Muhammad Maruf
Muhammad Maruf

Penulis adalah Kepala Riset CNBC Indonesia. Menyelami jurnalistik sejak 1999 dengan pengalaman di media digital-cetak nasional dan internasional. Mendalami penelitian makroekonomi dan pasar sejak 2020, dan aktif bicara tentang uang, psikologi dan kehidupan di twitter @muhruf. Opini tidak mewakili kebijakan dan sikap CNBC Indonesia.

Profil Selengkapnya

Pemilihan Gubernur BI

Closed Bidding Kursi BI-1, Perry, SMI, Purbaya atau Tiko?

Opini - Muhammad Maruf, CNBC Indonesia
17 February 2023 09:10
Foto combo, kiri - kanan : Gubernur BI Perry Wajiyo (Dok, Dimas Ardian/Bloomberg via Getty Images) ; Kepala Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa (Tangkapan Layar Youtube) ; Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjodmojo (CNBC Indonesia/Tri Susilo); dan Menteri Keuangan Sri Mulyani (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki) Foto: Foto combo, kiri - kanan : Gubernur BI Perry Wajiyo (Dok, Dimas Ardian/Bloomberg via Getty Images) ; Kepala Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa (Tangkapan Layar Youtube) ; Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjodmojo (CNBC Indonesia/Tri Susilo); dan Menteri Keuangan Sri Mulyani (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Sejak menggeluti isu keuangan dan moneter hampir dua dekade, saya sampai pada satu titik kesimpulan begini; Industri keuangan dan perbankan adalah industri sunyi. Senyap dari kritik dan otokritik, karena sistemnya feodal. Maksudnya, tidak akan ada debat atau perbincangan panas di ruang publik dari pelaku soal kebijakan dan aturan main, karena semua izin profesi pekerja di industri ini ada di tangan regulator.

Ini tentu dapat dimaklumi, karena pekerja-profesional yang kecerdasannya di atas rata-rata industri lain ini tentu tidak mau periuk nasinya diberangus akibat izin dicabut atau dipersulit. Bahkan kritik terhadap sesama pemain sudah seperti hal tabu, sebab industri ini juga penuh dengan koncoisme, atau lebih sopannya disebut bisnis kepercayaan dan relasi. Mereka cenderung saling menutupi aib satu sama lain dari publik. Ada dua pengkritik industri ini yang menurut saya cadas; Yanuar Rizky dan Lin Che Wei. Yang kedua kita tahu nasibnya, terpeleset urusan minyak goreng.

Mengharapkan media tentu mustahil adanya, dan boleh saya akui-maaf tanpa pretensi merendah kolega dan sejawat-kemampuan jurnalis Indonesia bidang keuangan, khususnya isu spesifik seperti perbankan dan pasar modal jauh di bawah rata-rata kecerdasan pelaku dan regulator, atau boleh saja dibilang payah. Jangankan mengkritisi substansi aturan main dan kebijakan, masih banyak yang gagal paham soal definisi, fungsi dan bagaimana pasar bekerja.

Saya ingin mengkritik Bank Indonesia. Saya tanya pendapat Chat GPT tentang kinerja BI. Begini pertanyaannya; "Sudah benarkan kebijakan moneter bank indonesia tahun 2015 sampai 2022?" Chat GPT adalah bot atau robot percakapan besutan OpenAI, sebuah LSM kecerdasan artifisial yang di backuporang beken macam Elon Musk dan Bill Gates Katanya, inilah penantang mesin pencari Google yang paling sepadan, bahkan lebih hebat. Begini jawaban robot itu:

Sebagai asisten AI, saya tidak memiliki kemampuan untuk memberikan penilaian atau pendapat subjektif. Namun, secara umum, Bank Indonesia telah mengimplementasikan kebijakan moneter yang bertujuan untuk menjaga stabilitas harga dan stabilitas sistem keuangan, serta mendukung pertumbuhan ekonomi yang sehat selama periode 2015-2022.

(bla...bla...bla.......)

Namun demikian, evaluasi terhadap kebijakan moneter Bank Indonesia selalu bisa dilakukan secara komprehensif dan berkala.

Silahkan memberikan pertanyaan sama, karena substansi jawabannya akan sama dan hanya berbeda diksi saja. See,bahkan pendapat robot pun sama membosankan dengan suara pekerja industri di ruang publik. Tapi saya menggaris bawahi saran Open AI, bila perlu ada evaluasi komprehensif dan berkala tentang kinerja bank sentral. Ini seharusnya dilakukan oleh DPR, tetapi kita tahun kan kenapa itu mustahil, seperti pungguk merindukan bulan. Sebab pintar mana antara pengawas dan yang diawasi? Anda tahu jawabannya.

Maka, saatnya menyerahkan ke publik untuk urusan evaluasi karena momennya tepat. Bertepatan dengan pergantian pucuk pimpinan Bank Indonesia bulan depan. Rencananya, Presiden Jokowi akan menyerahkan nama calon gubernur Bank Indonesia kepada DPR untuk di uji kelayakan dan kepatutan akhir Februari. Jadi, pekan-pekan ini, panitia pemilihan di istana sedang sibuk-sibuknya membaca CV dari kandidat potensial. Siapa saja mereka?

Kalau saja mekanisme suksesi BI lelang terbuka, seorang mantan pejabat bidang ekonomi yang pandangannya cukup berpengaruh berkata kepada saya, ingin ikut kontestasi. Membenahi kebijakan moneter BI yang menurutnya cenderung menara gading. Yaitu, suatu keadaan yang tampak nyaman dan juga indah, namun keindahan menara itu menutupi kejadian realitas sebenarnya. Tapi, sebagaimana tradisi pemilihan Gubernur BI pasca reformasi 1998, sistem pemilihannya itu ibarat lelang tertutup/closed bidding, jadi akan seperti mimpi di siang bolong bagi profesional yang berada di luar radar istana.

Meskipun sistemnya di desain terbuka, namun pemilihan Thamrin-1 itu mirip dengan suksesi Kapolri dan Panglima TNI. Tapi menebaknya lebih sulit, sebab tidak ada level kepangkatan seperti kepolisian dan militer. Untuk calon penguasa Thamrin-1-merujuk nama jalan kantor pusat BI, Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat-Presiden umumnya hanya menyodorkan nama tunggal untuk diminta stempel dari DPR. Singkatnya, siapa yang paling potensial menjadi Thamrin-1 adalah mereka yang dekat dengan presiden, bukan sekadar urusan kompetensi semata.

Nah, dari nama-nama representatif yang ada di lingkaran istana dan santer di bursa calon, ada tiga nama paling potensial untuk menduduki Thamrin-1; petahana Perry Warjiyo, Menkeu Sri Mulyani Indrawati (SMI) dan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan/LPS Purbaya Yudhi Sadewa.

Ketiganya adalah anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), lembaga koordinasi 'super' yang mengelola sistem keuangan Indonesia-minus Mahendra Siregar, Ketua Otoritas Jasa Keuangan/OJK yang tak masuk hitungan kali ini. Di luar tiga nama itu, dari arus bawah muncul nama Wakil Menteri BUMN dan Ketua Umum Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas), Kartika Wirjoatmodjo, atau akrab dipanggil Tiko.

Kompetensi keempat nama besar itu 11-12, masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Hal paling penting dari semua indikator kelayakan adalah semua nama itu relatif bebas dari relasi struktural partai politik, meskipun akan sulit mengendus kepentingan politik dari masing-masing individu. Mudahnya, tidak pernah nama-nama itu tercantum sebagai pengurus parpol dan simpatisan. Murni profesional.

Perry Warjiyo 'Si Anak Petani'

Dia sangat menikmati panggilan itu. Dan itu memang pantas, sebab liku-liku Pak Perry sampai BI-1 sangat inspiratif. Kalau di dunia bisnis, mirip 'Si Anak Singkong' Chairul Tanjung, founderCT Corp-pemilik media ini-yang memulai bisnis dari nol, berjualan fotokopi diktat kuliah. Perry adalah anak petani miskin di sebuah kampung di Sukoharjo Jawa Tengah, 63 tahun silam.

Katanya, orang tua Pak Perry sampai harus ngutang sana-sini untuk menutup biaya kuliahnya di Universitas Gadjah Mada. Bahkan, untuk mendapat posisi deputi gubernur BI saja, ia sampai gagal tiga kali tes di DPR, menggambarkan betapa persistennya orang ini.

Pak Perry sangat cerdas untuk urusan moneter. Dalam bukunya, Central Bank Policy: Theory and Practicedia piawai membeberkan literatur teori dan praktek bank sentral, serta membuat peta kontemporer tantangan pengelolaan moneter dalam 15 bab di buku itu. Itulah landasan teoritikal dia memimpin BI selama ini.

Sebagai petahana, Pak Perry memiliki 'rezeki' lebih untuk dikuliti publik, dan akan dapat porsi banyak disini. Dia memiliki satu kali lagi peluang untuk dipilih, dan layak atau tidaknya tergantung dari tingkat kepuasan publik, khususnya Presiden RI. Salah satu evaluasi paling menohok yang dialamatkan kepadanya adalah teka teki dari pertanyaan aneh berikut;

Mengapa zaman Pak SBY yang kesannya cenderung santai, bahkan bisa menciptakan beberapa album lagu tapi rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa tumbuh di atas 5% bahkan nyaris 6%. Sementara Pak Jokowi dengan tagline Kerja, Kerja, Kerja siang malam cuma dapat tumbuh 4% atau malah nyaris pas? Asumsinya PDB 2023 sebesar target 5,3%, dan baik SBY maupun Jokowi memakai tahun penuh yang seharusnya bukan prestasinya, yaitu 2003 untuk SBY dan 2014 untuk Jokowi. Catatan pula, ada perubahan tahun dasar perhitungan PDB pada 2010.

Padahal, waktu itu dari sisi fiskal tandem BI juga sama, khususnya saat krisis global 2008/2009 dan 2020 yaitu SMI. Baiklah, pertumbuhan ekonomi global zaman SBY itu minus 1,34% pada 2009, sementara tahun 2020 lebih dalam akibat pandemi jadi kontraksi 3,12%. Tapi, di saat yang sama SBY mampu mencetak PDB tumbuh 4,9% sementara Jokowi minus 2,07% sehingga adalah wajar bila menyimpulkan ada yang kurang pas dalam pengelolaan ekonomi negara ini. Terlepas pula, situasi China sebagai mesin utama ekspor Indonesia berkebalikan pada kurun waktu tersebut.

Dalam situasi yang kurang lebih sama tapi hasil yang jauh berbeda, publik kemudian mengarahkan pandangannya pada BI. Sebab, bank sentral adalah pengendali tekanan 'darah' (baca uang) beredar dalam perekonomian, sehingga cacat sedikit saja, beda irama dengan kebijakan fiskal atau pemerintah akan berakibat fatal. Baru-baru ini, Inggris menjadi contoh negara yang nyaris bangkrut gara-gara otoritas moneter dan fiskalnya berbeda kebijakan mengatasi krisis akibat pandemi.

Maka, jawaban ngasal saya adalah Pak SBY cerdik menempatkan 'orangnya' di BI. Pada masa awal dia membiarkan typical out of the boxuntuk mengurus bank sentral, yaitu Burhanuddin Abdullah. Terlepas endingnya dipenjara karena kasus korupsi, tetapi orang warisan Gus Dur ini mampu segendang sepenarian dengan ritme gas pol SBY-JK pada periode pertama. Burhanuddin juga satu-satunya sosok diluar geng alumni kampus 'aristokrat' Universitas Indonesia vs Universitas Gadjah Mada yang bisa memimpin BI.

