
Pengamat pasar modal dan perbankan. Sebelumnya dia menjabat Director, Head of Research and Strategist di Morgan Stanley Indonesia. Memiliki karier di dunia keuangan dan investasi selama lebih dari 20 tahun. Beliau memimpin tim riset yang telah berprestasi menduduki peringkat atas dalam polling tahunan Institutional Investor sejak tahun 2015. Sebelum berkarir di Morgan Stanley, beliau pernah berkarier di berbagai institusi, seperti CIMB Securities dan Danareksa Sekuritas. Beliau adalah pemegang charter CFA, dan sebelumnya aktif menjadi instruktur CFA. Mulya memiliki ijin Wakil Manajer Investasi (WMI), dan Wakil Perantara Perdagangan Efek (WPPE). Selain bidang investasi, Mulya juga pemegang CA (Indonesia) dan pernah berkarier sebagai financial auditor di KPMG.
Profil SelengkapnyaPerbankan digital: Yay atau Nay?

Tema digitalisasi mengubah segala aspek kehidupan masyarakat sehari-hari, tidak terkecuali kegiatan keuangan dan perbankan. Semakin sering kita mendengar Bank A akan bertransformasi menjadi bank digital, disusul Bank B, lalu Bank C, dan seterusnya. Lalu apa dampak tren konversi massal ini pada dunia perbankan?
Digitalisasi dalam perbankan sebenarnya bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sejak satu dekade yang lalu pun beberapa bank di Indonesia sudah memberikan layanan digital, seperti internet ataupun mobile banking. Namun, layanan digital seperti demikian nampaknya masih belum memenuhi kriteria perbankan digital yang belakangan sedang hip ini.
Terlepas dari berbagai definisi yang berbeda, konsensus dunia keuangan cenderung melihat bank digital sebagai bank yang menempatkan digitalisasi sebagai produk utama dan inti dari sistem operasional mereka. Dan, hal ini berbeda dengan bank konvensional yang menawarkan produk digital sebagai produk sampingan (auxiliary product), mendampingi produk-produk konvensional mereka yang utama, baik simpanan ataupun kredit.
Transformasi ke bank digital dari bank konvensional membutuhkan perombakan menyeluruh pada sistem perbankan inti (core banking system); mencakup perombakan dari sistem waterfall/bertahap ke agile/iteratif, dari sistem sentralisasi ke desentralisasi micro services, dan sebagainya. Demikian pula dengan kemungkinan penutupan cabang-cabang yang tidak lagi diperlukan oleh sistem perbankan digital.
Obat mujarab perbankan?
Perbankan digital digadang-gadang akan memberikan efisiensi luar biasa, yang bila dioperasikan secara optimal dapat menurunkan rasio beban atas pendapatan (cost-to-income ratio) dari kisaran 40-45% untuk perbankan Indonesia saat ini menjadi 25-30%. Efisiensi operasi timbul dari penggunaan infrastruktur digital dan virtual, ketimbang infrastruktur fisik yang memerlukan kantor-kantor cabang dan karyawan-karyawan lini depan.
Bahkan, pada versi canggihnya, perbankan digital mampu melakukan analisa kredit secara Artificial Intellegence pada big data, yang disebut-sebut dapat menghasilkan skoring kredit yang lebih akurat dan non-bias; menggantikan analisa kredit manual saat ini yang mengandalkan analis-analis kredit dan surveyor.
Nasabah pun mencicipi nikmatnya, dengan ditawari kemudahan bertransaksi perbankan hanya melalui aplikasi, hingga bunga simpanan menggiurkan yang mencapai dua kali lipat bunga simpanan bank konvensional.
Namun, apakah perbankan digital adalah obat mujarab yang menyelesaikan semua masalah? Sepertinya tidak semudah demikian. Perbankan digital nampaknya lebih mudah untuk dibicarakan daripada dilaksanakan. Tidak optimalnya operasi perbankan digital justru dapat menimbulkan permasalahan tersendiri.
Pada saat ini pun, dapat kita pantau klaim beberapa nasabah perbankan digital yang frusrasi dengan layanan nasabah, mengalami kegagalan login atau kehilangan akses, bahkan ada yang mengaku kehilangan uang atas transfer yang tidak mereka lakukan.
Di balik kekisruhan tersebut, mungkin terdapat pertarungan digital yang sengit. Dikarenakan infrastruktur digitalnya, perbankan digital dengan sendirinya terkekspos kepada dunia online yang seringkali menjadi sasaran usaha pembobolan dari peretas. Apabila perbankan digital kurang siap dengan serangan-serangan tersebut, satu atau dua kasus pun dapat mendorong bank tersebut dengan tiba-tiba menarik rem pengaman dan mempersulit akses ke akun nasabah; namun, dapat saja secara tidak sengaja turut mengurangi kenyamanan pemilik akun yang sah.
Hip transformasi ke bank digital
Beberapa bank di Indonesia telah atau sedang bertransformasi menjadi bank digital. Keberhasilan beberapa bank digital global nampaknya telah memicu hip dan tren tesebut di tanah air, khususnya bank skala kecil dan menengah untuk ikut bertransformasi menjadi bank digital.
Bank skala besar sepertinya ogah untuk ikutan, dikarenakan transformasi membutuhkan perombakan sistem perbankan inti yang menyeluruh, dan perombakan tersebut dapat saja mengganggu stabilitas operasi yang saat ini sudah berjalan mulus.
Terlepas dari keinginan bank-bank skala menengah dan kecil tersebut, keberhasilan transformasi ke bank digital masih bergantung kepada beberapa hal yang mendasar, seperti:
• Kompetensi manajemen untuk menyesuaikan bisnis ke dalam dunia digital. Perlu diingat, perbankan digital hanyalah sebuah platform, yang tidak serta merta menjanjikan keberhasilan bisnis. Bank tetap memerlukan rencana bisnis untuk mendatangkan nasabah dan memperluas pangsa pasar.
• Infrastruktur dan kemampuan teknologi. Beberapa bank digital cenderung menggunakan jasa pihak ketiga, umumnya penyedia asing, untuk merombak sistem konvensional mereka dan membangun infrastruktur bank digital. Namun, yang lebih penting adalah bank-bank tersebut harus memiliki kemampuan internal untuk mengoperasikan, memelihara, dan mengembangkan sistem di masa yang akan datang, tanpa ketergantungan berlebih terhadap pihak ketiga.
• Dukungan modal berkesinambungan untuk investasi dan ekspansi. Beberapa bank mungkin memerlukan rights issue untuk transformasi awal bank digital, namun bank-bank tersebut juga perlu memastikan bahwa dukungan modal tersebut dapat berkesinambungan, mengingat kebutuhan pengembangan infrastruktur digital, bukan hanya di awal, tapi berkelanjutan.
• Terakhir, namun teramat penting: memiliki pangsa pasar niche/sasaran. Bank digital yang mulai tanpa pangsa pasar niche dapat mengalami hambatan mencapai skala operasi optimal, karena bank digital yang baru beroperasi akan sulit mendifferensiasikan produknya dengan bank-bank besar yang telah menguasai pangsa pasar.
Tanpa memenuhi syarat-syarat dasar tersebut, niscaya transformasi dapat menemui jalan buntu.
Bank konvensional tetap tidak usang
Meskipun nampaknya model perbankan konvensional mulai ditinggalkan, bank-bank konvensional akan tetap relevan di era digital ini, menurut hemat kami. Dan mereka seyogyanya dapat berjalan berdampingan dengan bank-bank digital. Ada beberapa hal yang berkaitan dengan topik ini:
• Ke depannya, model perbankan konvensional akan didominasi oleh bank-bank besar yang nampak ogah merombak sistem perbankan inti mereka, demi menjaga kestabilan sistem. Meskipun demikian, bank-bank ini tetap dapat menawarkan layanan digital sebagai produk pendamping; secara teknis, mereka menggunakan perangkat middleware untuk menjembatani produk digital dengan sistem perbankan inti konvensional mereka.
• Bank-bank digital masih perlu bermitra dengan bank-bank konvensional, dikarenakan mayoritas bank digital tidak akan membangun infrastruktur sendiri, seperti jaringan ATM. Mereka akan mengarahkan nasabah yang ingin menarik uang ke ATM bank rekanan, yang merupakan bank konvensional, dimana bank digital akan mengkompensasi penggunaan fasilitas tersebut.
• Tidak semua nasabah akan menggunakan fasilitas bank digital. Sebagian dari penduduk Indonesia, karena satu dan lain hal masih nyaman dengan layanan konvensional dengan tatap muka dan interaksi fisik di kantor cabang dengan staf lini depan.Perbankan digital juga kurang sesuai untuk nasabah korporasi, karena nasabah korporasi membutuhkan layanan yang dipersonalisasi. Secara pangsa pasar, nasabah perusahaan dan korporasi sendiri telah menyumbangkan porsi yang besar, yaitu 51-54% dari total kredit dalam 1 dekade terakhir, menurut data OJK.
Transformasi industri perbankan yang dapat diantisipasi
Sekurang-kurangnya ada tiga tren utama yang kami antisipasi untuk transformasi industri perbankan, atas maraknya konversi bank-bank kecil dan menengah menjadi bank digital:
• Industri akan semakin efisiensi karena sejumlah besar bank akan bertansformasi menjadi bank digital, yang berarti rerata rasio cost-to-income industri perbankan akan melandai.
• Akselerasi konsolidasi industri. Dikarenakan bank-bank besar cenderung tidak merombak sistem perbankan inti mereka, mereka dapat mengakuisi bank yang lebih kecil dan menjadikan bank tersebut anak usaha bank digital.
• Pasar dapat menjadi lebih oligopolistik, yang akan didominasi oleh bank-bank skala besar ataupun bank digital yang memiliki keunggulan teknologi. Selebihnya, bank-bank yang tersisa dapat semakin sulit bersaing. Hal ini perlu diwaspadai untuk mencegah potensi kegagalan bank-bank tersebut.
Kesimpulan
Pertama, tren bank digital tidak dapat dihindarkan, karena tuntutan jaman dan kebutuhan nasabah yang sudah berevolusi. Bank-bank lebih baik memikirkan ulang peran dan posisi mereka dalam pasar untuk jangka panjang; entah ikut bertransformasi menjadi bank digital, atau mematangkan konsep hibrid konvensional-layanan digital, dengan memperhatikan keunggulan kompetitif di kondisi pasar yang sedang berubah ini.
Kedua, apabila diputuskan untuk bertransformasi, bank tersebut perlu memastikan kesinambungan dukungan infrastruktur, modal, dan ketrampilan. Jika ada keraguan, bank-bank skala kecil menengah lebih baik mempertimbangkan opsi untuk meleburkan diri dengan bank-bank yang lebih besar.
Ketiga, produk bank digital haruslah transparan kepada masyarakat. Efisiensi biaya operasi bukanlah alasan atas tidak memadainya layanan nasabah. Bank digital juga harus mencari titik imbang antara keamanan digital dan kenyamanan nasabah. Jangan sampai hal yang satu mengorbankan yang lain secara tidak proporsional.