Ditunggu, Terobosan Pemerintah Membangun Industri Berbasis Teknologi

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Angka mencengangkan dicatat oleh International Energy Agency (IEA) sepanjang 2021. Di saat negara-negara mulai pulih pascakrisis akibat pandemi Covid-19, emisi karbon dioksida (CO2) global pun ikut mencuat hingga 6% ke angka 36,3 gigaton (Gt), tertinggi sepanjang sejarah.
Emisi karbon sektor kelistrikan dan produksi panas berkontribusi sebesar 46% dari peningkatan emisi karbon dioksida global, yang dipicu naiknya konsumsi bahan bakar fosil lewat optimalisasi pembangkit listrik. Emisi karbon dari sektor ini mendekati 14,6 Gt, juga tertinggi dalam sejarah.
Sementara itu, emisi CO2 dari sektor transportasi yang sempat turun di 2020 karena pandemi dan lockdown mulai naik lagi di tahun 2021 kendati belum menyentuh level 2019. Emisi karbon dari sektor ini berpotensi bertambah lagi dengan aktivitas kembali normal.
![]() |
Di Indonesia, sektor listrik juga menjadi salah satu penyumbang gas buang terbesar menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), selain transportasi, industri, pertanian, kehutanan dan guna lahan (Agricultural, Forestry and Other Land Uses/AFOLU), serta limbah. Selain itu, sektor transportasi menjadi penyumbang gas rumah kaca (GRK) terbesar kedua di Indonesia (157 juta ton CO2 atau 24,64%), setelah industri produsen energi (280 juta ton CO2 atau 43,83%) menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kondisi tersebut memaksa pemerintah fokus mengurangi emisi karbon dari sektor-sektor penyumbang emisi terbesar itu, termasuk transportasi.
Tak cuma itu, sektor limbah juga menjadi perhatian bersama. Limbah menyumbang 3,2% dari seluruh emisi global di 2020. Jumlah ini menempatkan sektor limbah di peringkat keempat sektor utama penyumbang GRK, setelah energi, industri, dan AFOLU. Data tersebut penting untuk kita cermati demi menyusun langkah yang tepat dalam mengatasi isu keberlanjutan, mengingat ambisi keberlanjutan yang dicanangkan Indonesia.
Kembali melihat jejak Perjanjian Paris 2015, Indonesia berkomitmen memangkas emisi karbon dari sektor kehutanan 17,2%, energi 11%, limbah 0,32%, pertanian 0,13%, serta industri dan transportasi 0,11%. Target di 2030, Indonesia akan menurunkan 29% emisi GRK dengan menggunakan upaya dan sumber daya sendiri, serta 41% bersyarat (dengan dukungan internasional). Komitmen ini dituangkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC).
Untuk mencapai ambisi tersebut, seluruh pemangku kepentingan harus mulai revitalisasi kegiatan ekonomi dengan pertumbuhan yang kuat, ramah lingkungan, serta inklusif secara sosial, atau kerap disebut sebagai ekonomi hijau. Strategi menuju ekonomi hijau ini di antaranya mencakup investasi pada pembangunan rendah karbon, penyusunan kebijakan berkelanjutan, serta tidak kalah pentingnya mengoptimalkan teknologi yang kini sudah tidak bisa dilepaskan dari aspek kehidupan masyarakat.
Dalam hal teknologi, kita menyadari pesatnya perkembangan teknologi di Indonesia. Menurut World Bank, Indonesia adalah salah satu ekonomi digital dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara, di mana orang dewasa dengan akses internet meningkat lebih dari tiga kali lipat dari 13% pada 2011 menjadi 51% pada 2019.
Laporan dari Global Economic Forecast Report dari ICAEW dan Oxford Economics mengatakan bahwa inovasi teknologi menjadi salah satu faktor pendorong ekonomi hijau dan berkelanjutan di Asia Tenggara dan dunia. Kemajuan teknologi pada dasarnya membuka peluang besar untuk memanfaatkan kekuatannya dalam mengatasi tantangan dan mewujudkan ekonomi hijau di Tanah Air. Teknologi dapat menjadi enabler (fasilitator) dalam meningkatkan konsumsi, produksi serta model bisnis yang rendah karbon serta hemat sumber daya.
Untuk pengurangan emisi karbon, salah satu contoh implementasi terbesar pengembangan produk rendah emisi karbon melalui teknologi adalah pengembangan kendaraan listrik (electric vehicle/EV). Pemerintah Indonesia menargetkan penggunaan EV mencapai 2 juta mobil listrik dan 13 juta sepeda motor listrik pada 2030.
Kendaraan listrik dapat mengurangi emisi gas rumah kaca sehingga bisa mengurangi jejak karbon dan meminimalisasi pemanasan global yang banyak dipicu oleh polusi kendaraan. Dalam peta industri global, beberapa pabrikan otomotif dunia pun mulai gencar memproduksi mobil listrik mulai dari hybrid hingga murni listrik guna ikut membangun ekosistem yang berkelanjutan. Data terakhir dari Kemenhub, terdapat 16.060 unit kendaraan bermotor listrik berbasis baterai di Indonesia per Maret 2022. Sebab itu, perkembangan ekosistem kendaraan yang berkelanjutan ini masih memiliki kesempatan yang besar di Indonesia.
Pada poin ini, pemain industri di Tanah Air juga bisa turun tangan dalam mencapai target penurunan emisi tersebut. Sebagai contoh, GoTo menargetkan mitra pengemudinya memiliki 100% kendaraan listrik, dan seluruh kantornya menggunakan energi terbarukan pada tahun 2030. Komitmen ini sesuai dengan satu dari tiga prioritas G20 tahun ini yakni transisi energi.
Untuk sektor limbah yang menjadi salah satu penyumbang emisi karbon, pengelolaan sampah dengan sistem daur ulang closed-loop perlu terus digalakkan, di mana seluruh material dibagikan, diperbaiki, digunakan kembali sehingga tidak ada limbah yang dihasilkan. Apalagi sampah masih jadi persoalan besar, mengingat sesuai kajian BPS yang diungkapkan KLHK, 72% masyarakat Indonesia tidak peduli terhadap sampah.
Kabar baiknya, pemanfaatan teknologi dalam pengelolaan sampah, yang kerap disebut sebagai smart waste management ini pun mulai bermunculan di Indonesia dengan hadirnya berbagai platform digital di bidang pengelolaan sampah, seperti Rekosistem, Waste4Change dan lainnya. Penggunaan teknologi tersebut sebagian besar dilengkapi dengan Internet of Things (IoT), teknologi pemantauan yang mengumpulkan dan melacak data waktu nyata, untuk membantu mengoptimalkan pengumpulan dan pengelolaan sampah. Dengan mendapatkan informasi yang jelas tentang jejak limbah, kita dapat mengembangkan strategi pengelolaan sampah yang efektif dan berkelanjutan.
Kekuatan inovasi teknologi telah disadari oleh sejumlah pemain industri lain. Salah satu perusahaan yang telah lama menerapkan prinsip keberlanjutan adalah Unilever. Dengan mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dalam operasional bisnis, Unilever mampu mencapai nol limbah ke TPA dan mencapai 100% jaringan listrik terbarukan di seluruh lokasi perusahaan beroperasi.
Google juga memberikan contoh yang baik sebagai perusahaan yang memegang prinsip keberlanjutan kuat. Salah satu bentuknya, Google menyatakan netral karbon sejak 2007, di mana perusahaan membeli penyeimbangan karbon dan energi terbarukan yang sama untuk membuat emisi karbon operasional perusahaan menjadi nol.
Kami pun di Grup GoTo - yang membawahi Gojek, Tokopedia, dan GoTo Financial (GTF) - sejak awal mengedepankan teknologi untuk mendorong kemajuan. Isu emisi karbon dan limbah turut menjadi bagian dari fokus kami, yang tercakup dalam komitmen kami hingga tahun 2030, yakni Tiga Nol (Nol Emisi Karbon, Nol Sampah dan Nol Hambatan). Ini tercermin dalam inisiatif kami, termasuk pengembangan kendaraan listrik Electrum, transisi kantor kami kepada energi terbarukan,hingga upaya mengurangi dan menghilangkan semua pencemaran limbah.
Keberlanjutan merupakan tanggung jawab kita bersama. Upaya pengurangan emisi karbon dari sektor energi dan limbah lewat teknologi juga tak bisa dilakukan satu dua perusahaan swasta dan didukung pemerintah. Kita butuh kepemimpinan, kolaborasi, dan tentu saja investasi yang mendukung para pelaku industri untuk membawa perubahan yang nyata dan berdampak.
Ini penting mengingat investasi menuju energi bersih nilainya fantastis dan trennya meningkat sejak 2015 pasca-Perjanjian Paris. Tahun ini, IEA memprediksi investasi energi bersih dunia bahkan bisa menembus US$ 1,4 triliun atau setara Rp 20,72 kuadriliun (kurs Rp 14.800/US$). Porsi investasi clean energy ini mencapai 58% dari nilai investasi energi global yang diestimasi menyentuh US$ 2,4 triliun di 2022. Investasi yang terus meningkat ini dapat menjadi insentif bagi perusahaan untuk turut transisi ke ekonomi berkelanjutan.
Teknologi memang menjadi 'jembatan emas' menuju ekonomi berkelanjutan. Namun, layaknya sebuah konstruksi 'jembatan emas', teknologi perlu disokong oleh 'infrastruktur' pendukung, di antaranya adalah gotong royong atau aksi kolektif setiap pemangku kepentingan, dukungan investasi, kebijakan, dan kesempatan yang setara bagi setiap orang sehingga dampak dari ekonomi hijau bisa dirasakan oleh semua masyarakat. Dengan menerapkan prinsip berkelanjutan yang kuat dan dukungan semua aspek tersebut, kita dapat bersama-sama mencapai ekonomi hijau yang optimal.