Peran Timpang Pemerintah, Pertumbuhan PDB & Ketahanan Rakyat

Rian Andriono, CNBC Indonesia
13 December 2022 11:10
Rian Andriono
Rian Andriono
Rian Andriono merupakan Pejabat Pengawas pada KPPN Kendari, Kanwil DJPb Provinsi Sulawesi Tenggara, Kementerian Keuangan. Pendidikan S1 (Ilmu Ekonomi) dan S2 (Sains Akuntansi) ditempuh di Universitas Brawijaya, Malang. Opini yang disampaikan merupakan pend.. Selengkapnya
Jatuh bangun pertumbuhan Ekonomi Argentina
Foto: Ilustrasi pertumbuhan ekonomi (Aristya Rahadian Krisabella/CNBC Indonesia)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Kurang dari satu bulan ke depan, tahun 2022 akan berlalu dan berlanjut menuju tahun baru yang masih akan penuh dengan ketidakpastian. Jika harus 'meramal' apa yang akan terjadi, maka tahun 2023 diperkirakan menjadi masa yang berat.

Pandemi Covid-19 di China yang kembali memburuk membuat perekonomian dalam negeri itu terganggu karena penerapan lockdown dan kebijakan zero patient. Kondisi itu memberi ancaman akan adanya dampak buruk terhadap negara-negara lain, khususnya negara yang menjadi mitra utama Negeri Tirai Bambu.

Demikian pula Indonesia dengan jumlah pasien Covid-19 yang akhir-akhir ini meningkat telah membuat pemerintah kembali bersiap dengan penerapan kebijakan penanggulangan. Kondisi tersebut menjadi bukti pandemi pada dasarnya masih belum usai dan tetap menjadi ancaman terhadap kehidupan masyarakat.

Selain pandemi Covid-19 yang mengancam dan berdampak buruk, kehidupan diperkirakan juga akan terganggu dengan perekonomian yang tertekan akibat perang Rusia-Ukraina yang masih berlangsung. Volatilitas harga-harga komoditas yang tinggi dengan kecenderungan terjadinya koreksi serta meningkatnya inflasi di banyak negara yang kemudian mengalami pelemahan ekonomi semakin terkontraksi dengan permintaan yang melemah, membuat banyak negara maju dibayangi oleh resesi.

Alhasil, berbagai angka indikator capaian ekonomi sepanjang tahun 2022 yang negatif membuat ekonomi global tahun depan akan diwarnai dengan perlambatan. Hal sebaliknya terjadi pada Indonesia yang justru diperkirakan tidak terdampak meski akan tetap melambat.

Banyak lembaga keuangan internasional memperkirakan perekonomian Indonesia mampu tumbuh di atas lima persenan. Meski demikian, kewaspadaan harus tetap dijaga dengan berbagai kebijakan pendorong ekonomi jika pada akhirnya ekonomi berada pada level di bawah perkiraan (<5%).

Baik buruknya perekonomian di masa mendatang dapat terlihat sebelum waktu tersebut tiba, melalui berbagai capaian makro yang menggambarkan keadaan yang terjadi pada saat ini sebagai benchmark. Berbeda dengan banyak negara maju dan berkembang, perekonomian nasional pada akhir tahun 2022 diperkirakan positif.

Meski angka pertumbuhan triwulan IV belum dapat ditentukan, perekonomian hingga kuartal III mampu tumbuh 5,40% (ctc), sebesar 5,72% (yoy) jika dibandingkan triwulan yang sama tahun 2021, atau meningkat 1,81% (qtq) dibandingkan triwulan sebelumnya. Kebijakan fiskal dan moneter yang sejak awal pandemi Covid-19 dilaksanakan, sejauh ini mampu menjaga kepercayaan pelaku usaha, utamanya mikro kecil menengah untuk tetap bertahan, disertai dengan kebijakan pandemi yang efektif mencegah dan menanggulangi Covid-19, sehingga proses pemulihan ekonomi dapat berjalan relatif lancar.

Namun demikian, apakah capaian tersebut menjadi sinyal positif atau justru menjadi early warning system bagi perekonomian di tahun depan, menjadi sebuah pertanyaan yang perlu dijawab dengan melihat lebih dalam.

Kebijakan ekonomi yang ditetapkan secara nasional perlu didukung dan diimplementasikan secara menyeluruh hingga pada tingkatan terendah (pemerintah kabupaten/kota). Hal itu menjadi mutlak karena keberlanjutan dan keberhasilan pemulihan pada tingkatan nasional, akan sangat ditentukan oleh capaian perekonomian regional secara merata.

Kebijakan harus mampu berdampak positif tidak hanya bagi ekonomi di Pulau Jawa namun juga wilayah lainnya di Indonesia. Sepanjang sebelas bulan di tahun 2022 berjalan, capaian perekonomian nasional terlihat mampu diamplifikasi oleh perekonomian regional.

Contohnya ekonomi di Sulawesi Tenggara, sebagaimana capaian indikator ekonomi nasional yang positif, perekonomian regional hingga kuartal III 2022 tercatat mengalami pertumbuhan. Hingga triwulan III 2022 angka pertumbuhan berada pada level 5,52% (ctc), sebesar 5,40% (yoy) jika dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, serta meningkat 3,88% (qtq) dari triwulan II 2022.

Angka capaian ekonomi Sulawesi Tenggara yang bahkan lebih baik dari capaian nasional menunjukkan adanya upaya pemulihan yang berjalan efektif. Namun sayangnya, berbagai capaian tersebut apabila diamati lebih mendalam pada unsur pendorong pertumbuhan dari sisi pengeluaran, sebagian besar berasal dari belanja pemerintah.

Bukan didorong oleh konsumsi atau ekspor yang memberikan nilai lebih dan kekuatan bertahan di tengah perlambatan global. Hal ini karena volume konsumsi rumah tangga masih belum sebesar masa sebelum pandemi Covid-19, meski meningkat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Sementara ekspor komoditas pertambangan yang tercatat besar memiliki volatilitas harga yang tinggi, serta diimbangi impor (peralatan/mesin/bahan pendukung usaha pertambangan) yang juga besar sehingga mengurangi nilai neraca perdagangan.

Adanya dorongan yang besar dari belanja pemerintah dapat dipahami sebagai bukti bahwa upaya pemerintah untuk memulihkan ekonomi sangatlah besar. Belanja pemerintah konsisten direalisasikan untuk menggerakkan kegiatan ekonomi dan menjadi pengungkit yang memberikan dampak pengganda bagi perekonomian, dengan tetap memiliki tujuan utama melindungi masyarakat agar tidak semakin miskin.

Belanja pemerintah yang terlaksana melalui sinergi pemerintah pusat (APBN) dan pemerintah daerah (APBD) diwujudkan dalam bentuk realisasi anggaran pada berbagai kegiatan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan. Kebijakan fiskal pada tingkat nasional dan regional yang sejalan dan saling mendukung proses pemulihan.

Hingga tanggal 31 Oktober 2022, belanja APBN di Sulawesi Tenggara tercatat mampu terealisasi 83,96% dari alokasi atau sebesar Rp 19,57 triliun. Sementara belanja APBD yang merupakan gabungan seluruh pemerintah daerah pada periode yang sama, tercatat sebesar Rp 13,51 triliun atau 58,54% dari alokasi.

Perbedaan tingkat serapan yang cukup besar menunjukkan bahwa peran pemerintah pada pembangunan di Sulawesi Tenggara pada kenyataannya masih timpang. Padahal "it takes two to tango", tanpa sinergi dan keseimbangan sebaik apapun kebijakan yang disusun tidak akan terlaksana dan menimbulkan dampak yang optimal.

Dari keseluruhan belanja APBD, tingkat realisasi belanja barang mencapai 55,21%, sedangkan belanja modal masih sebesar 41,94% dari alokasi total. Hanya belanja pegawai yang memiliki tingkat serapan tinggi, sebesar 71,35% atau relatif tanpa kendala dalam membayar gaji setiap bulannya.

Bahkan pada belanja APBD yang diperuntukkan sebagai belanja wajib perlindungan sosial yang ditetapkan sejak pandemi melanda, sampai berakhirnya bulan Oktober 2022 tingkat realisasi tercatat hanya sebesar 15,72% (Rp14,17 miliar) dari keseluruhan alokasi sebesar Rp90,13%.

Dari 18 pemerintah daerah pelaksana, baru 11 pemerintah daerah yang telah melaporkan pelaksanaan belanja tersebut. Sementara itu, belanja perlindungan sosial yang dilaksanakan oleh belanja APBN di Sulawesi Tenggara mampu terwujud 89,73% pada periode yang sama.

Artinya, kebijakan pemerintah pusat untuk meringankan beban pengeluaran keluarga miskin dan rentan melalui pemberian bantuan sosial, serta mengembalikan tren penurunan tingkat kemiskinan dan ketimpangan berjalan tersendat dan lambat.

Peran pemerintah yang pincang atau tidak didukung dengan kekuatan yang seimbang antara pemerintah pusat dan daerah jika tidak segera diatasi akan mengancam upaya pemulihan. Pemerintah daerah lebih memahami kondisi masyarakat dan wilayahnya sendiri, sehingga pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat akan lebih efektif dan efisien jika terdapat sinergi dan kolaborasi.

Ketimpangan peran antar pemerintah yang terlihat melalui besaran belanja yang tidak seimbang, membuat berbagai capaian angka makro ekonomi dapat menjadi percuma karena tidak terwujud secara nyata di masyarakat. Belanja yang seharusnya menjadi upaya penguatan fondasi kesejahteraan sosial, pengentasan kemiskinan dan kerentanan, termasuk penguatan daya ungkit usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dan dunia usaha agar mampu bangkit kembali lebih kuat dan berdaya tahan menghadapi perkembangan ekonomi global akan terancam gagal karena hanya satu pihak saja yang berupaya.

Selain itu, capaian positif juga tidak boleh melenakan ketika kondisi di luar negeri mengalami guncangan. Hal-hal yang terjadi di luar negeri harus dimaknai sebagai peringatan akan dampak luasnya bagi ekonomi di masa mendatang, sehingga lebih memperhatikan kondisi di dalam negeri.

Salah satunya melalui pembangunan ekonomi dan perlindungan sosial regional digerakkan bersama-sama oleh belanja pemerintah pusat dan daerah yang menjadikannya prioritas dalam pelaksanaan anggaran.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation