Salah Urus Kebijakan Ekonomi Jokowi

Nailul Huda CNBC Indonesia
Selasa, 13/08/2024 09:50 WIB
Nailul Huda
Nailul Huda
Nailul Huda adalah seorang ekonom dengan pengalaman kerja lebih dari 9 tahun. Nailul memiliki gelar master dalam bidang Pembangunan Ekonomi ... Selengkapnya
Foto: Ilustrasi Jokowi. (Aristya Rahadian/CNBC Indonesia)

Tidak terasa, sudah hampir satu dekade Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkuasa. Dimulai dari 2014 dengan melawan calon presiden terpilih 2024-2029, Prabowo
Subianto, pemerintahan Jokowi mulai menjalankan pemerintahan dengan berbagai kebijakannya. Tentu yang paling diingat adalah ketika baru menjabat adalah memangkas subsidi BBM yang cukup besar di tahun 2014.

Pada satu tahun setelahnya, fokus pembangunan pemerintahan Jokowi adalah pembangunan infrastruktur fisik di mana saat itu anggaran untuk infrastruktur meningkat 65 persen pada tahun 2015. Secara konsisten Jokowi mampu mengalokasikan lebih dari Rp300 triliun per tahun untuk pembangunan infrastruktur.

Pada tahun 2023, dana infrastruktur mencapai Rp455 triliun, termasuk untuk pembangunan Ibu Kota Baru di Nusantara yang mulai dicanangkan sejak tahun 2019.


Dengan angka kepuasan pemerintah yang tinggi, Jokowi mencalonkan kembali sebagai presiden pada periode 2019-2024. Seakan tanpa beban, Jokowi membuat dosa-dosa yang membuat segala aspek sosial dan ekonomi memburuk.

Tercatat ada lima (panca) dosa Jokowi selama satu dasawarsa memimpin Indonesia. Pertama adalah pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang penuh dengan kontroversi. Kontroversi ini bermula pada pada tahun 2020 di mana saat itu, dengan berbagai pasal yang merugikan masyarakat dan lingkungan.

UU Ciptaker ini sering disebut dengan "Omnibus Law" atau membabat habis peraturan perundangan hanya dengan satu UU. Pemerintah saat itu bersikukuh ada permasalahan dalam investasi, terutama menyangkut peraturan perizinan di daerah. Dalam pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat pun, partisipasi publik sangat kurang didengar, bahkan pemerintah seperti menutup telinga dengan aspirasi publik.

Salah satu yang selalu jadi bahan perbincangan adalah hak pekerja yang dibabat habis dalam UU Cipta Kerja. Perubahan pun dilakukan dalam UU Cipta Kerja ini seperti pesangon, fleksibilitas kontrak kerja, serta endorsement terhadap sistem outsourcing.

Tidak hanya itu, UU Cipta Kerja juga meninggalkan catatan buruk bagi lingkungan di mana ada beberapa pasal terkait perizinan yang tidak mensyaratkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau AMDAL.

Tidak hanya soal tenaga kerja dan lingkungan, UU Cipta Kerja menyampingkan peran dan tugas pemerintah daerah dalam hal investasi. Tentu, bagi negara yang sudah menerapkan kebijakan otonomi daerah pasca reformasi, Pemerintahan Jokowi meninggalkan catatan kelam.

Dosa kedua Pemerintahan Jokowi adalah pengelolaan anggaran yang tidak prudent. Salah satu indikator paling mencolok adalah peningkatan hutang pemerintah yang diwariskan oleh Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY kepada Jokowi.

Sebagai gambaran, utang pemerintah tahun 2004 adalah Rp1.299,5 triliun atau 57 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Utang pemerintah meningkat hingga mencapai Rp2.608,8 triliun dengan rasio terhadap PDB hanya 24,74 persen.

Jika dihitung dengan compound annual growth rate (CAGR), pertumbuhan utang masa SBY hanya 7,2 persen. Pemerintah Jokowi berhasil menambah utang hampir Rp6.000 triliun selama 2014 hingga 2024. Posisi Juni 2024, utang pemerintah Indonesia mencapai Rp8.444,9 triliun atau 40 persen dari PDB. Pertumbuhan utang per tahun mencapai 12,5 persen per tahun.

Pengelolaan utang ini tidak diimbangi dengan peningkatan penerimaan negara, terutama perpajakan. Rasio pajak, yang acapkali digunakan untuk mengukur kinerja perpajakan, stagnan di angka 10 persen dari PDB.

Bahkan di tahun 2017 dan 2019, rasio pajak Indonesia berada di bawah 10 persen. Padahal, pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024, target rasio pajak Indonesia mencapai 10,7 persen hingga 12,3 persen.

Capaian di tahun 2023 hanya 10,3 persen dari PDB. Bahkan di tahun 2024, target pemerintah tersebut kembali berkurang. Padahal, negara maju dan tetangga di
ASEAN mempunyai rasio pajak lebih dari 14 persen.

