Mengupas Kebijakan Moneter Ketat

Wendy Gouw CNBC Indonesia
Sabtu, 31/12/2022 14:10 WIB
Wendy Gouw
Wendy Gouw
Dr. Wendy, M.Sc. menyelesaikan pendidikan Master dan Doktoralnya dalam bidang Behavioral Finance di FEB UGM. Mendedikasikan diri pada dunia ... Selengkapnya
Foto: REUTERS / Fatima El-Kareem

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) tanggal 22 Desember 2022 kembali mengambil kebijakan moneter yang searah dengan kebanyakan Bank Sentral di dunia saat ini. Suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) diputuskan naik 25 bps menjadi 5,50%. Data statistik menunjukkan sejak lima bulan terakhir, BI telah memompa suku bunga acuannya dari 3,5% menjadi 5,5%.

Kecepatan kenaikan suku bunga acuan tersebut terbilang fantastis dan menjadi rekor kenaikan suku bunga paling agresif yang diambil BI dalam rentang 17 tahun terakhir. Kita pernah mengalami masa suku bunga acuan tinggi di kisaran 12 persenan (2005-2006), yang kemudian perlahan turun hingga mencapai suku bunga acuan terendah dalam sejarah moneter Indonesia, yaitu 3,5% (awal tahun 2021 hingga pertengahan tahun 2022). Sekarang, suku bunga acuan kembali merangkak naik di tengah ketidakpastian geoekonomi global.


Apakah kebijakan moneter ketat tersebut hanya dilakukan Indonesia? Jawabannya tentu tidak. Sebagai pembanding, misalnya, paska meletusnya perang Rusia-Ukraina, Bank Sentral Amerika (The Fed) perlahan mulai mengetatkan moneternya. Kurang dari satu tahun terakhir ini, The Fed telah menaikkan suku bunga acuannya (Fed Funds Rate) hingga 425 bps (menjadi 4,25% - 4,5%). Ini juga merupakan rekor kenaikan paling agresif yang diambil The Fed dalam rentang 15 tahun terakhir. Meskipun makin melandai, The Fed diprediksi akan tetap manaikkan Fed Funds Rate hingga di atas 5% pada tahun 2023.

Mengapa Bank Sentral di dunia saat ini ramai-ramai menaikkan suku bunga? Ada apa dengan ekonomi dunia dan Indonesia? Konsekuansi apa yang akan dituai pasca pengetatan moneter tersebut? Bagaimana tantangannya di tahun 2023? Beberapa pertanyaan tersebut sering penulis jumpai dalam forum diskusi. Artikel ini membahas beberapa isu fundamental tersebut melalui kacamata moneter dan dinamika geoekonomi dunia.

Moneter Ketat

Kebijakan moneter diartikan sebagai kebijakan Bank Sentral untuk mengendalikan kondisi perekonomian suatu negara dengan cara memengaruhi penawaran uang dan suku bunga. Kebijakan moneter dapat bersifat ekspansif (kebijakan uang longgar/easy money policy) dan kontraktif (kebijakan uang ketat/tight money policy).

Kebijakan Ekspansif (moneter longgar) dilakukan dengan menambah jumlah uang beredar pada kondisi negara yang sedang resesi atau depresi. Sementara itu, kebijakan Kontraktif (moneter ketat) dilakukan untuk mengurangi jumlah uang beredar pada kondisi negara yang sedang mengalami inflasi dengan cara meningkatkan suku bunga, menaikkan cadangan kas, menjual surat berharga, dan memperketat syarat kredit.

Kebijakan moneter ketat diharapkan mampu menekan laju inflasi, akan tetapi, inflasi saat ini agak berbeda karena sebagian besar dipicu oleh masalah geoekonomi dan geopolitik global. Ketimpangan rantai pasok global yang mengakibatkan keterbatasan bahan baku, krisis pangan, dan krisis energi paska Pandemi Covid-19, meletusnya perang Rusia-Ukraina, ketegangan Rusia dan NATO, serta kebijakan zero-covid di China semakin memperburuk perekonomian global dan mendorong laju inflasi di banyak negara.

Kompleksitas permasalahan inflasi tersebut menambah rumitnya penerapan kebijakan moneter ketat di berbagai negara. Hal ini dikarenakan banyak negara di dunia saat ini sedang menghadapi tekanan ekonomi yang berat, yang mungkin saja memerlukan pelonggaran moneter.

Tentunya "pengetatan moneter" di tengah potensi perlunya "pelonggaran moneter" adalah pilihan yang amat sangat sulit bagi sebagian negara di dunia karena jika tidak dikelola dengan hati-hati akan berakhir dengan resesi.

Konsekuensi

Pengetatan moneter digunakan sebagai salah satu kebijakan untuk menekan laju inflasi yang tinggi atau di luar batas toleransi inflasi yang ditetapkan Bank Sentral suatu negara. Inflasi merupakan kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan menyeluruh, bahkan terus-menerus dalam jangka waktu yang relatif lama. Seperti yang kita ketahui, inflasi di dunia saat ini sedang tinggi-tingginya.

Akibatnya, daya beli dan nilai mata uang domestik merosot sehingga kemampuan masyarakat untuk mencukupi kebutuhan hidupnya menjadi semakin sulit. Kondisi ini akan memperburuk tingkat kesejahteraan, dan memicu berbagai dampak negatif dalam perekonomian.

Singkatnya, penurunan daya beli menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi industri tidak/kurang laku, akibatnya industri akan menurunkan produksi dan memangkas beban operasional dengan mengurangi jumlah karyawan. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akan meningkat, yang artinya pengangguran juga naik.

Naiknya pengangguran akan menyulitkan sebagian masyarakat untuk mencukupi kebutuhan hidup karena mereka yang terkena PHK tidak lagi memiliki penghasilan. Sementara itu, jumlah lapangan kerja kian menciut pada saat resesi, yang artinya semakin sulit bagi angkatan kerja untuk mendapatkan pekerjaan.

Secara teori, untuk menghadapi peningkatan laju inflasi, kebijakan suku bunga tinggi dapat diterapkan. Namun, kenyataan yang dihadapi saat ini tidak sesederhana itu mengingat berbagai kompleksitas pemicu inflasi. Peningkatan suku bunga di tengah ekonomi yang sedang tertekan akan semakin menggerus pertumbuhan ekonomi.

Hal ini menyebabkan pemulihan ekonomi akan semakin sulit, dan potensi kontraksi (penurunan) ekonomi dalam periode waktu yang relatif lama (resesi) akan terjadi. Dengan demikian, sulit bagi banyak negara di dunia, terutama di Amerika dan Eropa untuk menghindari resesi ekonomi di tahun 2023. Kelesuan ekonomi, PHK di beberapa sektor industri, dan ketatnya persaingan di pasar tenaga kerja tampaknya akan semakin nyata.

Ekonomi Indonesia dan Tantangannya

Data makro Indonesia saat ini memang masih relatif baik. Beberapa indikator seperti Pertumbuhan Ekonomi pada kuartal tiga 2022 (YoY) berada pada kisaran 5,7%. Sementara itu, inflasi bulan November (YoY) juga masih di bawah 6 persen, tepatnya 5,42%. Data kinerja ekspor, surplus transaksi berjalan dan surplus Neraca Pembayaran Indonesia pada kuartal tiga 2022 (YoY) menambah deretan informasi positif. Cadangan devisa pada bulan November 2022 juga menunjukkan angka yang cukup stabil, berada pada kisaran USD 134 miliar (ekuivalen untuk pembiayaan impor selama 5,9 bulan). Beberapa indikator makro tersebut menunjukkan fundamental makro ekonomi Indonesia masih relatif stabil hingga kuartal tiga 2022.

Bagaimana tantangan peningkatan laju inflasi Indonesia? Dari sisi eksternal, inflasi barang impor (imported inflation) akibat tekanan geopolitik dan geoekonomi menjadi salah satu pemicu laju inflasi kita. Dalam konteks ini, masalah energi dan ketimpangan rantai pasok global memiliki andil yang besar.

Dari sisi internal, liburan akhir tahun, hari raya Natal, hingga peningkatan konsumsi masyarakat pada bulan puasa dan lebaran Idul Fitri di kuartal pertama 2023 menjadi tantangan tersendiri. Peningkatan harga diyakini akan terus terjadi hingga periode tersebut. Tantangan berikutnya, Indonesia tak lama lagi memasuki tahun politik 2024 yang gemuruhnya akan mulai terasa di tahun 2023.

Keputusan RDG BI dengan menaikkan suku bunga acuan ke angka 5,5% diyakini telah mempertimbangkan berbagai isu tersebut. Mengantisipasi perkembangan ekonomi ke depan serta memengaruhi keberlanjutan penurunan ekspektasi inflasi sehingga diharapkan mampu mengembalikan target inflasi inti ke angka 3,0±1%.

Dengan mengendalikan uang beredar melalui peningkatan suku bunga, stabilitas nilai tukar IDR diharapkan mampu terjaga sehingga inflasi barang impor lebih terkendali. Namun harus diakui, efek rambatan dari apresiasi USD di hampir semua mata uang dunia saat ini akibat ketatnya kebijakan moneter The Fed menjadi tantangan besar. Keuangan dunia sedang menghadapi tekanan volatilitas yang tinggi.

Respon Kebijakan

Dari sisi moneter, berbagai tekanan global tersebut direspon BI dengan mengembangkan sejumlah bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas (pro-stability) dan mendorong pertumbuhan (pro-growth). Tujuannya jelas, mempercepat pemulihan ekonomi. Intervensi moneter di pasar valas melalui transaksi spot, domestic non deliverable forward (DNDF), dan jual beli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder menjadi upaya konkrit yang tampaknya ditujukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dan mengendalikan inflasi barang impor.

Tantangan perlambatan ekonomi dunia tahun 2023 disikapi dengan mengembangkan sejumlah kebijakan yang akomodatif. Beberapa potensi yang terus dioptimalkan seperti memaksimalkan Devisa Hasil Ekspor (DHE) Sumberdaya Alam untuk mendukung stabilitas nilai tukar Rupiah, penguatan kebijakan Makroprudensial yang inklusif dan berkelanjutan untuk kredit perbankan melalui insentif giro wajib minimum (GWM), khususnya pembiayaan pada sektor-sektor yang belum pulih paska Pandemi Covid-19.

Selain itu, dari sisi sistem pembayaran, kebijakan untuk memperpanjang pemberlakuan Merchant Discount Rate (MDR) QRIS pada Usaha Mikro sebesar 0% hingga 30 Juni 2023 tampaknya akan mendorong peningkatan transaksi pembayaran digital yang lebih luas.

Ekonomi global diprediksi Bank Dunia akan turun dari 3,0% (tahun 2022) menjadi 2,6% di tahun 2023. Namun, dengan fundamental makro yang relatif stabil hingga kuartal tiga 2022 dan pertumbuhan ekonomi domestik yang baik, cukup optimis bagi kita bahwa pengetatan moneter saat ini, yang didukung bauran kebijakan yang pro-stability dan pro-growth berpotensi kecil membawa Indonesia ke jurang resesi. Dampak pengetatan moneter di Indonesia kemungkinan akan sedikit berbeda dengan kebanyakan negara di Amerika dan Eropa pada tahun 2023.

Akan tetapi, satu hal yang perlu digarisbawahi yaitu perlambatan ekonomi Indonesia tahun 2023 akan cukup terasa, apalagi saat ini China sedang mengalami masalah ekonomi paska kebijakan zero-covid dengan terus mengunci (lockdown) pusat-pusat perekonomian yang penduduknya terdeteksi Covid-19. Perlambatan ekonomi China berkontribusi pada perlambatan ekonomi dunia, termasuk Indonesia karena China merupakan salah satu pasar sasaran ekspor komoditas kita.

Terakhir, Inflasi global yang sedikit melandai akhir-akhir ini bukanlah cerminan utuh dari pemulihan ekonomi global, melainkan dipengaruhi oleh pengetatan moneter yang dilakukan banyak Bank Sentral di dunia. Potensi guncangan ekonomi domestik sangat terbuka di tahun 2023. Sinergi Moneter-Fiskal dengan sejumlah otoritas terkait sangat diperlukan. Sejumlah kebijakan akomodatif di bidang moneter menunjukkan bahwa Indonesia menyadari dan memahami berbagai konsekuensi ke depan, sehingga terus mengantisipasinya dengan kebijakan yang pro-stability dan pro-growth. Kita berharap ekonomi Indonesia mampu tumbuh di atas rata-rata ekonomi dunia pada tahun 2023. Moneter yang ketat memang berpotensi membuat ekonomi melambat, namun setidaknya jangan sampai tersumbat.


(pgr)