Diversifikasi Sumber Senjata Versus Potensi Risiko Teknis dan Keuangan

Lawatan Presiden Indonesia Prabowo Subianto ke lima negara selama dua pekan pada November 2024 memunculkan kontroversi di Indonesia, khususnya mengenai salah satu butir dalam Joint Statement Indonesia-China yang dianggap oleh banyak ahli di Indonesia sebagai pengakuan eksplisit Jakarta terhadap klaim 9-Dash-Lines Beijing di Laut China Selatan.
Meskipun Kementerian Luar Negeri mengeluarkan pernyataan pers yang membantah bahwa Indonesia mengakui klaim 9-Dash-Lines dalam joint statement, pernyataan demikian gagal meredam kontroversi yang timbul.
Isu lain yang mendapatkan perhatian ialah rencana Indonesia membeli peralatan perang dari Beijing di tengah agresivitas China mengklaim seluruh wilayah Laut China Selatan sebagai wilayah kedaulatannya.
Meskipun sejak beberapa tahun silam Indonesia bergeming terhadap tawaran sistem senjata utama dari China, namun sejak tahun ini terdapat kecenderungan untuk menerima tawaran itu yang mungkin didasari oleh alasan untuk memperluas kebijakan diversifikasi pengadaan sistem senjata.
Indonesia sejak lama mengadopsi kebijakan pengadaan sistem senjata yang berasal dari beragam sumber dengan konsekuensi munculnya tantangan logistik yang cukup besar untuk menjaga kesiapan operasional bermacam sistem senjata tersebut.
Diversifikasi merupakan konsekuensi dari kebijakan luar negeri bebas dan aktif, di mana dalam praktiknya Indonesia tidak dapat mengandalkan negara manapun sebagai sekutu, sementara negara lain pun tidak mau menjadikan Indonesia sebagai sekutu karena dianggap bermain di banyak kaki.
Sesungguhnya kebijakan luar negeri bebas dan aktif hanya bisa dijalankan bila Indonesia menjadi salah satu kekuatan politik, ekonomi, teknologi dan militer dunia, suatu status yang tidak dipunyai oleh Jakarta saat ini hingga 20 tahun ke depan.
Kebijakan diversifikasi dapat dinilai pula sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan pada pasokan dari industri pertahanan dan dirgantara Amerika Serikat dan Eropa di tengah situasi geopolitik global yang terus berubah.
Salah satu tantangan yang dihadapi oleh industri pertahanan Amerika Serikat dan Eropa sejak 34 tahun silam ialah munculnya sejumlah negara berkembang yang berupaya mengurangi ketergantungan pasokan sistem senjata dari negara-negara maju.
Sejak awal 2000-an beberapa negara berkembang yang sebelumnya adalah importir senjata dari negara-negara Barat mulai mengekspor sistem senjata yang mereka kembangkan ke pasar internasional dengan negara-negara berkembang lainnya sebagai sasaran pasar.
Langkah negara-negara berkembang seperti Korea Selatan, Brasil, Singapura dan Turki mengembangkan dan memajukan industri pertahanan merupakan bagian dari upaya membangun kemandirian di bidang pertahanan sekaligus memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi masing-masing.
Negara-negara tersebut mengembangkan dan memajukan industri pertahanan mereka berkat akses teknologi pertahanan dan teknologi dwiguna dari negara-negara Barat sejak 1970-an, baik lewat lisensi, pengembangan bersama ataupun skema lainnya.
Dalam pola pikir yang sederhana, kemunculan industri pertahanan sejumlah negara berkembang akan merugikan industri pertahanan Amerika Serikat dan Eropa. Namun menurut Richard Aboulafia, nilai pemberitahuan program Foreign Military Sales (FMS) Amerika Serikat tumbuh menjadi US$ 80,9 miliar pada tahun anggaran 2023 dari US$ 34,4 miliar pada tahun fiskal 2021.
Pemberian izin Direct Commercial Sales (DCS) Amerika Serikat sudah mencapai US$ 157,5 miliar pada tahun fiskal 2023 dari US$ 103,4 miliar pada tahun anggaran 2021. Memperhatikan data FMS dan DCS, sebagian importir sistem senjata buatan Amerika Serikat pada periode 2021 sampai 2023 justru adalah negara-negara yang sejak lebih dari 50 tahun silam telah mengembangkan dan memajukan industri pertahanan domestik mereka sendiri.
