Jaringan Listrik Tahan Badai: Fondasi Energi untuk Indonesia Digital

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Wacana pajak karbon di Indonesia sejak kemunculannya menimbulkan berbagai penolakan. Kekhawatiran terbesarnya adalah bertambahnya beban keuangan yang harus ditanggung industri atau konsumen atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas menghasilkan karbon dalam jumlah tertentu, yang berpotensi menurunkan daya beli masyarakat atau daya saing industri.
Kekhawatiran ini bukannya tidak berdasar, Australia pernah menerapkan pajak karbon hanya dari tahun 2012 dan dihentikan pada 2014. Waktu itu, Australia masih berusaha pulih dari dampak krisis ekonomi global dan perlambatan ekonomi karena penurunan aktivitas pertambangan. Pajak karbon dianggap menambah biaya hidup masyarakat.
Isu serupa pernah terjadi di Prancis. Gerakan rompi kuning pada tahun 2018, menyebabkan pajak karbon mengalami tarif yang stagnan. Pajak karbon dianggap menurunkan daya beli masyarakat, yang pada waktu itu cukup terbebani peningkatan harga bahan bakar kendaraan.
Keberhasilan Pajak Karbon
Dari sisi keberhasilan, Swedia sering dijadikan contoh. Pajak karbon sudah diterapkan sejak tahun 1991 dan pada tahun 2021 tarif di negara tersebut tertinggi di dunia (sekitar $130/ton CO2). Pajak karbon dianggap berdampak terhadap penurunan emisi (sebesar 27% dari tahun 1990-2018), serta peningkatan PDB di negara tersebut (sebesar 50% dari tahun 1990 ke 2019).
Terdapat tiga kunci utama dari keberhasilan penerapan pajak karbon di Swedia. Pertama, penerimaan pajak karbon selain masuk ke kas negara juga digunakan untuk meringankan pajak lain. Pada saat penerapan pajak karbon, PPh badan turun 27% sementara PPh orang pribadi turun 30%. Kebijakan ini tak lepas dari tujuan pajak karbon untuk mengubah perilaku daripada sekedar penambah pemasukan negara. Kedua, pengecualian pengenaan terhadap beberapa industri untuk menjaga daya saing, seperti misalnya industri baja.
Ketiga, kemudahan administrasi. Pajak karbon tidak dihitung berdasarkan perhitungan emisi yang rumit, namun hanya berdasarkan perkiraan kandungan karbon dari bahan bakar fosil. Selain itu, pajak karbon dikenakan pada importir, distributor, dan konsumen besar. Pelanggan akhir merasakan kenaikan harga produk sebagai dampak tidak langsung.
Aspek Perilaku
Adanya keberhasilan dan kegagalan menunjukkan kompleksitas penerapan pajak karbon. Australia dan Prancis menunjukkan bahwa faktor ekonomi harus sangat diperhatikan. Dari aspek perilaku ekonomi, ketika perubahan iklim di-framing secara negatif terutama atas dampaknya terhadap masa depan manusia, sementara risiko dari perubahan iklim dipersepsikan kecil dan dampak dari melawan perubahan iklim tidak terlihat langsung, penerapan pajak karbon cenderung dilihat sebagai beban yang memicu rasa kehilangan dari masyarakat atas daya belinya. Perilaku ini mencerminkan teori prospek yang dicetuskan oleh Daniel Kahneman dan Amos Tversky pada tahun 1979.
Contoh di Swedia yang mengkompensasi pajak karbon melalui penurunan pajak lainnya memberikan persepsi keuntungan langsung di masyarakat. Konsep serupa diterapkan di Kanada dan Swiss dalam bentuk carbon dividend. Di sini penerimaan dari pungutan karbon dibagikan secara merata ke masyarakat, sehingga daya beli masyarakat masih terjaga. Sementara itu, barang-barang yang mengandung emisi karbon akan meningkat harganya. Sehingga, perilaku untuk mencari alternatif rendah emisi akan meningkat.
Penerapan untuk Indonesia
Dalam konteks Indonesia, pajak karbon berpotensi untuk menjadi alat pengubah perilaku daripada sekedar penambah pemasukan negara. Swedia dapat menjadi contoh, carbon dividend juga dapat diterapkan untuk menjaga daya beli masyarakat. Namun, terdapat beberapa poin yang perlu diperhatikan dalam meniru kesuksesan penerapan pajak karbon.
Pertama, Swedia memprioritaskan pajak karbon pada bahan bakar. Mengingat infrastruktur Indonesia masih belum sebaik negara maju, serta akses logistik berkepulauan hingga area terpencil, Indonesia perlu berhati-hati dalam menerapkan pajak karbon untuk bahan bakar. Indonesia dapat meniru India yang menerapkan pajak atas batubara. Selain pembangkit listrik merupakan sumber emisi terbesar Indonesia, peningkatan biaya listrik terhadap daya beli masyarakat masih dapat dikompensasi dari kebijakan carbon dividend.
Kedua, untuk mengelola carbon dividend, Indonesia perlu sistem pengelolaan yang transparan, supaya masyarakat dapat mengetahui secara jelas bahwa pajak karbon diterapkan secara tepat guna dan tepat manfaat (prinsip polluters pay dan keadilan sosial), sehingga perilaku positif masyarakat dapat terbentuk.
Terakhir, tingkat kesadaran masyarakat Indonesia atas perubahan iklim secara umum masih rendah (berdasarkan kajian Verisk Maplecroft tahun 2021). Sejalan dengan tingkat literasi masyarakat Indonesia yang juga rendah (berdasarkan survey OECD tahun 2019 peringkat 62 dari 70 negara). Dalam situasi ini, penerapan pajak karbon di sisi konsumen berpotensi menimbulkan penolakan dan ujungnya perilaku terhadap perubahan iklim tidak terbentuk.
Sehingga, lebih baik pajak karbon diterapkan di sisi produsen energi maupun industri sebagai katalis dalam percepatan penerapan cara-cara penurunan emisi. Di sisi lain, edukasi terhadap masyarakat terkait perubahan iklim perlu ditingkatkan bersamaan dengan sosialisasi langkah-langkah yang akan diambil pemerintah dalam melawan perubahan iklim.