RI Beralih Total ke Kendaraan Listrik: Berkah atau Beban Fiskal?

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah melalui beberapa tahapan partisipasi stakeholder dan masukan pakar hukum melalui kajian akademisi, Peraturan BPH Migas Nomor 9 tahun 2020 tentang penyediaan cadangan operasional BBM ditetapkan pada tanggal 28 Desember 2020 dan diundangkan pada tanggal 30 Desember 2020.
Peraturan BPH ini sejatinya adalah melaksanakan amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Presiden Joko Widodo yang tertuang dalam Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, sehingga cakupan hari cadangan operasional bahan bakar minyak (BBM) yang menjadi target RPJMN 2020-2024 akhirnya mempunyai acuan dan standar yang terukur.
Selama ini, Indonesia belum memiliki cadangan bahan bakar minyak baik cadangan BBM Nasional maupun cadangan operasional BBM. Sementara cadangan BBM yang didengungkan selama ini sebatas cadangan operasional badan usaha seperti dimiliki PT Pertamina (Persero) yang diklaim sebagai cadangan nasional.
Oleh karena itu, BPH Migas menetapkan pengaturan penyediaan cadangan operasional BBM di dalam peraturan BPH Migas tentang penyediaan cadangan operasional BBM, beleid penyediaan cadangan operasional BBM ini sangat erat kaitannya dengan dua tugas yang diemban BPH Migas dalam Pasal 46 ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yaitu mengatur dan menetapkan ketersediaan dan distribusi BBM dan mengatur dan menetapkan cadangan Bahan Bakar Minyak nasional, selain itu, pengaturan penyediaan cadangan operasional juga merupakan kolaborasi dari pengaturan dalam UU Migas dan UU Energi, dimana penyediaan cadangan operasional merupakan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional atau yang sering disebut PP KEN yang merupakan peraturan turunan dari Undang Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi serta cadangan operasional ini merupakan yang dimaksud dengan cadangan operasional minimum yang harus dipenuhi dan ditanggulangi oleh Badan Usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 41 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan dan Penanggulangan Krisis Energi dan/atau Darurat Energi, khususnya pada sektor sumber daya minyak bumi dalam hal ini BBM. Salah satu nilai positif dari Peraturan BPH Migas ini adalah harmonisasinya materi pengaturan dalam UU Energi dan UU Migas, sehingga tidak munculnya ego antara energi dengan minyak bumi dalam hal ini BBM.
Materi yang diatur dalam Peraturan BPH Migas ini diantaranya sebagai berikut :
1. Cadangan Operasional BBM adalah jumlah BBM yang menjadi bagian dari kegiatan operasional Badan Usaha
2. Penyediaan Cadangan Operasional BBM adalah suatu kegiatan pemenuhan cadangan BBM yang disimpan oleh Pemegang Izin Usaha dalam cakupan kurun waktu hari tertentu pada Fasilitas Penyimpanan.
3. Pemegang Izin Usaha adalah Badan Usaha yang memiliki izin usaha niaga minyak dan gas bumi pada kegiatan niaga umum BBM.
4. Fasilitas Penyimpanan Cadangan Operasional BBM yang selanjutnya disebut Fasilitas Penyimpanan adalah alat penyimpanan yang digunakan untuk kegiatan penerimaan, pengumpulan, penampungan, dan pengeluaran BBM pada terminal BBM, depot dan/atau tempat penyimpanan lainnya yang dibangun dan/atau dikuasai/disewa/dikerjasamakan oleh Pemegang Izin Usaha.
5. Pemegang izin usaha wajib menyediakan cadangan operasional BBM secara berkesinambungan pada jaringan distribusi niaga di dalam negeri selama 23 hari dengan tahapan sebagai berikut:
a. tahun 2020 sampai dengan tahun 2021, Pemegang Izin Usaha wajib menyediakan Cadangan Operasional BBM dengan cakupan waktu paling singkat selama 11 (sebelas) hari;
b. tahun 2022 sampai dengan tahun 2023, Pemegang Izin Usaha wajib menyediakan Cadangan Operasional BBM dengan cakupan waktu paling singkat selama 17 (tujuh belas) hari; dan
c. tahun 2024 dan seterusnya, Pemegang Izin Usaha wajib menyediakan Cadangan Operasional BBM dengan cakupan waktu paling singkat selama 23 (dua puluh tiga) hari.
6. Adapun Jenis BBM pada penyediaan cadangan niaga umum terdiri dari avgas (aviation gasoline), avtur (aviation turbine), bensin (gasoline), minyak solar (gas oil), minyak tanah (kerosene), minyak diesel (diesel oil), dan minyak bakar (fuel oil). Jenis BBM tersebut wajib disediakan oleh Pemegang Izin Usaha sebagaimana tercantum pada izin usaha yang dimilikinya.
7. Penyediaan dihitung dari volume penyaluran harian rata-rata pada tahun sebelumnya. Dalam hal pemegang izin usaha baru memulai kegiatan niaga umum BBM, perhitungan penyaluran harian rata-rata menggunakan perencanaan volume penyaluran harian pada tahun berjalan.
8. Pemegang Izin Usaha wajib mendigitalisasi seluruh Fasilitas Penyimpanan untuk penyampaian data dan informasi teraktual. Fasilitas Penyimpanan yang telah terdigitalisasi, terintegrasi dengan sistem informasi pada Badan Pengatur.
9. Pemegang Izin Usaha wajib menyampaikan laporan kepada Badan Pengatur mengenai pelaksanaan Penyediaan Cadangan Operasional BBM beserta data pendukung. Laporan pelaksanaan Penyediaan Cadangan Operasional BBM disampaikan oleh Pemegang Izin Usaha pada setiap Fasilitas Penyimpanan. Pemegang Izin Usaha bertanggung jawab terhadap kebenaran dan keakuratan laporan pelaksanaan Penyediaan Cadangan Operasional BBM yang telah disampaikan kepada Badan Pengatur.
10. Badan Pengatur melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan Penyediaan Cadangan Operasional BBM melalui kegiatan:
* a. monitoring Penyediaan Cadangan Operasional BBM pada setiap Fasilitas Penyimpanan Pemegang Izin Usaha;
* b. verifikasi laporan pelaksanaan Penyediaan Cadangan Operasional BBM; dan
* c. uji petik Penyediaan Cadangan Operasional BBM dan pendistribusiannya.
11. Pemegang Izin Usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan penyediaan cadangan operasional, dikenai sanksi administratif.
Terdapat 2 materi yang menarik dari pengaturan penyedaan cadangan operasional BBM tersebut yaitu telah tersedianya pengaturan perhitungan penyediaan cadangan operasional BBM yang didapatkan dari dari volume penyaluran harian rata-rata pada tahun sebelumnya atau perencanaan volume penyaluran harian pada tahun berjalan.
Dengan demikian, sudah terdapat acuan untuk menentukan cakupan hari yang harus disediakan oleh badan usaha untuk menentukan penyediaan cadangan operasional. Sedangkan materi pengaturan menarik yang kedua adalah Pemegang Izin Usaha wajib mendigitalisasi seluruh Fasilitas Penyimpanan untuk penyampaian data dan informasi teraktual. Fasilitas Penyimpanan yang telah terdigitalisasi, terintegrasi dengan sistem informasi pada Badan Pengatur. Dengan demikian, maka Pemerintah dapat mengetahui kondisi stok volume BBM pada setiap fasilitas penyimpanan.
Sehingga dapat diantisipasi bila terjadi kondisi menipisnya stok volume BBM pada suatu fasilitas penyimpanan untuk mencegah potensi terjadinya kelangkaan ketersediaan BBM pada suatu wilayah.
Lebih jauh daripada itu, dengan diundangkan Peraturan BPH Migas ini, Indonesia akhirnya mempunyai implementasi pengaturan cadangan BBM di Indonesia, bila merujuk UU Migas, tentu sudah 20 tahun lamanya kita tidak mempunyai beleid implementasi penyediaan cadangan BBM.
Walaupun beleid penyediaan cadangan operasional BBM ini bukanlah penetapan yang dimaksud dengan cadangan BBM Nasional, paling tidak arah menuju pembuatan peraturan implementasi cadangan BBM Nasional dapat segera dimulai. Kewajiban badan usaha telah ditetapkan dan diundangkan, maka sudah saatnya kewajiban negara yang dimaksud dalam pengaturan cadangan BBM Nasional juga dapat diwujudkan sehingga BBM dapat mendukung ketahanan bidang energi pada sektor sumber daya minyak bumi di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tantangan terbesar BPH Migas saat ini adalah, bagaimana BPH Migas dapat menerapkan Peraturan BPH Migas tersebut secara konsisten dengan berbagai kendala yang mungkin akan dihadapi.