Lalu, sebelum masa kritis 2008 Pak SBY menempatkan 'sang legenda' Boediono, -Pak Boed adalah sosok dibalik strategi penurun inflasi Indonesia dari angka double digit warisan Burhanuddin Abdullah--dan Darmin Nasution yang 'rada beraliran kiri' mampu membuat perbankan bekerja lebih efisien, fair dan transparan. Singkat kata, SBY mampu mengkombinasikan rezim moneter pro-growth dan pro-stabilitybank sentral pada tempatnya.

Moneter pro-growth atau mendukung pertumbuhan dicirikan dengan kebijakan moneter longgar, toleran terhadap inflasi tapi hasilnya laju ekonomi tinggi, sementara mendukung stabilitas biasanya cenderung ketat tetapi inflasi terjaga dan pertumbuhan ekonomi standar. Perbedaan angka-angka inflasi dan PDB antara SBY dan Jokowi mengkonfirmasi kesimpulan ini.


Sementara Jokowi tampaknyasalpil, karena tandem moneternya ini kurang selaras dengan ritme Kerja, Kerja, Kerja, bukan karena alasan tak layak atau tidak mampu. Yakni, Agus Martowardojo legenda bankir Indonesia setelah Robby Djohan, yang piawai mengelola bank-bank tapi sedikit kurang dalam strategi kebijakan moneter karena ia memang tipikal praktisi bukan pemikir.

Juga Pak Perry dengan segala kecerdasannya mengalami keterbatasan situasional dengan tantangan moneter global yang hebat, gagal memaksimalkan rezim BI pro-growthnya. BI misalnya tampak 'terpaksa' mengikuti kerjasama'burden sharing' yang disodorkan Kementerian Keuangan dalam tiga tahun terakhir untuk membantu neraca pemerintah yang bisa morat-marit akibat pandemi. Akibatnya, kemampuan dan komitmen Pak Perry mengelola likuiditas perbankan demi pembangunan dipertanyakan.

Adanya isu beberapa bank nyaris bankrut kehabisan uang saat Pandemi lalu menimbulkan tanda tanya besar kemana BI? Pak Perry jago menciptakan istilah dan strategi moneter. Misalnya jargon 'BI Ahead The Curve' dalam menetapkan suku bunga acuan yang rupanya malah dinilai sebaliknya oleh pasar, dimana bank sentral malah tampak terlambat mengantisipasi perubahan moneter global.

Bahkan, 'operasi rahasia' bersandi operation twistyaitu menjual Surat Berharga Negara jangka pendek dan membeli yang tenor jangka panjang malah diplesetkan oleh seorang bankir treasury kepada saya sebagai twisted operationkarena justru membuat susah bank-bank.

Tetapi terlepas plus-minus dari kinerja BI sekarang, buktinya Indonesia selamat dari krisis terburuk dalam beberapa dekade dan bila Jokowi sudah puas, Pak Perry masih layak memimpin lagi. Istilah pelatih sepak bola, don't change the winning team!

SMI, 'Si Tukang Kasih Bintang'

Jangan tanya soal kedekatan SMI dan Jokowi. Bicaralah dengan para birokrat kementerian lembaga, dan tanyakan pendapat mereka tentang Kemenkeu, Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) dan Kementerian BUMN. Ketiganya adalah sedikit dari apa yang disebut sebagai 'Kementerian Sultan' karena memang mendapatkan atensi dan backuppenuh Pak Jokowi, sebab faktor kedekatan personal menterinya.

Siapa lagi pembisik narasi 'Dunia Gelap" tahun lalu kepada Jokowi kalau bukan SMI. Walaupun itu berkebalikan dengan posisi Presiden sebagai pejabat yang seharusnya bilang everything will be okay, namun toh ia tetap mendengar SMI.

