Meningkatkan Inklusi Keuangan Melalui Sistem Pembayaran Terbuka

Yose Rizal Damuri, CNBC Indonesia
17 July 2024 10:42
Yose Rizal Damuri
Yose Rizal Damuri
Yose Rizal Damuri merupakan Direktur Eksekutif, Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia. Yose juga mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Beliau meraih gelar S1 dari Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, kemudian m.. Selengkapnya
Pembeli melakukan transkasi pembayaran qris di Pasar Santa, Jakarta, Senin, (3/7). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Pembeli melakukan transkasi pembayaran qris di Pasar Santa, Jakarta, Senin, (3/7). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Digitalisasi sistem pembayaran di Indonesia telah mengalami peningkatan signifikan. Bank Indonesia mencatat nominal transaksi Quick Response Code Indonesian Standard atau QRIS sepanjang 2023 mencapai Rp 229,96 triliun. Jumlah tersebut tumbuh 130,01% secara tahunan. Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menyatakan bahwa jumlah pengguna QRIS mencapai 45,78 juta pada tahun 2023. Dalam era digital yang berkembang pesat, akses ke layanan keuangan yang inklusif merupakan pilar utama dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat. Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan tahun 2022 memperlihatkan kenaikan tingkat inklusi keuangan masyarakat Indonesia dari 76,19% tahun 2019 menjadi 85,10% di tahun 2022. Pada tahun 2024, OJK menargetkan inklusi keuangan di Indonesia akan meningkat menjadi 90%.

Global Findex Database 2021 dari Bank Dunia menunjukan jumlah penduduk unbanked di Indonesia, yaitu individu yang cukup umur tetapi tidak memiliki rekening bank, mencapai hampir 98 juta penduduk dewasa, atau hampir separuh dari populasi orang dewasa di Indonesia. Menariknya, sekitar 55% dari penduduk unbanked ini memiliki akses ke telepon genggam, yang membuka peluang besar untuk dijangkau oleh layanan keuangan digital.

Berbagai data ini menunjukan arti pentingnya inovasi layanan keuangan digital, seperti dompet digital (e-wallet). Meskipun banyak yang tidak memiliki rekening bank, keberadaan dompet digital telah memungkinkan mereka untuk dapat mengakses layanan keuangan. Berdasarkan data Statista, pada tahun 2022, jumlah pengguna dompet digital di Indonesia telah mencapai sekitar 107 juta, meningkat 17% dari tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 91,4 juta pengguna.

Layanan dompet digital mempunyai potensi yang tinggi untuk mendukung inklusi keuangan dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat. Layanan ini telah memudahkan transaksi harian, dari membayar tagihan hingga berbelanja online, sehingga mengubah cara masyarakat menerima dan mengirim uang. Menurut data Statista, dompet digital telah menyumbang hampir 40% dari transaksi pembayaran di e-commerce pada tahun 2022. Peningkatan kemudahan transaksi digital ini telah mendorong pertumbuhan pengguna e-commerce di Indonesia, yang jumlahnya telah meningkat menjadi 58,63 juta pada tahun 2023 dan diproyeksikan terus bertumbuh hingga mencapai 99 juta pada tahun 2029.

Untuk lebih meningkatkan peran tersebut, diperlukan ekosistem pembayaran terbuka yang mendukung interoperabilitas, mengedepankan kolaborasi antara berbagai layanan keuangan, mempunyai protokol dan standar yang terbuka, serta mendorong inovasi dengan tingkat keamanan yang baik. Ekosistem pembayaran yang terbuka memungkinkan berbagai penyedia layanan pembayaran untuk berinteraksi dan berkolaborasi, sehingga memudahkan pengguna untuk melakukan transaksi lintas platform. Hal ini juga telah dijabarkan dalam "Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025" dari Bank Indonesia.

Ekosistem sistem pembayaran digital yang mendukung interoperabilitas diperlukan untuk menjamin kemampuan berbagai sistem atau platform pembayaran yang berbeda dalam berinteraksi dan bekerja sama secara efektif. Ini akan meningkatkan aksesibilitas dan kenyamanan bagi pengguna, serta mendorong ekosistem pembayaran yang lebih terintegrasi. Interoperabilitas memungkinkan para pelaku industri keuangan digital untuk melayani lebih dari sekedar pasar tradisional. Dengan kerja sama ini, pelaku keuangan digital tidak hanya menjadi alat pembayaran tapi juga menjadi portal untuk layanan keuangan lain seperti tabungan, pinjaman, dan asuransi, menyediakan akses finansial bagi banyak orang yang selama ini tidak terlayani oleh sistem finansial konvensional. Bank Indonesia, sebagai badan pengawas sistem pembayaran nasional, telah memprediksi bahwa dompet digital dapat menjangkau secara efektif populasi unbanked dan underbanked.

Ekosistem yang mendorong kolaborasi antar penyedia layanan juga akan menciptakan solusi baru yang bermanfaat bagi pengguna. Kemudahan akses bagi masyarakat yang tidak memiliki rekening bank untuk terintegrasi ke dalam ekonomi formal hanya dapat tercapai dengan kolaborasi antar berbagai pelaku pembayaran, seperti bank, fintech, dan layanan keuangan digital lainnya. Integrasi dan kolaborasi akan memberikan solusi yang dapat mempersiapkan masyarakat untuk transaksi sehari-hari mereka dengan lebih efektif.

Dengan kemudahan akses yang ditawarkan oleh teknologi ini, pengguna dapat melakukan transaksi keuangan dari mana saja, kapan saja, tanpa perlu mengunjungi cabang bank atau outlet keuangan fisik lainnya. Ini sangat penting di wilayah pedesaan atau bagi kelompok masyarakat yang sebelumnya terisolasi dari sistem keuangan tradisional dan meningkatkan pembangunan ekonomi. Inklusivitas keuangan dalam konteks ekonomi pembangunan turut membantu meningkatkan Human Development Index (HDI) atau meningkatkan pengetahuan dan taraf hidup masyarakat. Dengan adanya peningkatan HDI tersebut, maka dapat membuat kesenjangan sosial dan ketimpangan pendapatan tidak melebar dan pada akhirnya dapat membantu pemerintah dalam menurunkan tingkat kemiskinan masyarakat, serta sekaligus meningkatkan Produk Domestik Produk (PDB).

Selain itu, protokol dan standar ekosistem yang terbuka juga menjadi bagian penting. Salah satu inisiatif kunci adalah paradigma yang mengedepankan kombinasi antara industrial approach, regulatory approach, dan collaborative approach. Pengejewantahan dari paradigma ini melahirkan konsistensi kebijakan yang mengedepankan standarisasi dalam berbagai lini instrumen pembayaran. Tidak hanya dalam konteks kebijakan, yang dimana standarisasi dapat menciptakan iklim ekonomi keuangan digital yang mendukung interoperabilitas, tapi juga bagaimana standarisasi telah mengkonfigurasi opsi pembayaran yang efisien bagi masyarakat luas dan berdampak luas bagi inklusi keuangan.

Contoh nyata dari implementasi sistem pembayaran terbuka dan terintegrasi adalah QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard), yang telah memudahkan konsumen untuk melakukan pembayaran dari berbagai aplikasi keuangan digital dengan satu kode QR yang

dapat dipindai oleh semua. Inisiatif ini tidak hanya meningkatkan efisiensi transaksi harian, tetapi juga memperkaya pengalaman pengguna secara keseluruhan, menyederhanakan proses pembayaran untuk pedagang dan konsumen secara seragam. Pengoperasian sistem pembayaran ini telah terbukti mendorong partisipasi masyarakat yang sebelumnya tidak mempunyai literasi keuangan cukup, untuk menjadi bagian aktif dalam era ekonomi digital.

Ekosistem terbuka seperti QRIS dalam prakteknya perlu memperhatikan pengobaran semangat pembayaran yang inklusif untuk memberikan pilihan yang memadai kepada masyarakat, khususnya di pedesaan, agar mereka dapat berpartisipasi dalam sistem roda perekonomian nasional dan tidak terpinggirkan. Hambatan yang muncul dalam pengimplementasian pembayaran yang inklusif seperti QRIS adalah munculnya metode pembayaran yang eksklusif oleh para pelaku sektor pembayaran di berbagai pelaku usaha baik offline dan online. Pembayaran eksklusif yang masih ada pada saat akan menghambat masyarakat dalam bertransaksi. Jika QRIS telah menjadi bauran kebijakan sistem pembayaran yang inklusif, seyogyanya ini sudah menjadi suatu keniscayaan dalam praktek pembayaran di masyarakat, bukan malah mengusung metode pembayaran yang bersifat eksklusif.

Walaupun secara sederhana sistem pembayaran adalah pemindahan uang dari satu pihak ke pihak lain, namun konseptualisasi dalam kegiatan perekonomian nasional bersifat vital. Bauran pembayaran yang bersifat inklusif seperti QRIS oleh bank sentral perlu kita jaga marwahnya, baik oleh regulator itu sendiri, pelaku pembayaran, pelaku usaha, dan kita semua sebagai konsumen. Perlu juga pengencangan pengawasan oleh regulator untuk memastikan pembayaran yang berkembang adalah yang mendukung ekosistem yang terbuka dan inklusif.

Dengan mendorong prinsip ekonomi digital yang inklusif, Indonesia tidak hanya akan mempercepat inovasi dan persaingan tetapi juga memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dirasakan semua serta berkelanjutan. Sebagai negara dengan aspirasi global dan komitmen terhadap kemajuan teknologi, Indonesia berada di jalur yang benar untuk menjadi pemimpin dalam ekonomi digital yang inklusif, paling tidak di tingkat regional.

 


(rah/rah)

Tags

Related Opinion
Recommendation