Revolusi Minyak Jelantah: Energi Bersih dari Dapur

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan punya direktur jenderal definitif setelah hampir setahun lamanya posisi itu diisi oleh pelaksana tugas atau plt sejak pensiunnya Agus Purnomo sebagai orang nomor satu di sana. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, akrab disapa BKS, akhirnya mengangkat Arif Toha Tjahjagama sebagai dirjen hubla definitif beberapa waktu lalu. Yang bersangkutan sebelumnya merupakan Sekretaris Ditjen Hubla. Sejak Agus Purnomo pensiun, dia merangkap pula Plt Dirjen Hubla beberapa kali. Jabatan tersebut sempat juga ditempati oleh Mugen S. Sartoto yang sehari-harinya adalah Direktur Lalu Lintas Laut.
Arif, alumni Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, sebelum memangku jabatan dirjen dinyatakan lulus asesmen yang diadakan oleh Kemenhub. Selain dia, ada Ahmad Wahid, Direktur Perkapalan dan Pelaut dan Sahattua P. Simatupang selaku inspektur pada Inspektorat Jenderal Kemenhub, yang juga dinyatakan lulus. Namun, harap dicatat, menjadi seorang dirjen tidak hanya bermodal lulus asesmen. Ia juga mesti memiliki endorsement politik yang kuat dari partai-partai, wabil khusus partainya penguasa. Pekerjaan seorang dirjen itu 30% bersifat teknis, 70% lagi bersifat politis.
Pergantian pejabat tinggi di instansi sebesar Kemenhub bukanlah sekadar rotasi. Dalam kacamata jurnalisme pergantian seorang dirjen - dirjen apapun - pastilah memiliki bobot berita yang tinggi sehingga amat sangat sayang untuk dilewatkan. Berita dan analisis seputar dirjen baru pun biasanya muncul sejurus pelantikan yang bersangkutan. Karenanya, seputar 2017 saya pernah menulis kolom seputar posisi dirjen hubla yang saat itu sedang diseleksi orangnya oleh Kemenhub menyusul kosongnya kursi tersebut setelah Antonius Tonny Budiono, orang yang menduduki kursi dirjen saat itu, dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mumpung hangat.
Kini, saya kembali menulis tentang Hubla-1, sebut saja jabatan itu demikian. Lalu, pertanyaannya sekarang adalah apakah sosok Arif cocok pada posisi dimaksud? Pasalnya, ada sejumlah masalah, eksternal dan internal, yang harus dihadapinya.
Arif berhadapan dengan sektor transportasi laut yang bergerak sangat dinamis hari ini. Bisnis transportasi laut hari ini sudah terbilang tua di mana lingkungan strategis tempatnya dilahirkan dan tumbuh telah berubah drastis. Pola perdagangan internasional melalui laut (sea trade) hari ini tak lagi sama. Dahulu, negara-negara maju, sering diistilahkan sebagai OECD, hanya mengimpor sebesar 3,5 ton per kapita, sementara negara non-OECD hanya 1 ton per kapita. Kini, angka tersebut sudah berubah. Negara maju mengimpor hanya 37% dari total impor dunia dan terus turun dengan kecepatan 1% per tahun.
Padahal, pada era 1960-an, mereka menguasai hingga 75% impor global. Kekuatannya sudah diambil oleh negara-negara yang berada di kawasan Asia-Pasifik. Hal lainnya, ketika bisnis pelayaran modern mulai bergerak beberapa dekade lalu, isu iklim bukan masalah yang besar. Sehingga, pencemaran udara yang diakibatkan oleh pengoperasian kapal di tengah lautan maupun di pelabuhan tidak perlu dipusingkan oleh operator dan pemilik kapal. Tetapi, dengan ancaman perubahan iklim (climate change) yang ada di hadapan umat manusia industri pelayaran harus berperan mengatasinya. Sebab, kapal merupakan salah polutan yang signifikan kontribusinya.
Last but not least, pandemi Covid-19 yang mengharu-biru selama hampir tiga tahun terakhir (sampai saat ini pun dunia masih belum sepenuhnya pulih dari situasi ini) juga amat memengaruhi dunia pelayaran, terutama para pelaut. Apa yang disebutkan di muka merupakan masalah eksternal dan dirjen hubla yang baru tidak sendirian menghadapinya. Ia memiliki hampir semua aspek untuk menyelesaikannya. Ada roadmap, ada konvensi dan lainnya. Semuanya disusun bersama-sama dengan negara anggota IMO lainnya karena masalah-masalah tadi juga menghadang seluruh negara di dunia.
Sejauh ini, Ditjen Hubla Kemenhub telah terlibat dan juga menjalankan hampir semua produk regulasi yang ditelurkan oleh lembaga yang berada di bawah PBB itu. Hanya saja, ya itu, implementasinya di lapangan cenderung business as usual, monoton, hampir tanpa terobosan berarti. Idealnya, sebagai negara yang dua per tiga wilayahnya terdiri dari air Indonesia bisa berbicara banyak di forum IMO. Yang terjadi negeri ini malah negeri ini justru menjadi pembebek saja.
Lantas, bagaimana dengan tantangan internal yang dihadapi oleh Arif? Tantangan yang ringan dahulu. Saya menangkap kesan yang bersangkutan sepertinya tidak sepenuhnya mendapatkan dukungan dari stakeholder Ditjen Hubla. Arif dinilai bukan figur yang cocok untuk jabatan itu. Mereka menilai orang yang layak menjadi dirjen hubla adalah pejabat yang berlatar belakang pelaut. Ya, Arif bukanlah pelaut. Ia seorang insinyur. Sekadar pengingat, dua pejabat yang juga sama-sama lulus asesmen Kemenhub merupakan pelaut; satu perwira teknika/mesin, satunya lagi perwira nautika/dek. Mugen S. Sartoto, yang sempat didapuk sebagai plt dirjen hubla, juga seorang pelaut.
Rivalitas antara PNS pelaut dan non-pelaut di Ditjen Hubla boleh dibilang kental. Ia pasti dibantah oleh pegawai yang ada di sana. Tetapi sudah bukan rahasia lagi bila pejabat dengan kategori pertama yang berada di posisi Hubla-1, mereka dengan kategori kedua dapat dipastikan akan sulit berkembang kariernya. Begitu pula sebaliknya. Menariknya, situasi ini juga berlaku kepada stakeholder Ditjen Hubla. Apakah sentimen itu akan mempengaruhi kinerja Arif sebagai Dirjen? Hanya dia yang bisa menjawabnya. Tentu saja dengan menunjukkan kerjanya.
Tantangan internal yang cukup berat buat Arif adalah, terutama, menahan arus liberalisasi yang hari ini begitu deras melanda bisnis kepelabuhanan nasional. Kondisi tersebut berangkat dari UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang spiritnya amat sangat liberal. Executioner peraturan ini sebagian besar, jika tidak mau disebut seluruhnya, berada di tangan Ditjen Hubla. Dengan liberalisme tadi sektor pelabuhan dibuka seluas-luasnya kepada kalangan swasta (dalam dan luar negeri). Perusahaan pelabuhan milik negara, Pelindo, sudah tidak lagi mendapat perlakuan istimewa. Bahkan, pada derajat tertentu "dikerjain" demi mengutamakan pengusaha pelabuhan swasta.
Lihatlah izin-izin atau proyek-proyek pengembangan pelabuhan baru yang diinisiasi oleh Ditjen Hubla, hampir seluruhnya berada di bawah hidungnya Pelindo. Artinya, pelabuhan itu nantinya akan menjadi competitor-nya BUMN itu. Di mana-mana yang namanya badan usaha milik (state enterprise) mendapat perlindungan politis agar ia bisa bertahan dari serbuan market economy. Di sini malah dilepas begitu saja. Di sisi lain, mereka diminta setor segala macam ke kas negara, kewajiban mana tidak ada pada swasta kecuali pajak.
Bagaimana cara Arif selaku dirjen hubla yang baru menyikapinya? Mari kita tunggu sepak-terjangnya.