Merawat Persatuan, Bukan Sekadar Jargon

Mohammad Akbar, CNBC Indonesia
28 April 2023 13:40
Mohammad Akbar
Mohammad Akbar
Mohammad Akbar merupakan konsultan komunikasi. Ia juga menjadi salah satu penulis buku "Public Relations Crisis" yang menjadi rujukan berbagai pihak di bidang komunikasi. Sebelumnya, lulusan Institut Pertanian Bogor dan Universitas Budi Luhur, bekerja seba.. Selengkapnya
Pengamatan hilal untuk menentukan 1 Ramadhan (AP/Achmad Ibrahim)
Foto: Ilustrasi pengamatan hilal untuk menentukan 1 Ramadan (AP/Achmad Ibrahim)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Sejak awal negara ini dibentuk, perbedaan sudah menjadi keniscayaan. Wujudnya pun tertuang ke dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang kemudian menjadi pondasi kita dalam hidup bernegara dan berbangsa Indonesia.



Dalam melihat polemik perbedaan pada penetapan Hari Raya Idul Fitri, seharusnya bukan lagi hal baru di negeri ini. Tapi sungguh disayangkan, orang yang mengaku terdidik dari lembaga intelek sekelas Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) justru menafikan adanya perbedaan pada penetapan 1 Syawal 1444 Hijriah. Contoh nyata itu ditunjukkan Aparatur Sipil Negara (ASN) di BRIN yang berpredikat sebagai guru besar, TD, bersama juniornya di lembaga yang sama, APH.

Diskursus mengenai perbedaan penetapan 1 Syawal yang ditulis TD di akun Facebook dan Instagram dinilai banyak pihak sebagai cara berpikir provokatif dan mengabaikan sikap untuk saling menghargai atas adanya perbedaan.

Perbedaan itu menjadi jauh dari keagungan diskusi kaum intelek ketika APH menuliskan kalimat ancaman untuk membunuh semua warga Muhammadiyah -- pihak yang dinilainya tak patuh pada keputusan pemerintah. Padahal pemerintah sudah secara resmi mengakui adanya perbedaan dalam penetapan 1 Syawal ini.

Di sini menunjukkan bahwa pintar secara akademis bukan berarti pintar pula dalam mengelola emosi dan arogansi keilmuan. Pandangan dua sosok representasi kaum intelektual ini justru melahirkan ancaman bagi slogan bersatu dalam perbedaan yang sebenarnya sudah disepakati sejak awal negeri ini berdiri.

Dari kasus ini kita melihat -- dan mungkin sudah merasakan -- bahwa menerima perbedaan itu bukan hal mudah. Perlu kewarasan, kearifan, dan wawasan luas untuk melakoninya.

Ditambah juga bagaimana mengelola emosi agar tetap eling. Ketika kita menyaksikan bagaimana dua orang intelektual dari lembaga BRIN masih miskin adab bertoleransi dalam menyikapi perbedaan maka hal ini menjadi tanda bahaya bagi kehidupan Indonesia ke depan.

Perbedaan penentuan 1 Syawal hanyalah satu dari sekian banyak potensi bahwa negara ini sedang tidak baik-baik saja untuk membumikan slogan Bhinneka Tunggal Ika ke dalam ikhtiar yang nyata. Setahun ke depan ancaman gesekan yang muncul dari adanya perbedaan dipastikan bisa semakin meruncing dan memanas. Pesta demokrasi politik pada 2024 akan menjadi ujian berikutnya bagi kita semua dalam menghadapi perbedaan.

Dua kali pesta demokrasi terakhir, polarisasi perbedaan menjadi begitu kentara antara pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan lawannya. Diksi-diksi pemecah belah yang terkesan merendahkan antara satu dengan yang lainnya menjadi sesuatu permisif bagi kita semua. Kita tak lagi merasa risau untuk melabelisasi cebong, kampret, kadrun, BuzzerRp kepada setiap pihak yang berbeda. Padahal semua diksi itu merupakan bentuk kekerasan verbal yang bersifat hinaan dan merendahkan.

