Perkenalkan Lenggung, Alternatif Peningkatan Produksi Kayu RI

Yunita Lisnawati CNBC Indonesia
Selasa, 23/05/2023 17:35 WIB
Yunita Lisnawati
Yunita Lisnawati
Yunita Lisnawati adalah peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Fokus risetnya adalah terkait silvikultur, konservasi dan rehab... Selengkapnya
Foto: Tanaman lenggung. (Dokumentasi Peneliti BRIN Yunita Lisnawati dan Lutfan MN)

Tingginya keanekaragaman jenis tumbuhan di Indonesia merupakan suatu peluang untuk dimanfaatkan secara optimal, terutama untuk jenis-jenis yang berpotensi dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sengon adalah salah satu jenis yang banyak diminati dan dikembangkan oleh masyarakat.

Pangsa kayu sengon tidak hanya diminati di dalam negeri tetapi juga dunia. Kualitas kayu sengon dari Indonesia dikenal lebih baik dibandingkan kualitas kayu dari Malaysia dan Filipina, sehingga permintaan dunia akan kayu sengon dari Indonesia cukup tinggi.


Sengon mampu tumbuh pada lokasi dengan ketinggian 0 m-1200 m dpl, namun pertumbuhannya akan optimal pada ketinggian 200 m-400 m dpl. Menurut Lelana (2016) pada daerah dengan ketinggian tempat yang semakin tinggi serangan penyakit karat puru pada sengon cenderung lebih tinggi. Oleh karena itu perlu dicari jenis-jenis kayu alternatif yang memiliki kemiripan sifat dengan sengon yang dapat tumbuh dengan baik pada dataran tinggi.

Salah satu jenis kayu alternatif pengganti sengon adalah Trema orientalis BL, di Indonesia jenis tersebut dikenal dengan lenggung, anggrung, atau kurai. Kayu lenggung termasuk ringan sama seperti jabon dan sengon. Saat ini meskipun lenggung termasuk kelompok tanaman cepat tumbuh dan mempunyai karakteristik yang mirip dengan sengon, namun belum banyak dikenal seperti akasia, jabon, dan sengon.

Morfologi lenggung
Lenggung merupakan jenis cepat tumbuh (fast growing species), pohon berukuran kecil hingga sedang tergantung lokasi dan keadaan lingkungan, batang berbentuk bulat, tegak, silindris, percabangan batang rendah, monopodial, dengan tinggi total dapat mencapai 30 m dan diameter batang mencapai 60 cm.

Daun tunggal, duduk daun selang-seling, helaian daun muda kasar dan berbulu kadang berubah menjadi halus saat tua, berbentuk lanset atau lonjong sampai bulat telur, sering tidak simetris. Bunga majemuk, bertangkai silindris dengan panjang 5 mm, berwarna hijau pucat. Bunga biasanya terdapat pada batang atau ranting yang berada pada ketiak daun dan berbentuk malai kecil.

Prospek pengembangan lenggung
Pohon lenggung telah dikenal dan dibudidayakan oleh masyarakat di Desa Pelage, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Beberapa petani di Desa Pelage saat ini sudah memanen hasil dari menanam lenggung.

Rosita (2015) melaporkan bahwa tidak sulit bagi petani menjual pohon lenggung, karena sudah memiliki pangsa pasar di Bali. Pemasaran kayu lenggung pun tidak hanya sampai di tingkat Kabupaten Badung saja namun meluas sampai ke Kota Denpasar.

Umumnya pembeli kayu lenggung adalah pedagang pengepul, mereka membeli kayu lenggung milik petani langsung di kebun yang masih berbentuk tegakan. Para pedagang membiayai kegiatan pemanenan dan pengangkutan kayu dari lahan milik petani menuju ke tempat pengumpulan kayu (depo).

Kayu lenggung yang dipanen dibuat dalam sortimen pendek berukuran 1,3 m dengan rata-rata diameter ± 20 cm untuk dikirim ke depo. Balok-balok kayu tersebut kemudian dijadikan bentuk usuk ukuran (4 cm x 6 cm x 4 m), balok ukuran (6 cm x 12 cm x 4 m) dan papan ukuran (2 cm x 20 cm x 4 m).

Kayu lenggung yang berasal dari Desa Pelage juga ikut menyuplai kebutuhan kayu untuk industri kargo. Rosita (2015) menyebutkan bahwa nilai margin pemasaran kayu lenggung pada tingkatan petani di Desa Pelage yaitu sebesar Rp. 340.800,-/m3 hampir sama bahkan sedikit lebih besar apabila dibandingkan dengan margin pemasaran kayu sengon di tingkatan petani di Wonosobo yaitu sebesar Rp. 328.625,-/m3 (Hakim et al., 2009).

Setelah mengetahui prospek pasar dan ekonominya, untuk mengembangkan jenis lenggung pertanyaan yang sering muncul adalah terkait kesesuaian jenis dengan tempat tumbuhnya, bagaimana cara budidayanya, kapan bisa dipanen dan berapa produksinya.

Lenggung dapat tumbuh pada daerah dengan kisaran ketinggian tempat 0 - 2500 m dpl, di Bali lenggung ditemui pada kondisi lahan yang berbukit, curam sampai sangat curam, dengan curah hujan berkisar antara 2000 - 3000 mm/tahun. Tumbuh di berbagai tanah dari tanah liat yang berat hingga pasir ringan, toleran terhadap alkalinitas dan salinitas sedang, tetapi tidak tahan terhadap genangan air.

Budidaya lenggung dapat dilakukan melalui pembibitan secara generatif dan vegetatif. Pembibitan secara generatif dapat berasal dari benih yang diunduh dan dari cadangan benih di dalam tanah (soil seed bank).

Tingkat perkecambahan benih lenggung termasuk rendah sekitar 30%, perendaman dengan air kelapa muda selama 24 jam akan mempercepat dan meningkatkan persentase berkecambah menjadi 78%. Lisnawati (2016) dalam penelitiannya melaporkan bahwa dengan menggunakan soil seed bank, proses perkecambahan lenggung lebih cepat dan benih berkecambah relatif lebih serempak.

Perbanyakan lenggung juga dapat dilakukan dengan menggunakan stek dan kultur jaringan. Perbanyakan dengan stek pucuk sudah pernah dilakukan oleh Danu et al., (2018), dengan tingkat keberhasilan berakar sebesar 65,71%.

Samantaray et al (1995) dalam laporannya menyebutkan bahwa lenggung dapat dikembangbiakkan secara in vitro dengan eksplan berasal dari daun bibit lenggung yang berumur 15 hari, dan berhasil membentuk kalus sampai menjadi tunas pada media MS (Murashige and Skoog, 1967). Selanjutnya tunas dapat berkembang membentuk akar, kemudian plantet yang telah berakar berhasil di tanam pada media tanah.

Berdasarkan analisis pertumbuhan lenggung di Bali yang dilakukan oleh Darwo et al., (2015) bahwa riap optimum diameter lenggung akan dicapai antara umur 4-5 tahun yaitu 3,6-3,7 cm/tahun. Dengan laju pertumbuhan diameter lenggung meningkat cukup cepat hingga umur kurang dari 3 tahun, kemudian setelah 3 tahun laju pertumbuhan diameter melambat.

Riap optimum tinggi batang bebas cabang tegakan trema terjadi pada umur 3 tahun yaitu 2,75 m/tahun, dengan laju pertumbuhan tinggi meningkat pesat sampai berumur 2 tahun, lalu melambat setelah umur 2 tahun. Pertumbuhan volume tegakan trema menunjukkan riap optimum volume tegakan terjadi pada umur 7 tahun yaitu 22,8-25,6 m3 /ha/tahun dengan hasil volume tegakan pada akhir daur sebesar 159,6 m3 /ha.

Pada umur yang sama pertumbuhan tegakan sengon (19,4 - 27,0 m3 /ha/tahun) dan mangium (17,7 - 27,4 m3 /ha/tahun). Dengan demikian lenggung mampu mengimbangi pertumbuhan tegakan sengon dan mangium.

Kayu lenggung termasuk kayu yang indah dengan warna coklat muda keputihan dan corak bergaris di seluruh penampang. Unsur dekoratif yang dimiliki memungkinkan kayu ini dapat digunakan untuk bahan baku mebel dan venir.

Permukaan kayu kusam dapat diatasi dengan teknik finishing sesuai bentuk produk akhir yang diinginkan. Tekstur yang rata meski kasar, arah serat lurus dan sedikit berpadu, dan kesan raba licin serta kayu agak lunak akan memudahkan pengerjaan kayunya.

Seperti halnya sengon, kayu lenggung dapat digunakan sebagai bahan mebel, kotak, peti kemas, dan bahkan rangka atap rumah. Berdasarkan hasil penelitian Basri (2015) bahwa kualitas kayu lenggung lebih baik dibanding kualitas kayu sengon yang sudah dikenal masyarakat dan industri.

Pada umur yang sama (5 tahun), kayu lenggung memiliki kelas kuat IV, setara dengan kelas kuat kayu jabon (Anthocephalus cadamba), tapi lebih tinggi dibanding kayu sengon (Paraserianthes falcataria) yang kelas kuatnya IV-V.

Begitu juga untuk sifat pengeringan kayu lenggung sama seperti kayu jabon dan kayu sengon yaitu agak buruk. Agar peruntukan kayunya dapat lebih luas, maka sifat inferior kayu lenggung dapat diperbaiki melalui teknologi pemadatan (densifikasi), laminasi, maupun kayu komposit lain seperti papan blok.



(miq/miq)

Related Articles