Solusi Konkret Atasi Polusi Udara: Infrastruktur Hijau

Nuril Hidayati CNBC Indonesia
Senin, 11/09/2023 12:35 WIB
Nuril Hidayati
Nuril Hidayati
Nuril H. adalah staf peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Fokus risetnya tentang fisiologi tumbuhan hiperakumulator logam be... Selengkapnya
Foto: Suasana ibu kota Jakarta beberapa waktu lalu. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Beberapa waktu belakangan, polusi udara menjadi topik pembicara utama masyarakat tanah air. Ini wajar mengingat polusi udara telah berdampak kepada kehidupan, seperti peningkatan penderita penyakit infeksi saluran pernapasan atas atau yang dikenal dengan sebutan ISPA.

Lantas, apa itu polusi udara dan mungkinkah infrastruktur hijau menjadi solusi jangka panjang mengatasi permasalahan tersebut?


Polusi udara adalah udara yang terkontaminasi oleh zat antropogenik atau alami dalam konsentrasi tinggi untuk waktu yang lama, yang mengakibatkan efek buruk pada kenyamanan dan kesehatan manusia serta ekosistem. Polutan udara meliputi partikulat (PM), ozon (O3), sulfur dioksida (SO2 ), nitrogen dioksida (NO2), dan senyawa organik volatil (VOC).

Pedoman kualitas udara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa batas rata-rata paparan tahunan PM2.5 (diameter partikel 2,5 μm atau kurang) dan PM10 (diameter partikel 10 μm atau kurang) masing-masing adalah 10 μg m−3 dan 25 μg m−3; dan batas paparan 24 jam masing-masing adalah 25 μg m−3 dan 50 μg m−3.

Batas paparan O3 selama 8 jam adalah 100 μg m−3. Rata-rata tahunan NO2 adalah 40 μg m−3 atau 200 μg m−3 selama 1 jam, dan paparan SO2 selama 24 jam adalah 20 μg m−3 atau 500 μg m−3 selama 10 menit.

Pada tahun 2016, Kesehatan Dunia Organisasi (WHO) melaporkan bahwa lebih dari 92% populasi dunia terpapar polutan udara melebihi batas WHO. Polusi udara telah menjadi penyebab utama risiko lingkungan yang menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas.

Studi Badan Internasional untuk Penelitian Kanker menunjukkan bahwa 223.000 kematian pada tahun 2010 akibat kanker paru-paru yang disebabkan oleh polusi udara sebagai karsinogen lingkungan yang tersebar paling luas. Dilaporkan WHO sekitar 7 juta orang meninggal karena polusi udara secara langsung atau tidak langsung pada tahun 2012.

Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA) memperkirakan kerugian ekonomi dan biaya kesehatan yang disebabkan oleh polusi udara mencapai $2,9 triliun pada tahun 2018, atau 3,3% PDB global. Dengan demikian, perkembangan teknologi menurunkan kontaminan udara telah menjadi tantangan yang sangat penting pada komunitas lokal dan global.

Langkah-langkah untuk menurunkan polusi udara tentu sudah banyak dilakukan termasuk langkah preventif dengan mengurangi emisi yang disebabkan oleh antropogenik, dan langkah pemulihan polutan yang ada. Berbagai strategi, kebijakan, dan model pengurangan polusi udara telah diterapkan.

Misalnya menekan terjadinya emisi dan sumber polusi, termasuk kendaraan, pembangkit listrik, dan sektor industry hingga penerapan regulsi-regulasi terkait, termasuk menerapkan pajak emisi. Teknologi berbasis sains telah dikembangkan untuk mengendalikan polutan udara, seperti filter partikulat diesel dan penyaringan karbon aktif sebagai adsorben xylene dan NO2.

Fotokatalisis sebagai salah satu teknologi paling menjanjikan telah digunakan untuk menghilangkan VOC. Untuk kondisi yg sudah tahap emergency diperlukan terobosan yg signifikan seperti penerapan teknologi air filtering di spot2 prioritas, seperti cara yg sdh dilakukan di India.

Metoda air filtering ini intinya menyaring dan membersihkan udara di luar rangan hingga radius 200 hingga 400 meter dan mampu menyaring 600,000 meter kubik udara sehari. Alat ini dapat dipasang di tempat-tempat umum seperti taman, alun-alun umum atau lainnya yang merupakan spot prioritas. Akan tetapi tentu saja metoda-metoda tersebut memerlukan investasi yang tidak sedikit dan tidak mudah pula diimplementasikan.

Untuk mengatasi beban ini, fakta bahwa permukaan daun tanaman yang diperkirakan mencapai 4 × 10 8 km2 di bumi dan juga rumah bagi sekitar 10 26sel bakteri mampu mengurai atau mengubah polutan toksik menjadi molekul yang kurang toksik dapat ditawarkan menjadi salah satu solusi.

Tanaman merupakan kandidat potensial untuk menghilangkan polutan melalui berbagai mekanisme biologis yang melibatkan akumulasi, imobilisasi, volatilisasi, dan degradasi. Metode yang ramah lingkungan, hemat biaya, dan non-invasif ini dianggap sebagai pelengkap atau alat alternatif dibandingkan dengan teknik remediasi berbasis rekayasa.

Pilihan spesies dan model infrastuktur hijau berbasis biologi (tanaman dan mikroba) ini bervariasi dalam implementasinya mulai yg berbiaya tinggi seperti artifial rain forest (contoh di bandara Canghi, Singapura), landsekap hutan dan taman kota dengan luasan yang representatif, tanaman pagar, tanaman lorong penyekat area parkir, hingga urban gardens, green wall, green roof dengan teknik pertanaman horizontal maupun vertikal, hingga taman dalam ruangan (indoor gardens).

Infrastuktur hijau ini menawarkan biaya rendah, efektif, mudah diimplementasikan oleh semua kalangan pada semua kondisi lingkungan, ramah lingkungan, berkelanjutan dan sebagai bonus menghadirkan keindahan.

Banyak hasil kajian ilmiah membuktikan bahwa asosiasi tanaman mikroba secara efektif dapat menurunkan polutan udara. Asosiasi antara tanaman azalea dan Pseudomonas putida yang dapat mengurangi VOC.

Acorus calamus var. angustatusm dan Methy lobacterium sp. mampu meremediasi methanol, Annona muricana dan Pseudomonas sp, Alcaligenes sp, dan Microcccus roseus menurunkan polutan hidrokarbon, Magnifera indica dan Pseudomonas sp., meremediasi hidrokarbon, Phragmites australis dan Hyphomicrobium sp. untuk metanol.

Urgensi infrastruktur hijau

Infrastuktur hijau untuk membersihkan polusi dalam ruangan, implementasinya lebih mudah dilakukan dan pilihan spesies tanaman juga lebih banyak tersedia di nursery-nursery. Hasil penelitian membuktikan tanaman dalam ruangan mampu menurunkan lebih dari 40 persen total senyawa organik yang mudah menguap, termasuk alkana, benzena, dan siklopentana dalam periode pengujian selama delapan jam.

Di antara jenis tanaman indoor yang banyak dimanfaatkan termasuk Sirih Gading (Epipremnum aureum) yang mampu menyerap hingga 17 persen karbondioksida, Lidah Mertua (Sansevieria sp.) yang mampu menyerap partikel beracun, seperti karbondioksida, benzene, formaldehyde, dan trichloroethylene, Lidah Buaya (Aloe vera) mampu menyerap karbon dioksida, formaldehyde, monoksida, dan karbon monoksida.

Kemudian Aglaonema ampuh menetralisir racun-racun di udara seperti benzene, formaldehyde, trichloroethylene, Palem Kuning (Chrysalidocarpus Lutescens) dapat menyerap karbon monoksida hingga 76.14 persen dan zat-zat beracun yang dihasilkan asap kendaraan atau pabrik, Anthurium mampu menyerap berbagai zat kimia di udara, termasuk amonia dan formaldehyde dan tanaman Bamboo Palm (Chamaedorea seifrizii).

Ada pula Palem kuning (Dypsis lutescens) Spider Plant (Chlorophytum comosum) mampu menurunkan polutan xylene, toluene, formaldehida, dan ammonia, Peace Lily (Spathiphyllum sp.) menurunkan formaldehida, benzena, trikloroetilen, xilena, amonia, dan kontaminan lainnya. Tanaman Karet (Ficus sp.) mampu menurunkan polutan seperti formaldehida, benzena, dan trichloroethylene.

Pemanfaatan tanaman untuk membersihkan udara dalam ruangan juga dibuktikan oleh Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional (NASA). Telah dibuktikan pengurangan lebih dari 300 VOC di atmosfer dalam ruangan oleh tanaman. Tanaman Chamaedorea elegans biasa digunakan untuk menghilangkan formaldehida dalam ruangan hingga 1.47 mg/m2 per jam.

Opuntia microdasys mampu menurunkan 2 ppm BTEX di ruangan setelah 47, 48, 55, dan 57 jam dengan masing-masing penurunan 1.64, 1.18, 0.54, dan 1.35 mg/m2 per hari. Studi ini menunjukkan 2,5 ppm BTEX di ruangan seluas 30 m3 dapat dihilangkan seluruhnya dengan sepuluh pot O. microdasys setelah 36, 40, 30, dan 39 jam.

Penambahan mikroorganisme ke dalam rizosfer tanaman meningkatkan efisiensi penurunan polutan. Lidah buaya dengan mikroba menurunkan formaldehida 23.1 µg/jam/g biomasa versus 18.5 µg/jam/g tanpa mikroba. Tradescantia zebrine menurunkan 86.4 µg/jam/g dengan mikroba versus 59.3 µg/jam/g tanpa mikroba, Vigna radiate menurunkan 97.6 µg/jam/g dengan mikroba versus 25.1 µg/jam/g tanpa mikroba.

Implementasi infrastruktur hijau di luar ruangan menawarkan lebih banyak pilihan model sesuai dengan situasi dan kondisi setempat, dan pilihan spesies tanaman yang dapat berbasi tipe tumbuh apakah pohon, semak, perdu, merambat, epifit, tanaman air, tanaman terestrial atau cover crop sesuai kebutuhan fungsinya.

Model infrastruktur hijau dapat dipilih sesuai fungsinya dapat berupa hutan kota, taman kota, tanaman pagar, peneduh pinggir jalan, green wall, green roofs atau tanaman penyekat model lorong di area-area parkir.

Pemilihan spesies tanaman dapat pula berbasis kesesuaian lingkungan tumbuh seperti penyuka cahaya atau penyuka naungan, berdasarkan kapasitas serapan polutan hingga tingkat toleransi terhadap polutan yang sudah dibuktikan oleh hasil-hasil riset dengan parameter ilmiah.

Infrastruktur hijau berupa jalur hijau dengan menggunakan spesies tanaman toleran polusi udara telah menjadi pendekatan populer untuk remediasi polusi udara. Infrastruktur hijau model lorong penyekat di area parkir mulai banyak dikembangkan dan terbukti efektif untuk meredam polusi udara.

Tanaman penyekat dengan sistem lorong di lahan parkir dengan pepohonan berukuran sedang dan sistem parkir mobil paralel adalah disain yang terbaik dengan banyak fungsi yang sudah banyak dibuktikan.

Infrastruktur hijau berupa hutan kota (pepohonan, semak belukar, dan rumput) menyediakan banyak jasa ekosistem yang bermanfaat bagi kesejahteraan manusia, mencakup peningkatan kesehatan, pemberdayaan masyarakat, modifikasi iklim, manfaat rekreasi, habitat satwa liar, makanan, dan estetika.