Pemerintahan Jokowi juga memberikan karpet merah terhadap aktivitas pertambangan dengan berbagai kelonggaran perpajakan. Kasus hilirisasi nikel yang memberikan karpet merah kepada perusahaan Tiongkok melalui insentif fiskal jangka panjang semakin memperparah kondisi penerimaan negara dari tambang. Penerimaan perpajakan dari tambang sangat rendah dibandingkan dengan share sektor tambang terhadap perekonomian nasional.

Semakin Timpang
Dosa pemerintahan Jokowi yang ketiga adalah ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang meningkat. Indeks Gini, suatu ukuran ketimpangan pengeluaran, Indonesia saat ini berada di angka 0,388.

Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan tahun 2019. Sebenarnya, jika dilihat dari tahun 2014, angka tersebut cenderung turun, namun penurunan tersebut hanya sampai tahun 2019. Peningkatan ketimpangan paling terasa berada di perkotaan di mana indeks gini perkotaan mencapai 0,409, sedangkan indeks gini perdesaan hanya di angka 0,313.

Masyarakat perkotaan dihadapkan pada ketimpangan pengeluaran yang tinggi karena pembangunan daerah perkotaan yang masif tidak disertai dengan pemerataan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi di perkotaan pasti lebih tinggi karena perputaran uang di perkotaan cenderung lebih cepat. Namun pertumbuhan ekonomi yang cepat tersebut meninggalkan masalah ketimpangan ekonomi.

Di daerah perdesaan, masalah yang terjadi adalah tingginya tingkat kemiskinan di mana tingkat kemiskinan di desar mencapai 12,22 persen. Kontradiksi kondisi kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran di desa menunjukkan bahwa ketimpangan yang rendah dikarenakan penduduknya banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Dosa keempat dari pemerintahan Jokowi adalah korupsi dan nepotisme membuat biaya investasi semakin mahal. Data dari Transparacy International Indonesia menunjukkan bahwa secara score dan rangking, permasalahan korupsi di Indonesia semakin parah.

Dari sisi score Corruption Perception Index, Indonesia memiliki score anti korupsi sebesar 34 dari nilai maksimal 100. Angka tersebut jauh lebih buruh dibandingkan dengan score Indonesia pada tahun 2019.

Pada tahun tersebut, score Corruption Perception Index Indonesia adalah 40 dari 100. Tahun 2019 juga merupakan score Indonesia tertinggi sejak tahun 2009. Bahkan di tahun 2019, Jokowi mengesahkan Revisi UU 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).

Dari sisi peringkat, peringkat Indonesia mengalami penurunan sejak pemerintahan Joko Widodo. Pada tahun 2015, peringkat Corruption Perception Index Indonesia berada di angka 88 dari 180 negara yang dinilai.

Peringkat tersebut hanya sempat membaik di tahun 2019 dengan menempati peringkat 85. Namun, pada tahun 2022 peringkat Corruption Perception
Index Indonesia kembali memburuk dengan turun ke posisi 110.

Penurunan score maupun peringkat Corruption Perception Index Indonesia menunjukkan kualitas pemerintahan Joko Widodo dalam pemberantasan korupsi semakin memburuk. Dampak dari praktik korupsi ini kepada ekonomi adalah investasi yang masuk akan mahal dan semakin tidak efisien dalam meningkatkan perekonomian.

Salah satu indikatornya adalah nilai incremental capital output ratio atau ICOR yang semakin meningkat. Pada tahun 2011, nilai ICOR Indonesia saat itu berada di angka 3.7, hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi mampu tumbuh di atas 6 persen.

Saat ini, nilai ICOR Indonesia berada di angka 6,6 persen, hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi stagnan di angka 5 persen. Semakin tinggi nilai ICOR maka ekonomi Indonesia semakin tidak efisien. Biaya investasi mahal karena budaya korupsi yang semakin parah.

Bahkan masyarakat Indonesia semakin tidak anti korupsi yang ditunjukkan oleh Indeks Perilaku Anti Korupsi yang menurun. Orang Indonesia, termasuk birokratnya semakin toleran dengan perilaku koruptif.

Dosa yang terakhir dari pemerintahan Jokowi adalah deindustrialisasi prematur sektor manufaktur nasional. Share sektor industri manufaktur terhadap PDB nasional semakin menurun.

Pada tahun 2010, share industri manufaktur mencapai 22 persen terhadap total PDB nasional. Angka tersebut turun menjadi 18,7 persen di tahun 2023. Tahun 2024, industri manufaktur nasional akan semakin tenggelam seiring dengan penurunan Purchasing Managers Index (PMI) nasional menjadi di bawah 50.

Akibatnya sudah tampak dalam beberapa bulan terakhir di mana terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri-industri strategis nasional, termasuk industri tekstil dan produk tekstil. Pada Januari 2024, terdapat 3,33 ribu karyawan terdampak PHK. Pada Mei 2024, terdapat 8,39 ribu karyawan terputus kerjanya.

Jika dijumlahkan selama periode Januari hingga Mei 2024, terdapat 27,22 ribu tenaga kerja yang terkena PHK. Masih terdapat beberapa dosa lagi pemerintahan Jokowi dalam bidang ekonomi. Namun, saya mencatat lima (panca) dosa tersebut yang merupakan dosa besar yang sangat merugikan ekonomi dan masyarakat luas.


(miq/miq)