Mengejar Target Net Zero Emission Indonesia, Apa Kabar Sektor Energi?

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Indonesia telah memastikan komitmennya untuk menjalankan transisi energi dalam rangka menuju net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. Setidaknya, terdapat tiga faktor yang perlu diperhatikan dalam pengembangan infrastruktur transisi energi.
Pertama, pengembangan infrastruktur transisi energi harus memperhatikan jaminan ketersediaan sumber daya (security of supply). Pengembangan infrastruktur transisi energi harus menyesuaikan dengan potensi energi primer (primary energy) yang tersedia. Tujuannya, untuk menjamin bahwa keberadaan infrastruktur tersebut dapat memenuhi kebutuhan energi dalam waktu yang lama.
Kedua, pengembangan infrastruktur transisi energi harus memperhatikan aspek keterjangkauan (affordability). Energi merupakan enabler bagi seluruh aktivitas ekonomi. Sehingga, keekonomian harga energi yang dibayar pembeli (off-taker) akan menentukan kemajuan perekonomian.
Karakteristiknya adalah harga energi per unit semestinya dapat ditekan lebih rendah. Bila harga listrik yang dibayarkan oleh off-taker rendah, harga listrik yang dibayarkan konsumen (user) juga akan rendah.
Ketiga, pengembangan infrastruktur transisi energi harus memperhatikan tujuan transisi energi itu sendiri, yaitu energi yang dihasilkan adalah energi yang memiliki penerimaan oleh masyarakat (acceptability) yang tinggi karena rendah emisi (low emission). Karakteristik infrastrukturnya adalah yang mampu menghasilkan produksi CO2/unit rendah.
Kenapa Panas Bumi?
Penulis berpendapat bahwa pertimbangan pertama dalam menentukan keputusan pengembangan infrastruktur energi adalah ketersediaan sumber daya lokal. Ini mengingat, ketersediaan sumber daya merupakan faktor utama penentu keamanan pasokan (security of supply).
Pilihan energi baru dan terbarukan (EBT) yang tersedia relatif banyak. Namun, dari sekian pilihan EBT, tidak banyak yang memiliki karakteristik sebagai energi base load. Yaitu, sumber energi yang mampu menyuplai kebutuhan energi secara terus menerus dan stabil. Di sisi lain, kita membutuhkan sumber EBT base load dalam jumlah besar.
Kapasitas pembangkit listrik tenaga batubara (PLTU) yang terpasang sangat besar, terutama di Jawa. Jawa adalah penyangga utama ekonomi Indonesia. Karenanya, Jawa sangat membutuhkan pembangkit base load dalam kapasitas besar, untuk menjamin kebutuhan energi baik bagi rumah tangga maupun industri.
Sampai dengan 2022, total kapasitas pembangkit listrik yang terpasang di Jawa dan Bali mencapai sekitar 49 ribu MW atau sekitar 67% dari total kapasitas pembangkit secara nasional. Sebagian besar, pembangkit yang terpasang di Jawa tersebut adalah pembangkit base load antara lain berasal dari PLTU.
Dengan demikian, bila pada masanya PLTU tersebut pensiun (retirement) ataupun dipensiunkan lebih awal (early retirement) maka penggantinya yang berasal dari EBT semestinya merupakan pembangkit base load yang dapat menghasilkan listrik dalam jumlah besar dan setara.
Terlalu berisiko, bila pembangkit pengganti berasal dari sumber EBT yang intermittent. Karenanya, panas bumi (geothermal) menjadi pilihan yang realistis untuk dikembangkan. Kenapa panas bumi yang dipilih?
Pertama, Indonesia merupakan salah satu produsen energi panas bumi terbesar di dunia. Total cadangan dan potensi panas bumi Indonesia mencapai sekitar 23.766 MW atau sekitar 40 persen potensi panas bumi dunia.
Besarnya potensi panas bumi Indonesia tersebut setara dengan sekitar 35% dari total kapasitas pembangkit secara nasional. Karenanya, panas bumi memiliki potensi dikembangkan menjadi sumber energi primer menggantikan PLTU yang akan semakin berkurang.
Sebagian besar lokasi potensi panas bumi berada di Jawa dan Sumatera, relevan dengan rencana penguatan ketahanan energi melalui pengembangan infrastruktur transisi energi di Jawa.
Kedua, memiliki karakteristik yang dibutuhkan untuk mendukung transisi energi yang berkelanjutan. Panas bumi cenderung tidak akan habis, selama kesetimbangan sistem panas bumi terjaga secara baik. Emisi gas CO2 yang dihasilkan panas bumi jauh lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata emisi pembangkit di Indonesia.
Pasokan listrik dari panas bumi terbukti dapat dipertahankan terus menerus dan relatif stabil. Faktor kapasitas (capacity factor) produksi listrik panas bumi per tahun diperkirakan dapat mencapai 86% hingga 95% selama masa komersial PLTP (Kagel, 2006). Dengan karakteristik seperti ini, panas bumi memiliki kecocokan yang tinggi sebagai sumber energi base load yang rendah emisi sekaligus menghasilkan listrik dalam kapasitas besar.
Ketiga, sumber panas bumi bersifat setempat (locally) sehingga tidak terpengaruh oleh risiko transportasi, tidak membutuhkan mobile transportation. Untuk mengalirkan panas bumi dari sumbernya ke pembangkit hanya menggunakan pipa dalam jangkauan pendek. Karakteristik ini tidak dimiliki oleh sumber energi listrik lainnya seperti batubara yang rentan dengan gangguan transportasi di darat dan di laut.
Keempat, harga energi panas bumi akan kompetitif dalam jangka panjang, karena tidak memiliki depletion cost dan tidak dipengaruhi oleh the law of scarcity. Harga energi panas bumi tidak terpengaruh oleh dinamika harga energi global, seperti yang dialami oleh energi fosil. Sehingga, tarif listrik panas bumi dapat ditetapkan "flat" selama masa komersial PLTP.
Tantangan bagi Pengembangan Panas Bumi
Pengembangan panas bumi menghadapi tantangan berupa tingginya biaya investasi pada tahap awal pengembangan. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi.
Pertama, kegiatan eksplorasi membutuhkan biaya besar, dengan risiko yang besar pula. Sama dengan pengusahaan minyak dan gas bumi, untuk mendapatkan panas bumi perlu dilakukan pengeboran.
Berdasarkan pengalaman, pengeboran panas bumi di Indonesia berpeluang besar untuk mendapatkan sumur produksi berkapasitas sekitar 8 MWe. Namun, terdapat risiko menemukan sumur yang kurang dari 2 MWe. Sedangkan biaya pengeboran per sumur umumnya sebesar US$5,4 juta, namun dapat meningkat menjadi US$8 juta per sumur sehingga ekonomi proyek akan berbeda (Ramadyanto, 2019).
Kedua, lokasi panas bumi umumnya berada di daerah jauh (remote area) sekitar pegunungan dengan akses infrastruktur yang terbatas. Sehingga, tidak jarang bahwa pengembang panas bumi harus menyiapkan infrastruktur sendiri seperti jalan dan jembatan. Ketidakpastian ini berpotensi menambah biaya investasi.
Ketiga, pengembangan panas bumi juga membutuhkan waktu yang cukup lama. Dari tahap preliminary study sampai pengoperasian dapat memakan waktu 6-8 tahun, bahkan bisa lebih lama.
Jangka waktu yang lama tersebut tentu menyedot dana besar. Tidak hanya biaya yang terkait langsung dengan konstruksi, tetapi juga termasuk biaya-biaya lainnya selama masa konstruksi. Antara lain, komponen biaya bunga pinjaman selama masa konstruksi (interest during construction) yang diperhitungkan sebagai biaya investasi.
Sebagaimana pelaku bisnis pada umumnya, pengusaha panas bumi mengharapkan keuntungan. Pada saat lelang wilayah kerja panas bumi (WKP), berbagai risiko terutama risiko pengeboran, belum terlihat.
Oleh karena itu, badan usaha pemegang izin panas bumi (IPB) akan memperhitungkan risiko yang akan mereka hadapi tersebut sebagai premi risiko. Premi risiko ini menjadi tambahan margin atas harga listrik PLTP. Selanjutnya, melalui harga listrik, risiko pengembang panas bumi tersebut ditransfer kepada PLN.
Tantangannya memang cukup banyak. Namun, panas bumi merupakan sumber EBT yang layak dikembangkan, terutama di wilayah yang membutuhkan energi base load dalam kapasitas besar. Diperkirakan, dalam 15 tahun ke depan akan banyak PLTU yang akan pensiun karena berakhirnya masa operasi.
Di sisi lain, pemerintah telah mencanangkan tidak akan membangun PLTU baru (zero additional). Sehingga, berhenti beroperasinya PLTU tersebut perlu dipersiapkan penggantinya sejak sekarang dalam kapasitas yang setidaknya sama atau di atasnya dalam rangka memenuhi tambahan permintaan (additional demand) listrik. Panas bumi menjadi pilihan yang layak untuk menggantikan PLTU tersebut.
Kebijakan De-Risking Eksplorasi Panas Bumi
Berbagai faktor yang menghambat pengembangan panas bumi perlu dicarikan solusinya. Salah satunya adalah solusi untuk menurunkan risiko (de-risking) terutama pada pada kegiatan eksplorasi. Konsekuensi dari tingginya risiko eksplorasi, banyak proyek panas bumi yang tidak bankable di mata perbankan.
Di sisi lain, pengembangan panas bumi membutuhkan investasi besar untuk memaksimalkan potensinya. Karenanya, kebijakan de-risking mutlak diperlukan agar pengusahaan panas bumi layak secara keuangan (financially feasible) dan bankable.
Kebijakan de-risking telah diakomodasi melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2017 tentang Panas Bumi Untuk Pemanfaatan Tidak Langsung. Melalui kedua peraturan perundangan tersebut, kebijakan de-risking untuk kegiatan eksplorasi difasilitasi dalam bentuk keterlibatan pemerintah melalui penyiapan WKP, sebelum dilelang.
Pada tahapan penyiapan WKP ini, pemerintah melakukan survei pendahuluan dan eksplorasi. Tujuannya, untuk memperoleh data dan informasi yang akurat mengenai potensi panas bumi di suatu wilayah.
Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM telah menyediakan dukungan APBN untuk membiayai kegiatan eksplorasi panas bumi. Salah satunya melalui program Government Drilling, yaitu, program pengeboran sumur panas bumi (eksplorasi) oleh pemerintah. Pelaksanaan program ini memanfaatkan dana Pembiayaan Infrastruktur Sektor Panas Bumi (PISP) yang dikelola PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) (Persero).
Pemerintah bekerja sama dengan Bank Dunia juga menyediakan fasilitas pembiayaan dan mitigasi risiko atas kegiatan eksplorasi panas bumi melalui program Geothermal Resource Risk Mitigation (GREM). Dalam program tersebut tersedia fasilitas de-risking atau skema berbagi risiko (risk sharing), sehingga pengembang tidak sepenuhnya menanggung risiko dan biaya eksplorasi jika terjadi kegagalan eksplorasi. Pelaksanaan program ini juga dilakukan melalui PT SMI (Persero).
Dalam rangka memperoleh data dan informasi potensi panas bumi, PT SMI (Persero) menugaskan badan usaha panas bumi untuk melakukan eksplorasi. Badan usaha yang menerima penugasan tersebut akan memperoleh kompensasi sebagai pengganti biaya sekaligus margin keuntungan.
Dengan kata lain, pada tahapan ini pemerintah melalui PT SMI (Persero) menanggung biaya dan risiko apabila dalam kegiatan eksplorasi tersebut tidak menemukan potensi uap panas bumi yang diharapkan.
Kegiatan eksplorasi menghasilkan data dan informasi mengenai potensi panas bumi. Data dan informasi tersebut kemudian menjadi bagian dari nilai atau harga suatu WKP yang dilelang kepada badan usaha panas bumi untuk dikembangkan.
Melalui kebijakan de-risking ini, risiko eksplorasi berkurang dan diharapkan semakin mendorong investasi pengembangan panas bumi. Badan usaha panas bumi setelah memenangkan lelang WKP tinggal melanjutkan tahapan kegiatan berikutnya yaitu eksploitasi dan pemanfaatan.
Penulis mengusulkan bahwa dalam rangka meningkatkan kegiatan eksplorasi, selain mengandalkan dukungan eksisting dari APBN perlu diterapkan pula kebijakan earmarking pada sejumlah pendapatan negara tertentu.
Pendapatan negara tertentu tersebut terutama yang berasal dari kegiatan ekonomi yang menimbulkan emisi karbon. Pendapatan negara tertentu tersebut antara lain berasal dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mineral dan batubara, pajak dari pengusahaan minyak bumi, dan pajak karbon (carbon tax).