Hutan kota dan jalur hijau dibuktikan di Cile sebagai salah satu kota dengan polusi tinggi, sebagai metoda yang dengan berbiaya rendah dengan efektifitas yang sama dengan metoda lainnya seperti bahan bakar alternatif.

Infrastruktur hijau hutan kota mampu menangkap PM dan berfungsi sebagai biofilter. Permukaan daun dari 11 spesies tanaman rata-rata mampu menyerap hingga 1,531 partikel per mm−2. Pinus sylvestris mampu mengakumuasi hingga 18,000 partikel mineral per mm2, daun Hedera helix mengakumuasi hingga 17,000 partikel per mm2.

Pepohonan dalam hutan kota mampu menurunkan 1,261 ton polutan udara, di mana 772 ton di antaranya adalah PM10. Di Selandia Baru, pepohonan di perkotaan menurunkan 1,320 ton polutan setiap tahunnya. Tanaman semak dan pepohonan di Tabriz, Iran mampu menurunkan 238,4 ton polutan udara.

Untuk memaksimalkan hasil, parameter fisiologis kemampuan serapan CO2 jenis-jenis pohon dapat mendasari pemilihan spesies untuk infrastruktur hijau di luar ruangan. Di antara tanaman dengan serapan CO2 tinggi yang dapat dimanfaatkan ialah Callophylum inophyllum mampu menyerap sebesar 38 µmolm-2s-1, Terminalia catappa (Ketapang) sebesar 32 µmolm-2s-1.

Kemudian Ochroma lagopus sebesar 27.8 µmolm-2s-1, Acacia mangium sebesar 24.2 µmolm-2s-1 , Samanea saman (Trembesi) dan Tectona grandis (jati) sebesar 20 µmolm-2s-1. Spesies tanaman dengan kapasitas serapan CO2 tinggi direkomendasikan untuk komponen vegetasi penyusun infrastruktur hijau.

Pemilihan species untuk infrastruktur hijau juga dapat didasari tingkat kerentanan yang dideterminasi berdasarkan parameter biokimia, asam askorbat, kandungan klorofil total, kadar air relatif dan pH ekstrak daun pada nilai APTI. APTI adalah alat yang digunakan untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan tanaman ke dalam kelompok sensitif dan toleran.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di antara sembilan jenis tumbuhan yang diteliti, Calotropis procera (APTI = 20.05) dan Althernanthera pungens (APTI = 17.13) merupakan jenis yang paling toleran, sedangkan Malva swallowa (APTI = 8.83) merupakan jenis yang paling sensitif. Kapasitas akumulasi PM tertinggi diamati pada Ulmus pumila (PM 10 = 72 µg/cm2 dan PM 2.5 = 70 µg/cm2.

Nilai APTI M. indica 11 - 29, Alstonia scholaris 6 - 2, dan F. benghalensis 17 - 26 telah dilaporkan sebagai spesies toleran polusi udara tinggi dan berkinerja baik hingga terbaik. Spesies tanaman dengan kapasitas toleransi polusi tinggi direkomendasikan untuk komponen vegetasi penyusun infrastruktur hijau.

Infrastruktur hijau yang terbangun secara holistik dan terintegrasi diyakini dapat menjadi solusi untuk mengembalikan kualitas lingkungan dengan meminimalkan resiko kerugian dan memaksimalkan hasil. Peran riset diperlukan dalam mengungkap dan menyediakan informasi ilmiah terkait pilihan species yang memenuhi kriteria serta metoda yang tepat secara terintegrasi dalam model terbaik.

Strategi ini lebih efektif apabila didukung perangkat regulasi pemerintah yg mengikat menjadi satu kesatuan dengan perangkat regulasi pembangunan gedung dan sarana infrastruktur fisik lainnya seperti sarana parkir dan jalur pedestrian. Mengembangkan desain merupakan tahap penting berikutnya dalam mempromosikan metode mengurangi polusi udara melalui infrastruktur hijau dan memastikan integrasinya dengan strategi rencana aksi pemerintah.



(miq/miq)