
Renato Lima-de-Oliveira adalah asisten profesor Business and Society di Asia School of Business (ASB). Dia juga merupakan afiliasi penelitian di MIT Industrial Performance Center (IPC) dan partner di Institute for Democracy and Economic Affairs (IDEAS-Malaysia). Renato akan berbicara di Leadership for Enterprise Sustainability Asia Forum (LESA 2021) yang akan datang.
Profil SelengkapnyaEkonomi Dunia Bangkit, Emisi Pun Meningkat: Saatnya Ubah Pola

Jakarta, CNBC Indonesia - Berakhirnya pemberlakuan lockdown di banyak negara serta dibukanya kembali perkantoran, pabrik, bahkan destinasi pariwisata seiring semakin banyaknya warga yang divaksinasi, menandai tahun 2021 dengan bertemunya kembali para kolega di tempat kerja, para anggota keluarga yang tinggal berjauhan, serta bangkitnya perekonomian dengan kuat di seluruh dunia.
Hal ini mendasari prediksi terbaru IMF menunjukkan tingkat pertumbuhan mendekati 6% tahun ini. Sayangnya, akibat ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, pertumbuhan yang sangat dibutuhkan ini juga dibarengi dengan emisi yang lebih tinggi serta tekanan terhadap harga batu bara, gas dan minyak.
Walaupun kembalinya pola pertumbuhan bisnis normal ini menyebabkan konsumsi bahan bakar fosil dan emisi gas rumah kaca (greenhouse gas) yang lebih besar, para pemimpin bisnis dan pembuat kebijakan, terutama di Asia, wajib mengubah pola tersebut. Ini bukan hanya karena kebutuhan iklim, tapi juga karena adanya peluang-peluang bisnis baru.
Dalam jangka pendek, memulai kembali aktivitas ekonomi berarti lebih banyak melakukan hal-hal yang sama: mengisi bensin mobil, membakar bahan bakar jet saat terbang dengan pesawat, atau membakar lebih banyak batu bara untuk menghasilkan listrik. Di era ini, perekonomian dan mesin masih ditenagai bahan bakar fosil, yang merupakan 80% dari semua sumber daya energi. Namun, sistem energi sedang menjalani transformasi yang lebih kuat, sehingga merekonfigurasi cara kita mengambil dan mengonsumsi energi.
Masalah ini sudah dibahas International Energy Agency (IEA) dalam laporan World Energy Outlook 2021 yang baru dirilis. Menurut tim spesialis mereka, ada peningkatan ekonomi energi baru yang lebih mudah dikonversi ke energi listrik, lebih efisien, saling terhubung, dan bersih. Kombinasi insentif kebijakan dan kemajuan teknologi menjadikan tenaga surya dan angin salah satu dari sumber pembangkit energi baru termurah di dunia.
Penjualan kendaraan listrik (electric vehicles atau EV) meningkat pesat di China, Eropa dan AS. EV jauh lebih efisien dibandingkan mesin pembakaran internal (internal combustion engines/ICE) dalam mengonversikan energi saat bergerak, dengan biaya perawatan yang jauh lebih rendah karena tidak banyak bagian bergerak yang terus membutuhkan penggantian. Adopsi awal bisa saja lambat, terutama saat infrastruktur pengisian daya (charging) belum berkembang.
Namun, saat produsen mobil mulai mengeluarkan model EV baru, yang meningkatkan persaingan dan menurunkan harga jualnya, serta semakin berkembangnya infrastruktur pengisian data, sangat jelas bahwa EV akan melampaui ICE. Ini akan mengurangi permintaan minyak mentah yang secara dominan (57%) digunakan sebagai bahan bakar cair. Demikian pula, energi terbarukan sudah tumbuh lebih cepat daripada produksi energi konvensional, sehingga mengurangi perkiraan pertumbuhan untuk batu bara, serta pada tingkat yang lebih rendah, yakni gas.
Yang baru menggantikan yang lama, tapi tidak dalam kecepatan yang kita butuhkan. Dan inilah inti dari krisis energi kita saat ini: investasi di bahan bakar fosil menurun karena paksaan untuk mendekarbonisasi ekonomi dan prospek pertumbuhan jangka panjangnya yang lebih rendah. Namun, energi terbarukan belum cukup matang untuk sepenuhnya menggantikan bahan bakar fosil, terutama di pasar negara berkembang, termasuk sebagian besar Asia. Negara-negara utama di wilayah ini belum memiliki rencana net-zero yang konkrit dan menerapkan kebijakan yang selaras dengan ekonomi energi negara berkembang.
Secara khusus, sangat penting untuk menghindari membangun infrastruktur baru yang menyerap energi karbon dengan berat, seperti pembangkit listrik tenaga batu bara.
Alasannya sederhana, infrastruktur dengan bahan bakar fosil yang berat tidak tangguh menghadapi ekonomi energi yang berkembang dan memiliki risiko akan terempas. Kecil kemungkinan pembangkit listrik tenaga batu bara yang dibangun tahun 2021 akan beroperasi hingga 35-40 tahun mendatang, yakni usia rata-rata pembangkit listrik tenaga batu bara di AS dan Eropa, yang kini sudah berhenti beroperasi. Sebagai perbandingan, usia pembangkit listrik tenaga batu bara di China dan di wilayah lain di Asia jauh lebih muda, rata-rata 13 dan 16 tahun dan mereka sudah berharap dengan risiko berhenti beroperasi dini karena kemajuan energi terbarukan.
Ini adalah keputusan yang bijaksana bagi planet kita - dan kemungkinan besar juga bagi profit bisnis - untuk melarang pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara yang baru. Terlebih lagi, tujuan ekspor utama seperti Uni Eropa berencana mengadopsi pajak penyesuaian perbatasan karbon, dimana barang bisa dikenakan pajak berdasarkan jumlah emisi karbon yang dibutuhkan untuk produksi. Jika mekanisme ini diberlakukan, maka memiliki matrik energi bersih akan menjadi keunggulan pada daya saing.
Tahun pandemi 2020 juga merupakan masa ketika banyak perusahaan dan pemerintahan mengumumkan aspirasi karbon bersih nol, termasuk pemain besar minyak dan gas seperti BP, Shell, Total bahkan pemain-pemain BUMN dari Asia Tenggara. Tahun pemulihan 2021, sebaliknya, adalah tahun pulihnya permintaan akan bahan bakar fosil dan harga. Ini merupakan pengingat bahwa transisi energi tak sekadar mulus, tapi bisa lebih mulus lagi.
Sangat penting bagi para pemimpin bisnis dan politik untuk mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan tidak hanya untuk secara bertahap mengurangi pemakaian bahan bakar fosil, tapi juga memungkinkan lingkungan bisnis yang berlandaskan ekonomi energi baru. Tidak ada wilayah lain di dunia yang bisa mengambil manfaat tersebut dibandingkan Asia, karena ini adalah kawasan yang menjadi asal sebagian besar pertumbuhan ekonomi di masa depan.