Menghijaukan Gambut Demi Mengatasi Krisis Perubahan Iklim

Wahyu Catur Adinugroho, CNBC Indonesia
10 August 2023 13:50
Wahyu Catur Adinugroho
Wahyu Catur Adinugroho
Wahyu Catur Adinugroho dilahirkan di Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah, 4 April 1979. Penulis mengawali karier di Wanariset Samboja, Kalimantan Timur, sebagai peneliti di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sejak tahun 2003 dan pada tahun 2022 dia.. Selengkapnya
foto/ Tanaman Gambut/ Dok : Badan Restorasi Gambut Dan Magrove
Foto: Ilustrasi penanaman gambut (Dokumentasi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Pada masa ini, ketika isu perubahan iklim semakin mendesak dan kebutuhan akan sumber daya alam yang berkelanjutan semakin meningkat, penting untuk fokus pada cara-cara terbaik dalam menghijaukan gambut untuk masa depan yang berkelanjutan dan mengurangi emisi karbon secara efektif.

Ada sebuah potensi luar biasa yang tersembunyi di lahan gambut kita. Menghijaukan gambut bukan sekadar mimpi, tetapi sebuah visi nyata untuk mewujudkan masa depan yang berkelanjutan dan lestari.



Pascapergerakan global dalam Perjanjian Paris, berbagai studi mulai mengedepankan peran sektor lahan dalam pencapaian target global dalam mempertahankan kenaikan suhu permukaan. Meningkatnya kesadaran akan peran penting sektor lahan telah membangkitkan kajian yang menyoroti peran alam sebagai solusi permasalahan iklim (Nature-Based Solutions atau NBS).

Sebagai negara dengan hutan alam yang luas (±89 juta ha) dan 13 juta ha ekosistemnya mempunyai nilai karbon tinggi yang diantaranya tersimpan pada gambut, Indonesia telah menempatkan NBS sebagai garda depan agenda berkelanjutan di tingkat nasional. Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk tercapainya Net Sink pada tahun 2030 dari sektor Forestry and Others Land Use (FOLU).

Kegiatan mitigasi NBS di Indonesia terdiri dari perlindungan konversi hutan alam, perlindungan hilangnya vegetasi lahan gambut, perlindungan terjadinya dekomposisi pada lahan gambut, perlindungan kebakaran gambut, perlindungan konversi mangrove, kegiatan reforestasi, restorasi lahan gambut dan mangrove, dan pengelolaan hutan secara berkelanjutan.

Di antara klasifikasi NBS, peningkatan cadangan karbon melalui kegiatan reforestasi dinilai dapat memberikan manfaat secara langsung melalui penyerapan karbon dari atmosfer dan akan memberikan kontribusi besar dalam pencapaian target penurunan emisi nasional. Meski sudah banyak kegiatan reforestasi yang dijalankan pada tingkat nasional, inovasi teknis pelaksanaan reforestasi (misalnya pemupukan, pembibitan, dan lain-lain) dengan teknologi hijau masih berkembang secara lambat.

Meski kegiatan penanaman dapat memproduksi nilai serapan karbon yang signifikan apabila dibandingkan dengan lahan tidak produktif sebagai baseline, dalam satu siklus, kegiatan operasional reforestasi seringkali menghasilkan emisi (misalnya penggunaan plastik, pupuk kimia, metode pembakaran untuk pembukaan lahan, dan lain-lain) yang seringkali tidak menjadi perhatian berbagai pihak.

Pada lahan gambut, metode pembakaran dinilai sebagai opsi yang praktikal dan murah. Namun, dampak negatif pada lingkungannya dapat melebihi keuntungan ekonomi dari praktik membakar.

Di tengah ambisi nasional dalam pencapaian target penurunan emisi, inovasi teknis dengan mengedepankan teknologi hijau dalam pelaksanaan reforestasi menjadi penting untuk meningkatkan survival rate penanaman dan meminimumkan emisi karbon dalam satu daur hidup. Pendekatan yang holistik dan komprehensif sangat diperlukan dalam menghadapi tantangan perubahan iklim.

Dengan memahami kompleksitas dan interkoneksi dari berbagai elemen pelaksanaan aksi mitigasi, kebocoran emisi dari aksi mitigasi yang dilakukan dapat dihindari sehingga menghasilkan dampak penurunan emisi yang optimal. Merujuk pada luasnya area lahan gambut yang terdegradasi (~24 Mha), aktivitas reforestasi diharapkan berkontribusi terhadap pemenuhan target NBS dan memberikan manfaat tambahan dari nilai ekonomi karbon (NEK).

