal, yang berkontribusi pada lifting mereka yang lebih stabil. Jika Indonesia ingin mengejar ketertinggalan, modernisasi infrastruktur harus menjadi prioritas, termasuk pembangunan kilang baru yang telah lama tertunda.

Peningkatan lifting juga membutuhkan eksplorasi cadangan baru. Indonesia memiliki potensi migas yang belum tergarap di kawasan frontier seperti Papua dan Laut Natuna. Namun, eksplorasi ini menghadapi tantangan besar, mulai dari lokasi yang terpencil hingga risiko eksplorasi yang tinggi.

Di sinilah peran kebijakan yang pro-investasi menjadi sangat penting. Insentif pajak, kepastian hukum, dan penyederhanaan proses perizinan adalah kunci untuk menarik investor, terutama di sektor hulu migas. Langkah ini bukan hanya tentang meningkatkan lifting, tetapi juga membuka lapangan kerja baru dan meningkatkan pendapatan daerah penghasil migas.

Selain minyak, gas alam menjadi aset strategis yang sering kali diabaikan. Indonesia adalah salah satu produsen gas alam terbesar di dunia, tetapi pemanfaatannya masih jauh dari optimal. Fenomena pembakaran gas (flaring), yang menghasilkan limbah energi bernilai tinggi, masih lazim terjadi.

Padahal, jika dimanfaatkan dengan baik, gas ini dapat memenuhi kebutuhan domestik, seperti pembangkit listrik, sekaligus meningkatkan nilai ekspor. Keberhasilan ini memerlukan kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, perusahaan migas, dan lembaga riset untuk mengembangkan teknologi pemrosesan gas yang lebih efisien.

Di sisi lain, efisiensi operasional juga menjadi elemen krusial. Pemanfaatan teknologi seperti Internet of Things (IoT) dalam pemantauan real-time dapat mengurangi gangguan operasional yang selama ini menjadi kendala utama.

Selain itu, strategi pengelolaan reservoir berbasis data memungkinkan perusahaan untuk memaksimalkan produksi tanpa merusak keseimbangan ekosistem. Pendekatan ini tidak hanya mendukung keberlanjutan produksi tetapi juga menjaga daya saing sektor migas Indonesia di tingkat global.

Namun, keberhasilan peningkatan lifting migas tidak hanya bertumpu pada teknologi, infrastruktur, atau kebijakan. Kolaborasi antara semua pemangku kepentingan menjadi kunci utama. Pemerintah harus menjadi fasilitator yang menciptakan ekosistem kondusif bagi sektor migas.

Perusahaan nasional harus berani berinovasi dan mengambil risiko, sementara masyarakat perlu dilibatkan dalam menjaga keberlanjutan proyek-proyek migas. Keberhasilan negara-negara seperti Norwegia dalam mengelola sumber daya energi mereka bisa menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia.

Ketahanan energi adalah soal keberlanjutan dan kedaulatan. Dalam dunia yang semakin kompetitif, swasembada energi tidak hanya akan mengurangi ketergantungan pada pihak luar, tetapi juga memperkuat posisi geopolitik Indonesia di kawasan.

Dengan memanfaatkan teknologi terkini, memperkuat infrastruktur, dan mengadopsi kebijakan yang tepat, Indonesia memiliki semua yang dibutuhkan untuk menjadi negara yang mandiri di sektor energi.

Energi adalah nadi kehidupan bangsa. Kini saatnya kita bertindak bersama, karena masa depan Indonesia bergantung pada langkah-langkah strategis yang kita ambil hari ini.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation