Forget Swiftonomics, It's Lebaranomics!

Pada Desember 2023, dunia digemparkan oleh strategi pemerintah Singapura untuk 'memonopoli' The Eras Tour dari Taylor Swift di kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan Trade and Industry Brief LPEM UI, konser yang dilangsungkan selama enam hari di National Stadium Singapura itu dapat menaikkan PDB Singapura sebesar Rp 3,9 triliun, serta meningkatkan pendapatan rumah tangga Singapura sebesar Rp 2,3 triliun. The Eras Tour juga berdampak terhadap perputaran uang di Singapura hingga mencapai angka Rp 3,51 triliun.
Netizen Indonesia serta beberapa pejabat negara menyayangkan Indonesia yang belum berhasil dalam memainkan strategi serupa terutama dalam industri hiburan dan ekonomi kreatif. Namun ada sebuah fenomena tiap tahun di Indonesia yang kerap kali dianggap biasa akan tetapi memiliki dampak yang jauh lebih masif daripada Swiftonomics, terutama terhadap pendapatan UMKM dan negara.
Lebaranomics, Ekonomi Parsel, dan Ekonomi Takjil
Menurut data BPS, PDB Indonesia didominasi oleh sektor konsumsi rumah tangga sebesar 52,88% pada tahun 2023. Dominasi ini dapat diartikan bahwa stimulus terhadap konsumsi rumah tangga, misalnya hari raya, berdampak secara signifikan terhadap ekonomi negara. Tak bisa dipungkiri bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, maka Hari Raya Idul Fitri atau biasa disebut "Lebaran" adalah salah satu stimulus terbesar ekonomi Indonesia.
Bulan Ramadan dan Hari Raya Idulfitri identik dengan tradisi 'halalbihalal', baik untuk berbuka bersama, kembali pulang ke rumah, maupun mengunjungi sanak saudara. Seiring dengan meningkatnya angka 'halalbihalal' masyarakat Indonesia, tingkat perputaran uang pun turut meningkat, maka lahirlah fenomena Lebaranomics.
Lebaranomics terjadi setiap tahun di Indonesia. Pada tahun ini, angka pemudik mencapai 193,6 juta orang dengan nilai perputaran uang mencapai Rp 157,3 triliun. Angka ini menunjukkan kenaikan angka pemudik sebesar 56,38% YoY dan angka perputaran uang 44,8 kali lebih besar dari Swiftonomics di Singapura. Beberapa sektor yang menunjukkan kenaikan pendapatan secara signifikan selama bulan puasa antara lain adalah makanan dan minuman, industri kreatif, fesyen muslim, serta logistik.
Dari perputaran uang yang sangat masif tersebut, muncullah 'Ekonomi Parsel' dan 'Ekonomi Takjil'. Menurut Bank Syariah Indonesia (BSI) Institute, perputaran 'Ekonomi Parsel' saja di masa Lebaran tahun 2024 diprediksi mencapai Rp 10,73 triliun, yakni 3,06 kali lebih besar dari Swiftonomics. 'Ekonomi Parsel' tidak terhenti dalam pembuatan dan pengemasan parsel saja namun juga berlanjut pada pengiriman parsel yang menggerakkan sektor logistik, baik dalam kota, antarkota, hingga antarprovinsi.
Masih ada 'Ekonomi Takjil' yang ditimbulkan oleh fenomena 'perang takjil' dan padatnya acara buka bersama. Menurut Mandiri Spending Index (MSI), arus dana simpanan masyarakat ke supermarket dan restoran mencapai angka 40% pada periode Januari-Februari 2024. Angka ini mencapai kenaikan 10% YoY dibandingkan bulan suci tahun sebelumnya.
Transitory Inflation: Hikmah di Balik Musibah
Berdasarkan teori ekonomi, kenaikan harga barang atau inflasi akan terjadi bila kenaikan tingkat perputaran uang lebih tinggi daripada kenaikan tingkat PDB suatu negara. Rupanya hal ini terjadi dalam Lebaranomics. Namun, apakah inflasi Lebaranomics semata-mata berdampak negatif?
Fenomena Lebaranomics setiap tahun selalu menimbulkan inflasi jangka pendek, yakni selama 1 hingga 1,5 bulan transitory inflation atau inflasi sementara. Inflasi sementara Lebaranomics ini melanda banyak sektor, terutama makanan dan minuman, serta transportasi.
Cabai, tomat, ikan bandeng, dan daging sapi adalah empat bahan dasar makanan yang turut terkena dampak inflasi, hal ini selanjutnya mengakibatkan naiknya HPP makanan yang dijual di pasaran. Daging sapi mengalami kenaikan harga yang paling drastis hingga mencapai Rp 180.000 di Aceh, Sampit, dan Jakarta.
Sementara itu pada sektor transportasi, kenaikan harga tiket kereta memang terjadi dan telah dikonfirmasi oleh Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero) Didiek Hartantyo. Namun, kenaikan harga tiket bus menuai keluhan yang jauh lebih banyak dibandingkan tiket kereta. Sebab, kenaikan harga tiket bus dapat mencapai 50% dari harga normal.
Namun, bak dua sisi koin, inflasi sementara ini harus turut dilihat dari sudut pandang pengusaha. Momentum inflasi sementara ini adalah sebuah hikmah dibalik musibah bagi pengusaha, terutama UMKM yang kritis dalam melihat kesempatan.
Di tengah banyaknya pelaku usaha yang meliburkan diri selama libur panjang lebaran, terjadilah shortage-situasi di mana angka supply menurun, sementara angka demand terus meningkat. Sesuai dengan teori permintaan dan penawaran, kondisi ini menghasilkan tingginya harga jual barang UMKM yang masih berbisnis.
Menilik sisi lain naiknya harga tiket bus pada paragraf sebelumnya, bus DAMRI menaikkan harganya sebesar 15% dan tetap berhasil menjual lebih dari 56.900 tiket bus selama masa lebaran. Terbukti kenaikan harga pada Lebaranomics tidak menurunkan demand masyarakat Indonesia-permintaan inelastis.
Tak hanya bus DAMRI, UMKM pun turut merasakan hikmah dari permintaan inelastis Lebaranomics. Sepanjang libur lebaran 2024, banyak berita terkait kenaikan pendapatan UMKM
disuarakan oleh media-media di Indonesia, termasuk CNN, TV One, Tribun News, iNews, dan lain-lain.
Pedagang alat dapur di Pasar Gede menikmati omzet 5x lipat lebih banyak dari biasanya, ibu-ibu pengrajin ketupat di Sleman menjual lebih dari 1.000 ketupat per harinya, pelaku usaha kantin di kapal tujuan Mahulu-Samarinda meraih keuntungan Rp 5 juta per hari, driver ojek online ACI banjir penumpang hingga untung ratusan ribu per hari.
Kemudian rental mobil yang menaikkan harganya hingga Rp 1 juta per hari dan masih banjir orderan dari pemudik yang telah berkeluarga, hingga penjual bunga di dekat TPU yang meraup jutaan Rupiah per hari karena tradisi nyekar.
Beberapa contoh kesuksesan UMKM selama libur lebaran 2024 di atas menjadi bukti nyata bahwa inflasi sementara dalam Lebaranomics merupakan stimulus masif yang berdampak
positif terhadap perekonomian Indonesia. Pada akhirnya, masyarakat Indonesia harus berbangga akan tradisi lebaran yang tetap dilestarikan dan Lebaranomics sebagai dampak
tradisi tersebut.
Ke depannya, pekerjaan rumah pemerintah dan masyarakat Indonesia adalah mengadakan lebih banyak fenomena-fenomena ekonomi yang menggerakkan sektor konsumsi rumah tangga Indonesia dan pada akhirnya menjadi sentimen positif terhadap peningkatan PDB Indonesia.
(miq/miq)