Salah satu penjelasan akan hal tersebut adalah sebagian besar negara berkembang masih memiliki ketergantungan pada negara-negara Barat dalam aspek sub sistem seperti engine, avionik, radar, peralatan elektronika dan lain sebagainya.
Tidak dapat dimungkiri bahwa firma-firma pertahanan negara-negara berkembang sebagian besar baru mampu memproduksi platform seperti kendaraan lapis baja, kapal perang, helikopter, pesawat angkut dan pesawat tempur, namun masih belum memiliki kemampuan yang matang untuk menghasilkan beragam sub sistem.
Ekspor industri pertahanan negara-negara Barat bukan saja sistem seperti kendaraan lapis baja dan pesawat terbang, tetapi mencakup pula sub sistem yang dibutuhkan oleh sejumlah perusahaan pertahanan di negara-negara berkembang. Sebagai ilustrasi, PT Dirgantara Indonesia memerlukan pasokan engine dari GE Aerospace untuk produksi CN235-220 dan dari Honeywell bagi manufaktur NC212i.
Selain Indonesia, industri pertahanan dan dirgantara Turki pun masih memiliki ketergantungan pada pabrikan-pabrikan Barat, khususnya pada teknologi maju seperti engine, avionik, radar dan lain sebagainya.
Industri pertahanan Turki yang dimiliki oleh militer dan swasta terdiri dari 100 perusahaan inti tersebut mayoritas masih belajar untuk menjadi industri yang matang dan menghasilkan produk-produk yang dapat diandalkan.
Sektor land system tercatat sebagai sektor yang sudah matang, sedangkan sektor lainnya seperti dirgantara, C4ISR, naval system dan munisi dan rudal masih memerlukan waktu untuk matang. Mengutip laporan Janes, industri pertahanan Turki masih mempunyai ketergantungan pada kontraktor-kontraktor internasional untuk desain, kemampuan dan teknologi untuk produk-produk yang mereka hasilkan.
Sejak 2020, Kementerian Pertahanan memberikan perlakuan khusus terhadap impor sistem senjata buatan Turki sebagai bagian dari implementasi kebijakan diversifikasi sumber sistem senjata.
Namun terdapat hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan oleh Kementerian Pertahanan agar tidak menjadi bumerang bagi Indonesia dalam beberapa tahun mendatang, seperti fakta bahwa beberapa sistem senjata yang hendak diimpor belum teruji, belum matang dan menjadikan Indonesia sebagai first export customer.
Beberapa produk pertahanan Turki yang masuk kategori itu ialah rudal Atmaca, rudal Cakir, rudal Hisar dan radar Cafrad, padahal Indonesia sudah memiliki pengalaman pahit dengan beberapa produk dengan kategori serupa buatan negara lain.
Bukan merupakan keputusan politik yang bijaksana apabila TNI harus menggunakan sistem senjata yang kemampuannya masih diragukan, sebab TNI kini dituntut meningkatkan kesiapan operasional dan bukan menjadi tempat uji coba bagi produk pertahanan negara lain.
Jika Kementerian Pertahanan hendak membeli produk pertahanan dan dirgantara dari Turki, sebaiknya produk tersebut sudah teruji, matang dan digunakan oleh militer negara lain di luar Turki. Memang tidak banyak produk buatan Turki yang memenuhi kriteria tersebut, namun hal demikian harus ditempuh terlepas dari iming-iming alih teknologi dari Turki.
Perlu diingat pula bahwa Indonesia tidak membeli lisensi dari Turki, sehingga diragukan ada transfer teknologi kunci dari beberapa akuisisi yang dilakukan saat ini. Hal lain yang hendaknya diperhatikan adalah isu pendanaan utang oleh Kementerian Keuangan.
Di mana fakta menunjukkan bahwa biaya utang untuk membiayai pengadaan sistem senjata buatan Turki lebih mahal karena resiko yang besar sebagai akibat peringkat kredit Turki yang tidak tergolong investment grade oleh lembaga pemeringkat seperti Moody's, Fitch Ratings dan S&P Global Ratings.
(miq/miq)