Peran Penjaminan Bagi Pengembangan Panas Bumi
Bisnis pengusahaan panas bumi merupakan kegiatan yang membutuhkan waktu lama untuk mencapai komersialisasi. Setelah kegiatan eksplorasi dilakukan, badan usaha pemegang IPB harus melakukan sejumlah kegiatan sebelum pemanfaatan atau komersialisasi. Badan usaha pemegang IPB harus melakukan kegiatan eksploitasi untuk memaksimalkan kapasitas produksi uap yang dapat dihasilkan sesuai dengan potensinya.
Berdasarkan UU Panas Bumi, prioritas utama pengusahaan panas bumi adalah untuk pemanfaatan tidak langsung sebagai sumber energi listrik. Sebagaimana di dalam kegiatan di sektor ketenagalistrikan, agar energi yang dihasilkan dari panas bumi dapat dimanfaatkan sebagai energi listrik maka perlu dibangun infrastruktur pembangkitan (PLTP).
Kegiatan eksploitasi dan pemanfaatan panas bumi tentunya membutuhkan investasi besar, sesuai dengan kapasitas sumur dan pembangkit yang dibangun. Pada tahap ini, proyek memiliki prospek untuk ditawarkan ke perbankan.
Namun, perbankan masih membutuhkan dukungan kelayakan kredit (credit enhancement) untuk memperkuat komitmen dalam pemberian kredit. Dukungan kelayakan kredit umumnya berupa penjaminan untuk menanggung risiko selama kegiatan eksploitasi dan konstruksi PLTP.
Penjaminan telah dipraktekkan dalam kegiatan pengembangan panas bumi. Namun, pemanfaatannya baru dipraktekkan dalam pelaksanaan eksplorasi kepada badan usaha penerima penugasan untuk melakukan kegiatan eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi terkait potensi panas bumi.
Pelaksana penjaminan adalah PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) (Persero). Sedangkan penerima penjaminan adalah PT SMI (Persero). PT SMI membutuhkan penjaminan dari PT PII (Persero) untuk melakukan kerja sama pendanaan dari perbankan dalam rangka membiayai kegiatan penugasan eksplorasi tersebut.
Penulis mengusulkan agar penjaminan PT PII (Persero) tersebut diperluas manfaatnya. Yaitu, tidak terbatas pada badan usaha penerima penugasan eksplorasi tetapi mencakup pula badan usaha pemegang IPB yang melakukan kegiatan eksploitasi dan pemanfaatan panas bumi.
Dengan demikian, hubungan penjaminan yang terjadi adalah antara badan usaha pemegang IPB sebagai terjamin dengan PT PII (Persero) sebagai penjamin. Aktivitas yang dijamin adalah kegiatan pembiayaan selama tahap eksploitasi dan konstruksi infrastruktur PLTP. Termasuk pula, kebutuhan investasi untuk pengadaan mesin dan peralatan PLTP. Konsep penjaminan dilakukan secara business to business (B-to-B) antara badan usaha pemegang IPB dengan PT PII (Persero).
Setidaknya, terdapat dua manfaat bila mekanisme penjaminan tersebut dilakukan. Pertama, meningkatkan bankability dari proyek pengembangan panas bumi. Peningkatan bankability tersebut akan memudahkan badan usaha pemegang IPB menarik pendanaan dari perbankan. Kemudahan dalam memperoleh pendanaan eksternal ini berpotensi dapat menurunkan porsi pendanaan dari sumber internal badan usaha pemegang IPB.
Kedua, meningkatkan keyakinan off-taker (dalam hal ini PLN) untuk membeli listrik yang dihasilkan dari PLTP. Keberadaan penjaminan tersebut akan meningkatkan keyakinan PLN terkait dengan kelangsungan proyek pengembangan panas bumi dalam tahapan eksploitasi dan konstruksi PLTP. Ini mengingat, risiko kegagalan menjadi lebih kecil atau bahkan dapat dihilangkan.
Panas bumi merupakan sumber energi masa depan bagi Indonesia. Potensinya besar dan match dengan kebutuhan untuk memperkuat komposisi EBT yang bersifat base load dalam bauran energi (energy mix).
Peran kebijakan de-risking dan penjaminan dalam pengembangan panas bumi penting untuk mendorong investasi di sektor panas bumi. Oleh karenanya, penguatan institusi penyelenggaraan de-risking dan penjaminan memiliki arti strategis bagi pengembangan panas bumi dan ketahanan energi nasional ke depan.