Memperkuat Aturan Ekspor Senjata Indonesia

Alman Helvas Ali, CNBC Indonesia
09 October 2023 12:40
Alman Helvas Ali
Alman Helvas Ali
Alman Helvas Ali adalah konsultan pada Marapi Consulting and Advisory dengan spesialisasi pada defense industry and market. Pernah menjadi Country Representative Indonesia untuk Jane’s Aerospace, Defense & Security pada tahun 2012-2017. Sebagai konsultan.. Selengkapnya
Ilustrasi peluru tajam. Freepik
Foto: Ilustrasi peluru tajam (Dokumentasi Freepik)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Perdagangan pertahanan khususnya amunisi kaliber kecil dan senapan serbu termasuk hal yang agak sulit dikontrol penyebarannya apabila negara eksportir tidak menegakkan aturan End User Certificate (EUC) secara ketat. Penegakan aturan EUC dikenal sebagai End User Monitoring (EUM) yang dilakukan oleh kedutaan besar negara eksportir di negara importir atau tim inspeksi yang langsung datang dari eksportir.

EUC diterbitkan oleh instansi yang berwenang mengontrol ekspor senjata, di mana di Indonesia adalah Kementerian Pertahanan, sementara di Amerika Serikat adalah Departemen Luar Negeri. Isu EUC pada dasarnya terkait erat dengan kebijakan luar negeri suatu negara, di mana kebijakan itu merupakan kombinasi antara idealisme suatu negara dalam hubungan internasional dan pragmatisme negara tersebut dalam urusan bisnis pertahanan.

Munculnya laporan bahwa beberapa firma pertahanan milik Indonesia yang melakukan ekspor senjata ke Myanmar yang melanggar Resolusi Majelis Umum PBB 25/287 perlu dicermati. Pada satu sisi laporan tersebut mencerminkan ketidakakuratan informasi, namun pada sisi lain menggambarkan suatu hal terkait dengan bagaimana Indonesia menegakkan EUC bagi produk pertahanan yang diekspor.

Ketidakakuratan informasi tercermin dari tuduhan bahwa tiga perusahaan pertahanan milik negara melakukan ekspor senjata ke Myanmar, di mana tuduhan tersebut mudah untuk dipatahkan setidaknya untuk industri dirgantara dan maritim. Sebagaimana diketahui, PT Pindad, PT Dirgantara Indonesia dan PT PAL Indonesia menjadi tertuduh dalam laporan tersebut.

Produk ekspor PT Dirgantara Indonesia adalah dua pesawat angkut sayap tetap hasil kerjasama dengan Airbus Defence and Space, yakni NC212i dan CN235-220. Apabila pabrikan pesawat terbang yang dahulu bernama IPTN tersebut hendak mengekspor salah satu atau kedua model pesawat, lisensi ekspor yang dibutuhkan bukan hanya dari Kementerian Pertahanan Indonesia, tetapi pula dari Departemen Luar Amerika Serikat.

Lisensi ekspor dari Washington diperlukan karena kedua model pesawat mengadopsi sejumlah komponen produksi Amerika Serikat, seperti avionik dan engine. Departemen Luar Negeri Amerika Serikat harus menerbitkan lisensi untuk engine Honeywell TPE331-12JR-701C dan atau General Electric CT7-9C sebelum PT Dirgantara Indonesia dapat mengekspor NC212i dan atau CN235-220 ke Myanmar.

Memperhatikan daftar produksi NC212i sejak 2015 dan CN235 dalam 10 tahun terakhir, Indonesia tidak pernah mendapatkan pesanan untuk mengekspor kedua jenis pesawat tersebut ke Myanmar. Tidak ada pula transfer pesawat buatan PT Dirgantara Indonesia yang dipakai oleh negara asing ke Myanmar, baik secara legal maupun ilegal.

Harus dicatat bahwa saat ini semua konsumen NC212i dan CN235-220 adalah militer dan atau lembaga pemerintah negara asing. Sebaliknya, kedua pesawat terbang dalam hampir 10 tahun terakhir nyaris tidak dilirik oleh maskapai penerbangan sipil.

Transfer pesawat terbang cukup mudah untuk diawasi karena karakternya yang mengandung unsur global supply chain, bukan saja dari aspek manufaktur tetapi pula pada aspek pemeliharaan. Begitu juga dengan transfer kapal perang, di mana tuduhan bahwa industri pertahanan Indonesia mengekspor kapal perang ke Myanmar sangat mudah untuk dibantah.

Galangan seperti PT PAL Indonesia hanya akan memproduksi kapal perang bila ada pesanan dan identitas sang pemesan pun tidak bisa dirahasiakan. Setiap ada pesanan pada galangan tersebut, sangat mudah untuk diketahui identitas pemesan dan berasal dari negara mana.

Pada sisi lain, laporan yang menuduh Indonesia melanggar Resolusi Majelis Umum PBB 25/287 menunjukkan bahwa masih ada tantangan tentang bagaimana Indonesia menegakkan EUC bagi produk pertahanan yang diekspor. Hal ini terkait dengan produk seperti munisi kaliber kecil dan senapan serbu, seperti yang terjadi pada produk PT Pindad 14 tahun silam di Filipina.

Tantangan yang dihadapi oleh dalam ekspor produk seperti munisi kaliber kecil dan senapan serbu adalah bagaimana memastikan bahwa produk tersebut tidak ditransfer ke pihak ketiga tanpa seizin dari Kementerian Pertahanan Indonesia. Berbeda dengan produk yang berbentuk platform seperti pesawat terbang dan kapal perang, menegakkan EUM untuk produk-produk seperti munisi kaliber kecil dan senapan serbu cukup sulit.

Terlepas apakah tuduhan kepada PT Pindad benar atau tidak, tuduhan terhadap beberapa pabrikan mesin perang asal Indonesia sebenarnya secara tidak langsung mengangkat kembali isu lama dalam hal perdagangan pertahanan yang dilaksanakan oleh Indonesia. Isu lama tersebut yaitu Indonesia belum mempunyai aturan tentang ekspor senjata yang kokoh, sebab selama ini hanya diatur dalam Peraturan Menteri Pertahanan.

Negeri ini belum memiliki aturan tentang ekspor senjata yang berstatus undang-undang atau minimal Peraturan Pemerintah. Terdapat beberapa isu yang patut untuk diperhatikan menyangkut izin ekspor senjata Indonesia ke pasar internasional.

Pertama, peran Kementerian Luar Negeri. Ekspor senjata bukan semata terkait dengan kebijakan pertahanan, tetapi terkait juga dengan kebijakan luar negeri. Selama ini peran Kementerian Luar Negeri dalam penerbitan lisensi ekspor senjata cukup minimal, di mana Kementerian Pertahanan "dapat meminta pertimbangan Kementerian Luar Negeri terkait ketentuan dan/atau konvensi internasional".

Tidak ada kewajiban bagi Kementerian Pertahanan untuk meminta pertimbangan dari Kementerian Luar Negeri untuk transfer senjata buatan Indonesia ke negara lain.
Kementerian Pertahanan dan Mabes TNI memainkan peran sentral dalam izin ekspor senjata, sementara peran Kementerian Luar Negeri terkesan di pinggiran.

Peran Kementerian Luar Negeri perlu ditingkatkan sehingga setara dengan Kementerian Pertahanan dan Mabes TNI sebab urusan transfer senjata bukan bisnis biasa. Bahkan perlu dipertimbangkan bahwa izin ekspor senjata ditandatangani oleh Menteri Pertahanan dan Menteri Luar Negeri atau pejabat yang ditunjuk mewakili mereka. Belum terlambat bagi pemerintah untuk membuat aturan hukum yang lebih kuat terkait ekspor senjata, minimal berbentuk Peraturan Pemerintah.

Kedua, penegakan EUC. Pertanyaan yang muncul adalah apakah Indonesia selama ini telah menegakkan rezim EUC melalui EUM terhadap senjata yang dijual ke negara lain? Bagaimana peran Kedutaan Besar RI (KBRI) di negara importir senjata dalam memonitor penggunaan senjata buatan Indonesia? Peran KBRI di sini tidak terbatas pada Kantor Atase Pertahanan, tetapi organisasi KBRI secara keseluruhan.

EUM adalah implementasi dari EUC, sehingga EUC tidak menjadi macan kertas belaka. Apakah ada kegiatan inspeksi rutin untuk memonitor penggunaan senjata yang diekspor oleh Indonesia, misalnya CN235-220 di Senegal dan Nepal?

Apabila terdapat kegiatan demikian dilaksanakan secara terprogram, tidak akan sulit bagi Indonesia, baik Kementerian Luar Negeri maupun Kementerian Pertahanan, untuk merespons dengan cepat dan tepat apabila ada tuduhan terhadap ekspor senjata Indonesia atau penyalahgunaan izin ekspor senjata negeri ini.


(miq/miq)