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Pusat Standardisasi Instrumen Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim, berkolaborasi dengan The Mushroom Initiative, telah mengimplementasikan kegiatan reforestasi di Sumatra Selatan dan Kalimantan Tengah.

Kegiatan reforestasi dilakukan dengan menerapkan konsep 4N (no burning, no plastic, no chemical fertilizer, dan native species). Menurut penuturan Prof. (Ris.) Maman Turjaman selaku project leader: "Konsep 4N merupakan salah satu teknologi hijau untuk merestorasi lahan gambut terdegradasi secara rendah emisi dan berkelanjutan".

Kegiatan reforestasi dijalankan dengan menggunakan berbagai macam spesies asli lahan gambut, mulai dari komoditas berbasis kayu hingga non-kayu (Non-timber Forest Products atau NTFPs). Proses pembibitan dilakukan dengan melibatkan bahan organik untuk menghindari penggunaan plastik, seperti tempat penyimpanan dari anyaman purun.

Kegiatan pembersihan lahan dilakukan dengan menyingkirkan semak, tumbuhan bawah, dan serasah kayu, dengan tanpa pembakaran. Selain itu, untuk menggantikan penggunaan pupuk kimia, kegiatan reforestasi diawali dengan pemberian inokulan mikoriza untuk membantu pengambilan nutrisi oleh tumbuhan.

Setelah satu tahun penanaman, survival rate kegiatan penanaman berada di atas 80%. Performa tumbuh kegiatan reforestasi beragam untuk jenis spesies, di mana performa baik teridentifikasi pada spesies Belangeran, Jelutung, Pelawan, dan Tembesu.

Dalam kondisi yang baik, pertumbuhan tinggi dan diameter pohon bervariasi pada 50 - 110 cm/tahun dan 0,75 - 2,75 cm/tahun. Dari kegiatan penanaman, potensi mitigasi karbon dapat mencapai 2 - 50 tCO2 per ha pada jarak tanam 3m x 3m.

Selain manfaat karbon, konsep 4N dapat berkontribusi pada peningkatan rekognisi produk lahan gambut seperti pot anyaman purun. Selain itu, mengeliminasi penggunaan pupuk pada area reforestasi dapat menjadi bukti pembelajaran untuk petani lokal dalam mengurangi ketergantungan pada penggunaan pupuk kimia.

Eliminasi penggunaan plastik untuk wadah bibit dapat menghindari sampah plastik hingga 9kg per ha yang akan berkontribusi terhadap pencegahan emisi hingga 54kg CO2e per ha. Mengganti penggunaan pupuk kimia untuk kegiatan penanaman dapat berkontribusi pada penghindaran emisi sebesar 1,65 kg N2O-N per pengurangan 1000 kg pupuk NPK (IPCC 2006).

Praktik pembersihan lahan tanpa pembakaran juga dapat berkontribusi pada penghindaran emisi hingga sebesar 290 tCO2e per ha dari gambut dan semak belukar. Seluruh pengurangan dan penghindaran emisi praktik 4N menjadi signifikan apabila diaplikasikan pada proyek reforestasi skala besar.

Mengacu pada luaran positif dari implementasi konsep 4N (Gambar 2), sangat disarankan agar pendekatan dapat diadopsi pada kegiatan reforestasi di skala yang lebih luas. Penekanan pada rendah emisi karbon pada satu siklus kegiatan dapat menjadi posisi tawar bagi pelaksana kegiatan reforestasi (pihak swasta, masyarakat, dan lain-lain) untuk menerima insentif yang lebih besar di bawah skema nilai ekonomi karbon atas biaya tambahan yang dikeluarkan dibandingkan kegiatan reforestasi pada umumnya.

Tindakan kolektif sangat diperlukan dalam melakukan aksi mitigasi perubahan iklim. Pemerintah, NGO, dan sektor swasta harus bekerja sama untuk menyusun dan mengimplementasikan kebijakan yang mendorong penghijauan gambut dan mengurangi emisi karbon. Dukungan finansial dan regulasi yang diperlukan harus diberikan untuk mendorong restorasi dan teknologi hijau yang berkelanjutan.

Dalam mengakhiri perubahan iklim dan mencapai masa depan yang berkelanjutan, penting untuk menjaga dan menghijaukan gambut tanpa kebocoran emisi. Restorasi gambut, penggunaan teknologi hijau, kesadaran masyarakat, dan tindakan kolektif adalah langkah-langkah penting yang harus diambil.

Dengan melindungi dan menghijaukan gambut, kita dapat memberikan masa depan yang berkelanjutan bagi generasi mendatang dan mengurangi dampak perubahan iklim secara signifikan.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation