Antara Pelabuhan Tanjung Pinggir dan Pelabuhan Tanjung Priok

Siswanto Rusdi, CNBC Indonesia
04 February 2022 12:15
Siswanto Rusdi
Siswanto Rusdi
Siswanto Rusdi adalah pendiri dan Direktur The National Maritime Institute (Namarin), lembaga pengkajian yang fokus di bidang pelayaran, pelabuhan, MET (Maritime Education and Training (MET), dan keamanan maritim. Ia berlatar belakang pendidikan pascasarja.. Selengkapnya
Pekerja melakukan pendataan bongkar muat kontainer peti kemas di Terminal 3 Tanjung Priok, Jakarta, Senin (22/11/2021). Pemulihan ekonomi global dari pandemi Covid - 19 dinilai lebih cepat dari yang diekspektasi banyak pihak. Sehingga produksi dan perdagangan melonjak signifikan yang membuat ketidakseimbangan pasar, yang berimbas pada kekurangan bahan baku dan kelangkaan kontainer.. (CNBC Indonesia/ Muhammad Tri Susilo)
Foto: Aktivitas bongkar muat kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok, Senin (22/11/2021). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Antara Tanjung Pinggir dan Tanjung Priok itu sebetulnya terbentang jarak yang jauh. Satu terletak di gugusan pulau Sumatra, sementara yang satunya lagi terletak di pulau Jawa. Secara fisik barangkali rentang di antara keduanya terpaut sekitar 2.000 km. Bisa saja lebih. Namun, jarak non-fisik itu belakangan seperti menyempit. Ada pihak yang mencoba melakukan upaya menjembatani keadaan. Caranya dengan menarasikan bahwa pembangunan pelabuhan Tanjung Pinggir yang beberapa waktu lalu dibuka rencananya oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Jenderal TNI (Purn.) Luhut Binsar Pandjaitan, akan melebihi pelabuhan Tanjung Priok. Bukankah kata melebihi tersirat di dalamnya makna kedekatan?

Dari berbagai pemberitaan, pemerintah memang berniat mengembangkan pelabuhan Tanjung Pinggir di pulau Batam, provinsi Kepulauan Riau, menjadi pelabuhan besar alias hub. Besarnya akan melebihi pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta. Muhammad Rudi selaku Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam menyebut angka 18 juta twenty foot equivalent unit atau TEU sebagai target throughput pelabuhan Tanjung Pinggir nantinya. Menurut dia, jumlah itu merupakan peti kemas Indonesia yang dilayani di pelabuhan Singapura selama ini. Wacana ini menarik dikomentari karena beberapa hal berikut.

Pernyataan Luhut bahwa pelabuhan Tanjung Pinggir akan melebihi pelabuhan Tanjung Priok bukan kali pertama. Dalam catatan penulis, pernyataan senada pernah dibunyikan beberapa kali sebelumnya oleh yang bersangkutan. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pun diketahui juga acap menyatakan hal yang sama terkait pelabuhan Tanjung Priok. Tidak hanya berwacana, Budi Karya malah mewujudkannya, salah satunya, melalui pengembangan pelabuhan Patimban.

Diberitakan oleh media, Budi Karya menyebut pelabuhan yang berada di kabupaten Subang, provinsi Jawa Barat itu dibangun dengan kapasitas lebih besar dari pelabuhan Tanjung Priok. Ini belum lagi ditambah dengan pernyataan seirama dari berbagai kalangan non-pemerintah. Singkat cerita, mereka melihat something wrong dengan keberadaan Tanjung Priok selama ini. Pembangunan pelabuhan baru di mana pun di Indonesia ini karenanya diwacanakan/direncanakan akan 'melebihi Tanjung Priok' sebagai upaya untuk meluruskan semua something wrong itu.

Bagaimana sih sebenarnya kondisi riil di lapangan antara pelabuhan Tanjung Pinggir yang akan dibangun dengan pelabuhan Tanjung Priok? Apakah keduanya layak dibandingkan? Jujur, sebetulnya antara Tanjung Pinggir dan Tanjung Priok tidak dapat dibandingkan. Bagaimana mau dibandingkan wong yang satu masih baru sebatas rencana di atas kertas sementara yang lainnya sudah lama berdiri dan sudah eksis dalam percaturan bisnis pelabuhan internasional. Gagasan pembangunan Tanjung Pinggir terkesan seperti petir yang menyambar di siang bolong.

Sebab, rencana itu tidak tercantum dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 432 Tahun 2017 tentang Rencana Induk Pelabuhan Nasional. Karena sudah berselang sekitar enam tahun bisa jadi RIPN-nya sudah diperbarui dengan memasukkan Tanjung Pinggir dalam rencana pengembangan. Entahlah, saya terus terang tidak tahu.

Itu baru aspek yang terhitung gampil, sederhana. Ada beberapa hal lain yang bisa disajikan sebagai catatan dari pengembangan Tanjung Pinggir yang dilontarkan pemerintah. Untuk diketahui, di Batam saat ini sudah beroperasi beberapa pelabuhan atau terminal seperti Batu Ampar, Sekupang, Nongsa Pura, Batam Center, Kabil dan Telaga Punggur. Dengan layanan yang relatif sama di antara mereka (seperti penumpang, kargo: peti kemas, CPO, dll). Pembangunan pelabuhan Tanjung Pinggir yang secara geografis cukup berdekatan antara satu dengan lainnya - Tanjung Pinggir berdekatan dengan pelabuhan Sekupang - jelas akan menggerus bisnis yang sudah terbangun dan berjalan di pelabuhan yang telah ada terlebih dulu.

Atau, bisa saja ada pelabuhan eksisting yang bakal tutup sama sekali. Perlu diketahui, operator pelabuhan-pelabuhan yang ada di seantero Batam merupakan bagian dari BP Batam. Sehingga, jika ada keputusan untuk menutup satu-dua pelabuhan tertentu agar pelabuhan baru yang sedang direncanakan dapat leluasa berkiprah nantinya, pastinya akan lebih mudah diambil.

Lalu dari aspek teknis kepelabuhanan, Tanjung Pinggir sebenarnya jauh dari layak untuk dikembangkan sebagai international transshipment hub seperti yang dicanangkan oleh para pejabat. Soalnya, untuk melayani peti kemas sebanyak 18 juta TEU seperti disebut di atas setidaknya dibutuhkan luas perairan yang cukup signifikan agar pergerakan kapal menjadi leluasa. Di sini kita bicara dimensi, paling tidak, antara 7-10 km panjang garis pantai.

Aspek teknis lainnya, kondisi fisik Tanjung Pinggir hampir dapat dipastikan tidak akan mampu menopang statusnya sebagai hub internasional. Ini terkait dengan kondisi pantainya. Perkiraan saya, panjang garis pantai Tanjung Pinggir paling banter sekitar 1 hingga 1,5 km. Dengan luasan seperti itu, berapa banyak throughput yang bisa dilayani? Tidak banyak, paling antara 2-3 juta TEU saja. Bila ingin diperluas tentu harus direklamasi. Idealnya, sebuah hub dikembangkan dengan tidak melakukan reklamasi. Reklamasi itu mahal dan persiapannya juga lama.

Jika ingin tetap mengembangkan pelabuhan internasional besar di seputar Selat Malaka, ada baiknya pemerintah mencari lokasi lain di sepanjang pantai timur pulau Sumatra. Tidak perlu dipaksakan di pulau Batam. Bila dimensi fisik yang dibutuhkan untuk pelabuhan hub sekitar 7-10 km panjang garis pantai, lokasi dengan karakteristik seperti ini bisa ditemukan di sepanjang pantai timur pulau Sumatra. Pemerintah tinggal memilih saja.

Ini kondisi kinerja antara Tanjung Priok dan Tanjung Pinggir sebagai pengingat kita semua. Throughput (capaian bongkar-muat peti kemas) pelabuhan Tanjung Priok merupakan yang tertinggi di Indonesia saat ini, lebih dari 7 juta TEU setiap tahunnya. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan penataan ulang pelabuhan-pelabuhan utama di bawah pengelolaan PT Pelabuhan Indonesia. Penataan ulang dimaksud akan menyasar pergerakan peti kemas ekspor yang selama ini bisa langsung dikapalkan ke destinasi akhir - dikenal dengan istilah direct call - dari pelabuhan-pelabuhan seperti Makassar atau Tanjung Perak misalnya. Ke depannya, peti kemas ekspor itu akan dikumpulkan terlebih dahulu di Tanjung Priok baru kemudian dikirim ke tujuan akhirnya.

Karena Tanjung Pinggir belum lagi dibangun, mari kita lihat arus peti kemas di pelabuhan Batu Ampar sebagai proxy-nya. Saat ini, throughput pelabuhan ini lebih dari 500 ribu TEU. Jika menjadi hub nantinya, dengan target throughput sekitar 18 juta TEU per tahun seperti yang sudah diucapkan oleh orang-orang penting, Tanjung Pinggir jelas akan menjadi buah bibir kalangan kemaritiman internasional. Soalnya, lompatannya sangat dahsyat sekali bagi sebuah pelabuhan kecil. Sesuatu yang rasanya tidak mungkin. Tetapi, nobody knows.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation