Fathan Sembiring merupakan alumnus Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Padjadjaran, program Bahasa Mandarin Peking University untuk program Bahasa Mandarin, serta program MBA University of International Business and Economics Beijing. Saat ini Fathan Sembiring beraktivitas sebagai Co-Founder dari Gentala Institute, sebuah lembaga konsultasi bisnis dan manajemen yang juga memfokuskan pada peningkatan kualitas investasi dan kinerja perusahaan-perusahaan asal Tiongkok yang berinvestasi di Indonesia. Selain itu Fathan Sembiring juga merupakan tutor Bahasa Mandarin serta aktif dalam menulis baik itu di laman blog pribadi maupun kanal daring lainnya.
Profil SelengkapnyaRepelita ke-14 China & Memori GBHN Era Orde Baru Soeharto

Pada tanggal 4 Maret 2021 yang lalu, pemerintah Republik Rakyat China (RRC) telah mengadakan perhelatan akbar tahunan yang biasa disebut lianghui dalam Bahasa Mandarin. Sesi ini tidak memiliki memiliki posisi tertinggi di dalam struktur legislatif Negeri Tirai Bambu, namun juga memiliki kekhidmatan tersendiri.
Sebagai gambaran, lianghui terbagi menjadi sesi CPPCC dan NPC. Memang, dari segi penamaan, tidak ada penamaan yang bisa memiliki singkatan yang lebih baik-lebih mudah dieja.
CPPCC atau Chinese People's Political Consultative Conference terdiri dari sekitar 2.000 anggota yang berasal dari "orang-orang pilihan" yang dianggap mewakili rakyat baik itu dalam aspek profesi, industri, suku-bangsa, sampai juga bintang film. Yes, Jackie Chan dan sineas lain pernah hadir di CPPCC pada tahun 2015 lalu.
Paling tidak ada sekitar 10 Komite di dalam CPPCC. Ibaratnya seperti sebuah diskusi grup terarah (FGD) maha besar, forum membahas pelbagai topik-topik terkini dan menyusun prioritas yang akan disampaikan, yang mana nanti akan diadakan pleno. Kira-kira seperti itu. Fungsi dari FGD besar ini lebih memerankan pemberian saran atau masukan, namun tidak ada keputusan yang dibuat dalam CPPCC.
Sedangkan NPC atau National People's Congress merupakan sesi pleno yang lebih kuat. Ini karena dari segi peserta, ibaratnya para senator beserta pimpinan elit tinggi Partai Komunis China (PKC), semua ada di situ untuk memutuskan hal-hal yang perlu diambil, termasuk input yang datang dari pleno CPPCC tadi.
Penulis teringat masa ketika belajar dan bekerja di Beijing beberapa tahun lalu. Saban selesai Imlek dan Cap Go Meh, suasana Kota Beijing bisa dibilang menjadi sangat 'serius'.
Hal itu ditandai dengan persiapan-persiapan yang dilakukan untuk pengamanan lianghui ini. Semua haru-biru perasaan merayakan Imlek dan Cap Go Meh dengan keluarga harus seketika di-shift dengan sikap kesiagaan tinggi. Personel keamanan dari kepolisian, SWAT, polisi militer, dan aparat pendukung lainnya berjaga-jaga di titik-titik keramaian dan penting di Beijing maupun di kota-kota utama lainnya.
Namun, untuk kami yang juga merupakan alumnus Beijing, ihwal ketatnya penjagaan dan kondusivitas kota, bukan sesuatu yang baru. Pemindaian via X-ray merupakan hal biasa yang bisa kita temui di setiap stasiun MRT atau kereta bawah tanah di seluruh penjuru China. Namun, ketika datangnya momen persiapan lianghui, terkadang membuat kita yang tidak biasa akan menjadi paranoid.
Mungkin tidak sedikit khalayak di Indonesia yang menganggap China seperti layaknya Korea Utara yang kepemimpinan politik dan pemerintahannya monarkis, tertutup, kaku, rigid, dan lain sebagainya. Namun, lianghui ini sebetulnya bisa dibilang sebagai bagian dari "pembuktian" bahwa China masih memiliki elemen "demokratis".
Repelita edisi ke-14 dan kesiapan Indonesia
Repelita China per tahun ini masuk ke repelita yang ke-14, yaitu periode tahun 2021-2025. China juga telah membahas perencanaan pembangunan ke depan hingga 2035.
Uni Soviet sendiri pernah menerapkan semacam repelita ini dan China sebetulnya meniru apa yang dilakukan oleh Uni Soviet. Namun, Uni Soviet hanya bertahan di pepelita ke-4 dan Uni Soviet pun runtuh dari dalam.
Di sisi lain, Indonesia di bawah orkestrasi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan pada periode Orde Baru Widjojo Nitisastro pernah memiliki repelita. Mungkin generasi milenial akhir atau generasi Z agaknya sudah tidak ngeh dengan istilah repelita yang dulu digadang-gadang sebagai gerbang pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Namun, dari ulasan berbagai sumber dan para ahli disebutkan dengan jatuhnya Orde Baru serta default-nya utang luar negeri Indonesia yang ditengarai gara-gara krismon pada waktu itu, membuat repelita versi Orba kolaps dan tidak ada penerapannya setelah itu.
Ada istilah yang dikenal dengan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), yang kemudian digantikan dengan RPJP atau Rencana Pembangunan Jangka Panjang. Namun, kembali kepada kenyataan penerapan entah itu Repelita, GBHN, maupun RPJP, seakan tidak memiliki dampak signifikan terhadap arah pembangunan Indonesia secara ajeg.
Membandingkan dengan apa yang dilakukan oleh China, lianghui itu merupakan dua sesi pleno yang memiliki posisi tertinggi dan memiliki konsekuensi konstitusional apabila tidak menjalankannya. Pada poin ini banyak khalayak, khususnya di Indonesia, yang salah kaprah.
Apabila kita mengunjungi China, tentu kita tidak akan merasakan perubahan apa-apa dari kebijakan-kebijakan yang ada. Impresinya hanya bagus, ramai, padat, WC jorok. Tidak jauh-jauh dari itu.
Namun sebagai diaspora yang pernah tinggal 5 tahun di China, saya bisa melihat dengan mata kepala sendiri bahwa repelita China per 5 tahun itu betul-betul dijalankan. Memang hal ini akan menimbulkan perdebatan terutama ketika kita tidak pernah mengunjungi China secara langsung dalam waktu tinggal yang lama.
Dalam kurun waktu tahun 2011-2016 akhir, saya tinggal di Beijing dan Tianjin, sebagai contoh riil, bahwa pembangunan kereta bawah tanah di Beijing paling tidak bertambah dua line per tahun. Artinya di Beijing saja ada 10 line yang bertambah semasa kami tinggal di sana. Terakhir ketika mengunjungi Beijing pada akhir 2018, ternyata sudah bertambah 9 line lagi. Dengan total saat ini sudah ada 27 Line kereta bawah tanah dan itu hanya di Kota Beijing saja.
Betul, kalau kita membicarakan soal pembangunan dan pertumbuhan suatu negara, kita tidak bisa membahas terlalu mikro. Namun, apa yang coba saya contohkan di atas tadi adalah perihal pengejawantahan bagaimana paling tidak repelita China itu dilaksanakan dan dirasakan. Tidak hanya bagi warga negara mereka, namun juga misalnya diaspora Indonesia, pekerja non-China, pelajar asing, dan lain sebagainya.
![]() |
Secara ekonomi dan bisnis, Repelita ke-14 China ini mengadopsi beberapa poin yang menjadi krusial. Pandemi Covid-19 mengakibatkan banyak negara, tidak terkecuali China, yang hampir masuk ke jurang resesi. Namun, pada kuartal IV 2020, seperti yang diulas oleh WSJ, China berhasil bangkit dengan mencapai pertumbuhan PDB di angka 6,5%. Kendati demikian, China sendiri tidak dapat terlalu dini bergembira dikarenakan potensi-potensi strain baru dari Covid-19 ini masih mengancam.
Oleh karena itu, seperti pada repelita yang ke-11, China telah menargetkan persentase dari sumbangsih sektor jasa terhadap PDB meningkat di angka 43% pada tahun 2010. Artinya, paling tidak sudah sejak tahun 2006 lalu, China memutuskan untuk adanya shift dari negara yang memiliki tumpuan terhadap produksi manufaktur menjadi service-based.
Merujuk pada laman Xinhua, ada beberapa agenda seperti internasionalisasi Renminbi (nama lain Yuan), meningkatkan keterbukaan ekonomi, modernisasi industri rantai pasok, memajukan konstruksi infrastruktur, hingga peningkatan industri biotek, energi baru, teknologi antariksa, kendaraan energi terbarukan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan inovasi tinggi.
Biasanya turunan dari kebijakan-kebijakan ini adalah insentif pajak bagi para pengusaha yang menjalankan amanat repelita, insentif pada riset dan pengembangan (R&D) serta kemudahan akses rantai pasok yang lebih baik. Dengan adanya paling tidak 3 poin tersebut, sudah barang tentu membuat para inovator muda, baik itu dalam bentuk perusahaan rintisan maupun karya-karya lain, untuk bisa terpacu meningkatkan kualitas produk mereka baik itu dalam bentuk perangkat keras maupun perangkat lunak.
Repelita ke-14 China kali ini juga masih berfokus pada ekstensifikasi skema Satu Sabuk Satu Jalan (One Belt One Road), Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), Comprehensive Agreement Investment (CAI) dengan Uni Eropa, hingga perjanjian komprehensif Trans Pasifik dengan AS yang terhimpun pada CPTPP.
Melihat urgensi dari pentingnya repelita ke-14 ini, sangatlah penting bagi khalayak untuk terus menyimak terobosan-terobosan yang akan dilakukan oleh China. Repelita, yang memiliki posisi tinggi dan konsekuensi yang berat bagi para pemimpin elite, tidak bisa tidak harus mereka laksanakan apabila sudah diputuskan pada 2 sesi lianghui tadi. Dan ingat, konten yang termaktub pada kelanjutan repelita ini bukanlah konten baru, tetapi improvisasi dari konten repelita sebelum-sebelumnya.
Sebagai negara yang juga sedang menjadi primadona sebagai tujuan investasi asal China, 'bola panas' sekarang kembali ke Indonesia. Apakah siap dengan konsekuensi penerapan Repelita ke-14 China atau tidak? Kalau tidak siap, berarti Indonesia kembali hanya bisa menjadi negara 'penonton' semata.