Inilah tantangan besar yang dihadapi Indonesia. Meningkatnya interaksi digital melalui penggunaan media sosial sebagai saluran berkomunikasi telah menjadi ancaman nyata terhadap nafas hidup Bhinneka Tunggal Ika di negeri ini. Bukan sekali-dua saja kegaduhan yang muncul dari adanya perbedaan hasil postingan di timeline media sosial kita.

Saking gaduhnya kita dalam berinteraksi digital, lembaga sekelas Microsoft pada 2020 sudah memberikan label negatif kepada warganet Indonesia, khususnya yang bermuara dalam menyikapi perbedaan.

Ada tiga parameter yang dilihat dalam survei berjudul Digital Civility Index (DCI), yakni penyebaran hoaks dan scam, ujaran kebencian, dan diskrimasi. Ketiga hal tersebut semuanya berujung pada bentuk cyber bullying. Berdasarkan ketiga hal tadi, warganet Indonesia dikategorikan memiliki tingkat kesopanan terendah se-Asia Tenggara.

Hasil survei itu menjadi bukti nyata bahwa menapaki Bhinneka Tunggal Ika itu masih menjadi jalan terjal buat kita semua. Tampaknya kita harus kembali belajar kepada para pendiri bangsa ini tentang bagaimana mereka berkompromi dan menerima perbedaan saat mendirikan bangsa yang sudah terlahir majemuk -- baik secara etnis, suku, ras maupun agama.

Secara ilustrasi, untuk memahami dan memaknai keindahan mozaik perbedaan itu harus dilihatnya melalui bingkai kacamata sebuah gambar yang utuh. Untuk melakukannya maka diperlukan proses kesabaran panjang, tak boleh bersumbu pendek dan reaktif.

Dalam istilah progresif, dibutuhkan kesabaran revolusioner untuk memahami setiap perbedaan agar menjadi persatuan yang kokoh. Lebih khususnya buat warganet Indonesia.

Kesabaran revolusioner ini adalah sarana untuk mengubah mimpi menjadi cita-cita, cita-cita menjadi kerja nyata, dan kerja nyata menjadi hasil sempurna yang diimpikan. Artinya, harus selalu ada niat dan ikhtiar nyata dalam mengejawantahkan Bhinneka Tunggal Ika itu sebagai sesuatu yang tak lagi sekadar berbunyi slogan retoris.

Lantas bagi kelompok yang mengaku terdidik atau intelektual, kesabaran revolusioner untuk mengimplementasikan persatuan dalam perbedaan itu adalah bagaimana menjadikan ilmu dan teori itu sebagai outcome yang bernilai manfaat bagi sesama. Ketika ilmu dan teori itu sudah bernilai manfaat maka perbedaan itu hanya akan menjadi pelengkap dalam menyusun mozaik menjadi bingkai persatuan.

Di sinilah dibutuhkan perubahan cara bersikap para kaum intelektual bagaimana menjadikan ilmu dan teori itu sebagai produk berinovasi yang dapat menjawab tantangan perubahan zaman, bukan menjadi sumber masalah apalagi mempertontonkan arogansi intelektual dalam merespons adanya perbedaan yang terjadi.

Sementara bagi warganet Indonesia, kesabaran revolusioner dalam mengejawantahkan Bhinneka Tunggal Ika itu adalah saatnya melatih jempol tangan agar selalu waras bahwa jangan 'ngegas' dulu baru meminta maaf.

Sejujurnya, ini bukan hal mudah. Tapi kesabaran revolusioner inilah yang dibutuhkan saat ini untuk membawa Indonesia menjadi tangguh dalam persatuan yang dilandasi oleh adanya beragam perbedaan.


(miq/miq)