Kemenangan Trump dan Reorientasi Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Sri Mulyani Indrawati dan Janet Yellen terhubung melalui sambungan telepon pada awal pekan kedua Maret 2021. Perbincangan menteri keuangan dua negara anggota G20 tersebut mengisyaratkan kerja sama yang akan semakin erat antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) dalam pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19 maupun tantangan global lainnya ke depan.
Pendalaman pasar keuangan menjadi salah satu topik yang didiskusikan. Indonesia membutuhkan aliran modal asing dalam menopang pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang pada 2021 dialokasikan sebesar Rp 1.006,4 triliun atau setara 5,7% produk domestik bruto (PDB). Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana menerbitkan surat berharga negara (SBN) berdenominasi valuta asing alias global bond untuk memenuhi 15% hingga 20% kebutuhan tersebut.
Sejumlah kalangan menilai sekaligus berharap kerja sama dengan AS dapat meningkatkan kepercayaan diri pelaku pasar global terhadap Indonesia. Hal itu dapat tercermin antara lain dalam tingkat bunga SBN berdenominasi valas. Semakin rendah bunganya berarti semakin tinggi kepercayaan dan ketertarikan investor terhadap Indonesia. Rendahnya bunga global bond akan mencerminkan rendahnya persepsi risiko berinvestasi pada instrumen keuangan serta ekosistem bisnis di Indonesia.
Di kawasan ASEAN, sejauh ini tingkat bunga obligasi global Indonesia masih termasuk yang paling tinggi. Pada 2020 lalu, misalnya, pemerintah menerbitkan obligasi global tenor 10 tahun dengan kupon di kisaran 3,85%. Sementara Filipina dengan tenor yang sama mampu menyerap US$ 2,35 miliar dengan kupon hanya 2,45%. Jika dibandingkan dengan negara ekonomi utama lainnya di kawasan seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand, maka selisihnya menjadi semakin lebar karena mereka mampu menekan kupon di bawah 2%.
Variabel non-ekonomi
Seperti diketahui, salah satu indikator yang menyebabkan tingginya tingkat bunga global bond Indonesia adalah sovereign credit rating yang dikeluarkan sejumlah lembaga pemeringkat seperti Standard and Poor's (S&P), Moody's, dan Fitch Rating. Oleh S&P, misalnya, per April 2020 Indonesia mendapat rating BBB, lebih rendah dari Filipina BBB+, Thailand BBB+, Malaysia A-, dan Singapura AAA.
Fakta Indonesia mendapat rating lebih rendah dari Thailand, Malaysia dan Singapura tentu sangat bisa diterima dan dipahami. Dari sisi indeks perkembangan finansial misalnya, Indonesia masih tertinggal jauh dari ketiga negara tetangga tersebut. Berdasarkan data Dana Moneter Internasional (IMF), per Juli 2020 indeks Indonesia tercatat 0,37, jauh di bawah Malaysia 0,66, Thailand 0,74, dan Singapura 0,75. Namun, menjadi menarik ketika Indonesia berada di bawah Filipina.
Dari sisi indikator ekonomi makro, Indonesia dan Filipina bisa dibilang merupakan peer countries yang paling dekat. Mulai dari PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, hingga rasio pajak dan rasio utang, kedua negara tergolong sebanding. Dalam indeks perkembangan finansial pun, Indonesia dan Filipina sama-sama mendapat skor 0,37. Walau demikian, credit rating Filipina konsisten berada di atas Indonesia.
Ketika Indonesia mendapat predikat investment grade dari S&P pada 2017, Filipina sudah lebih dulu sejak 2013. Pada awal 2000-an, ketika rating Indonesia masih B-, Filipina sudah mendapat B+. Jika indikator ekonomi tidak bisa menjadi faktor pembeda yang signifikan, maka patut diduga terdapat varibel lain dalam pertimbangan lembaga-lembaga pemeringkat sehingga lebih mengunggulkan Filipina dibanding Indonesia.
Bhatia (2002) mencoba mengevaluasi matriks lembaga-lembaga pemeringkat dalam penentuan sovereign credit rating menyusul krisis finansial Asia 1997. Pascakrisis, S&P memperketat metodologi dengan menambah dua kriteria dalam matriks berupa fiscal flexibility III: off-budget and contingent liabilities dan external flexibility III: bank and private sector net external debt. S&P juga mengganti kriteria price stability menjadi monetary stability. Salah satu hal yang tidak berubah adalah political stability yang tetap berada pada posisi pertama dari sembilan kriteria lainnya.
Masih menurut Bhatia, kriteria political stability mencakup penilaian terhadap risiko terjadinya peristiwa politik dan geopolitik seperti peperangan, revolusi, kerusuhan sosial, dan pergantian rezim secara inkonstitusional yang sangat berkorelasi dengan gagal bayar utang pemerintah. Selain itu, sejumlah faktor lain dalam penilaian politik adalah tingkat demokratisasi, pembagian kewenangan antarlembaga, serta konsensus kebijakan antarpartai politik. Bhatia menilai, faktor-faktor ini sangat relevan dengan Indonesia setelah beberapa dekade berada dalam stabilitas politik yang semu.
Dalam konteks stabilitas politik inilah barangkali Filipina lebih unggul dibanding Indonesia terkait sovereign credit rating. Secara geopolitik, risiko Filipina lebih rendah berkat aliansinya dengan AS. Sebagai negara sekutu non-NATO, Filipina seperti mendapat garansi dari berbagai ancaman dan risiko geopolitik di kawasan maupun global. Apalagi, Filipina juga menjadi tuan rumah bagi sejumlah pangkalan militer luar negeri AS.
Uk Heo dan Min Ye (2017) menyebutkan, aliansi militer dengan AS memberikan keuntungan dan kerugian tersendiri. Bagi negara berkembang, menyediakan wilayah bagi pangkalan militer AS dapat meningkatkan investasi, perdagangan, hingga pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Berdasarkan data dari 1960 hingga 2014, setiap penambahan 100 personel pasukan AS meningkatkan investasi asing dan domestik sebesar US$ 6,75 juta, perdagangan US$ 18,5 juta, dan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,006%. Bayangkan jika personel yang ditempatkan berjumlah puluhan ribu seperti di negara-negara sekutu utama AS. Hanya saja, hadirnya pangkalan militer AS menurunkan tingkat demokratisasi atau polity score sebesar 0,0087 poin.
Pertanyaannya kemudian, apakah aliansi dengan AS dapat menghalangi investasi dari negara yang dipandang sebagai rival seperti China?
Menurut data biro statistik Filipina, pada 2019, China menjadi sumber investasi terbesar kedua (22,7%) di bawah Singapura (45,2%) dan di atas AS (3,0%) yang menempati posisi keenam. Pada 2017, mayoritas investasi China di kawasan ASEAN mendarat di Singapura (34%) dan Malaysia (19,01%) yang notebene adalah sekutu tidak langsung AS melalui aliansi Five Power Defense Arrangements (FPDA) bersama Inggris, Australia, dan Selandia Baru.
Tanggung jawab kolektif
Relatif rendahnya credit rating Indonesia memang tidak berpengaruh besar pada kemampuan pemerintah dalam menarik investasi asing untuk pembiayaan pembangunan. Secara volume, foreign direct investment (FDI) Indonesia bahkan jauh mengungguli Filipina. Namun dalam konteks pendalaman pasar keuangan, rendahnya sovereign credit rating menjadi beban yang signifikan bagi sektor swasta dan perekonomian nasional secara luas.
Rendahnya rating obligasi pemerintah dan strategi pembiayaan fiskal yang semakin bergantung pada pasar keuangan menciptakan efek crowding out yang semakin kronis. Tingginya imbal hasil SBN membuat obligasi korporasi sulit bersaing di pasar modal. Begitu pula, permintaan kredit menjadi menurun akibat suku bunga yang tinggi. Hal itu diperparah dengan meningkatnya tren perbankan nasional menempatkan dana pihak ketiga pada instrumen SBN yang semakin menekan angka pertumbuhan kredit. Alhasil, investasi domestik dan pembentukan modal tetap bruto (PMTB) semakin rendah sehingga Indonesia mengalami deindustrialisasi prematur dalam dua dekade terakhir.
Tidak berlanjutnya skema burden sharing berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) jilid II antara Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (BI) pada 2021 berpotensi memunculkan kembali persoalan crowding out di pasar keuangan. Kehadiran BI sebagai stand by buyer sejauh ini tidak berdampak signifikan pada penurunan yield SBN pada mekanisme pasar. Hal ini menjadi tantangan yang tidak mudah bagi pemerintah dalam mengelola likuiditas di pasar keuangan dan sektor riil sekaligus. Jangan sampai, strategi pendalaman pasar keuangan justru menghambat kegiatan sektor riil dalam pemulihan ekonomi nasional.
Eskalasi tensi persaingan AS-China dan turunannya juga semakin meningkatkan ketidakpastian geopolitik baik di kawasan maupun global. Hal ini memberikan tantangan ekstra bagi pemerintah dalam mengelola pasar keuangan sebagai sumber pembiayaan serta dalam upaya menarik realisasi FDI. Faktor geopolitik ini tentu berada di luar jangkauan wewenang menteri keuangan sebagai bendahara negara. Dalam hal ini, masyarakat barangkali tidak perlu berekspektasi berlebihan pada kerja sama antara Sri Mulyani dan Janet Yellen. Karena, pertumbuhan ekonomi memang pada dasarnya tidak ditentukan oleh menteri keuangan atau jajaran kabinet di bidang perekonomian semata, melainkan merupakan karya dan tanggung jawab kolektif seluruh elemen bangsa.
Begitu pula sebaliknya, tantangan geopolitik sejatinya bukan sekadar tanggung jawab unsur militer atau menteri pertahanan semata. Solusinya juga tidak harus dan tidak terbatas pada pembentukan aliansi pertahanan bersama negara adikuasa. Terdapat berbagai solusi alternatif yang membutuhkan perhatian dan kerja sama yang erat antarlembaga negara. Doktrin politik luar negeri bebas aktif seyogyanya tidak menjadi penghalang bagi pemerintah dalam mengorkestrasi kepentingan nasional di kancah global.