Jokowi menyukai profesional, seperti juga dirinya yang petugas partai. Tetapi ini adalah alasan paling liar dan aneh yang masuk ke telinga saya, karena tentu saja sulit dibuktikan kebenarannya. SMI dinominasikan menjadi BI-1 oleh partai-partai pendukung Jokowi, bukan oleh istana. Tetapi, bukan murni karena Srikandi ini disukai partai-partai, tetapi karena kebiasaannya suka memberi tanda bintang pada mata anggaran.

Maksudnya adalah SMI sering kali membatalkan atau memangkas anggaran kementerian dan lembaga yang dinilai boros. Ini membuat partai kesulitan, karena sudah menjadi rahasia umum banyak politisi yang terlibat proyek-proyek pemerintah untuk mendapatkan cuan. Keberadaan SMI di dinilai mengganggu, apalagi tahun ini adalah tahun politik dimana politisi butuh amunisi besar untuk memenangkan suara rakyat.

Dari sisi kapasitas, SMI tidak diragukan lagi jam terbang dan kemampuan teoritisnya, levelnya sudah internasional. Ia adalah pengamat bersuara lantang sejak reformasi, tetapi tidak banyak terkontaminasi sistem birokrasi dan bahkan satu-satunya pejabat yang sukses melakukan transformasi kelembagaan, dalam hal ini Kementerian Keuangan. Jadi level strategi dan manajerialnya sudah tidak perlu dipertanyakan.

Saya sendiri 'mengikuti' sepak terjang SMI sejak tahun kedua ia menjadi Menkeu jaman SBY. Dan, feelingsaya seperti juga beberapa ekonom senior bilang, SMI sudah berubah sejak ia berkarir di Bank Dunia. Entah dalam konotasi positif atau negatif, pandangan-pandangan SMI tidak se-spartandulu. Ia tampak lebih akomodatif terhadap situasi politik, meskipun dari sisi integritas tidak ada yang meragukannya.

Bagi SMI sendiri, bila pilihan Jokowi ada padanya, merupakan win-win solution. Bila 'trah' Jokowi berakhir di 2024, setidaknya sosok SMI tetap masih bisa berkontribusi untuk bangsa melalui bank sentral, sebab kecil kemungkinan ia bisa menduduki kursi menkeu lagi.

Karir politik dan birokrasinya pun sudah mentok, tidak ada lagi namanya santer dalam bursa Wakil Presiden, karena bahkan yang ibunya adalah penguasa partai penguasa saja masih kesulitan menjadi presiden. Endingkarir SMI bisa seperti Menkeu AS Janet Yellen, tapi terbalik, dan sudah merupakan pencapaian luar biasa baginya untuk negeri dengan kultur kuat patriarki.

Purbaya, 'Sang Pendobrak'

Agak sulit untuk menelisik rekam jejak publik Pak Purbaya dalam konteks jabatan publik lembaga keuangan pemerintah, dibandingkan para kandidat yang lain. Mafhum, ia baru menjabat sebagai ketua LPS pada September 2020, sehingga kurang fairuntuk menyimpulkan kapasitasnya dalam bidang moneter bila terpilih sebagai BI-1. Namun, dengan rekam jejak pemegang otoritas keuangan yang pendek itu ia bisa membuktikan peran besarnya dalam mendorong perekonomian, meskipun dengan instrumen minim.

Maksudnya, secara kelembagaan LPS praktis adalah instansi semacam 'pemadam kebakaran' yang baru aktif bila ada bank atau BPR kolaps. Bukti tunggalnya adalah bagaimana posisi LPS yang cenderung seperti 'anak bawang' di KSSK berani mengambil sikap yang berbeda dengan penggede seperti BI dalam ihwal suku bunga.

LPS berani memilih dissenting opiniondengan bank sentral tentang bagaimana seharusnya kebijakan moneter diterapkan dalam situasi sulit, seperti inflasi tinggi tapi tetapi masih memberi ruang nafas bagi perbankan dan likuiditas perekonomian. Yaitu langkah lebih hati-hati dalam menaikan suku bunga simpanan yang tidak serta-merta manut dengan suku bunga acuan Bank Indonesia, 7DRR.

Datanya, suku bunga LPS memiliki tren berkebalikan dengan BI dimana dalam dua tahun terakhir, suku bunga simpanan cenderung menurun, sementara suku bunga acuan BI cenderung naik secara agresif. Bila dicermati dua suku bunga acuan tersebut mulai sama-sama naik pada pertengahan tahun 2022, sebesar 225 basis poin (bp) untuk BI ke 5,75%, sementara LPS cuma naik 50 bp.

Meskipun 7DRR adalah suku bunga acuan utama moneter, namun pada praktik operasional perbankan, suku bunga simpanan LPS memegang peranan penting dalam mempengaruhi likuiditas perekonomian. Biasanya, bank menggunakan suku bunga simpanan LPS sebagai acuan untuk menetapkan suku bunga tabungan, deposito atau DPK, sehingga kenaikan yang terlalu tinggi akan memicu kekeringan likuiditas karena dana tersedot di bank. Boleh jadi, kebijakan LPS selama inilah yang mengakibatkan kenaikan agresif suku bunga acuan BI sejak pertengahan 2022, tidak terlalu berdampak pada pengetatan likuiditas dan juga pada kredit perbankan.

Bukan hanya SMI yang dekat dengan Jokowi. Pak Purbaya adalah representasi dari 'Kementerian Sultan' sebagai alumni Kemenko Marves, karena sebelum ke LPS, dia pernah menjabat sebagai Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi, di bawah Menteri Luhut Binsar Pandjaitan. Sebelum di Menko Marves, Purbaya juga menjabat Deputi III Bidang Pengelolaan Isu Strategis Kantor Staf Kepresidenan saat Luhut menjadi Kepala Staf Kepresidenan 2015.

Selain karir sebagai penasehat ekonomi berbagai pejabat pemerintah, bahkan dari zaman SBY, yakni Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa, Pak Purbaya memiliki rekam jejak bagus sebagai ekonom. Saya sudah mengenalnya sejak menjabat sebagai Kepala Ekonom Danareksa Research Institute (DRI), sebuah lembaga riset di bawah Danareksa Sekuritas.

Salah satu buah karyanya yang pernah menjadi rujukan adalah indikator survei kepercayaan konsumen yang dibuat oleh DRI. Bila terpilih, Pak Purbaya akan menjadi orang nomor dua setelah Burhanuddin Abdullah yang bisa menjadi bos BI-1 di luar dominasi geng UI-UGM, karena ia adalah lulus dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan meraih gelar Doktor dalam bidang Ekonomi dari Purdue University, Indiana, Amerika Serikat.

Tiko, 'The Clean Bankers'

Nama Kartika Wirjoatmodjo, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara di bursa pemilihan Thamrin-1 ibarat kuda hitam, mengingat ia baru disebut-sebut menjelang pemilihan. Namanya muncul merepresentasikan aspirasi para bankir, sebagaimana statusnya sebagai Ketua Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas).

Rekam jejaknya termasuk mulus dan bersih di perbankan yang ia tabur dan tuai dari kelompok usaha Bank Mandiri. Dimulai sejak 2003 sebagai Kepala Departemen Analisis Strategi & Keuangan Bank Mandiri, hingga menjadi Dirut pada 2016 hingga 2019. Untuk urusan kebijakan sektor keuangan ia pelajari saat menjadi Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (tahun 2014-2015), dan Direktur Utama Indonesia Infrastructure Finance.

Lulusan Universitas Indonesia ini juga merupakan salah satu perwakilan dari 'Kementerian Sultan' sebagaimana SMI dan Purbaya. Pak TIko adalah anak buah Menteri BUMN Erick Thohir yang merupakan ketua pemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin pada Pemilu 2019.

Jadi, siapa Gubernur BI pilihan anda? Perry, SMI, Purbaya atau Tiko?

(mum/mum)
Opini Terpopuler
    spinner loading
Opinion Makers
    z
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading