Peluang dan Tantangan Membangun Ekonomi RI dari Laut ke Darat

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Selama tahun lalu, kondisi keamanan maritim, terutama di kawasan Asia, rupanya terbilang rawan dengan berbagai tindak kejahatan maritim. Karena kita tidak aware, kerawanan ini berlalu begitu saja dari diskursus publik.
Padahal, setiap gangguan keamanan di laut akan menyebabkan tingginya biaya asuransi yang dikenakan terhadap kapal dan barang yang diangkutnya oleh perusahaan asuransi. Ujung-ujungnya, konsumen akan membayar kenaikan asuransi ini dengan harga jual barang yang mahal di pasar.
Sebenarnya, isu keamanan maritim begitu dekat dengan kehidupan.
Selain sebagai kondisi faktual keamanan maritim, juga merupakan sebuah kajian interdisipliner yang mencakup berbagai cabang ilmu seperti Hubungan Internasional, Hukum Internasional, Hukum Laut International dan lainnya.
Kajian ini sudah lumayan lama ada dalam khazanah ilmiah dan menjadi perhatian para ahli strategi setelah runtuhnya World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat pada 2001.
Bila dunia penerbangan yang relatif lebih ketat dan tinggi standar keamanannya bisa ditembus oleh penjahat, bagaimana lagi dunia maritim yang sangat luas. Begitulah kira-kira ketertarikan mereka saya simpulkan.
Di awal tahun 2021 ini, ada pemberitaan bahwa pihak kepolisian mengamankan 25 ton potassium chlorate. Jumlah ini terbilang fantastis. Dan, bila diletakkan dalam konteks waktu penemuannya di permulaan tahun ini, saya lantas berpikiran bahwa sepertinya kondisi keamanan maritim selama setahun ke depan akan menampilkan potret yang buram seperti halnya pada tahun 2020.
Direktur Polisi Perairan (Polair) Polri Brigjen M. Yassin Kosasih mengungkapkan, bahan baku untuk peledak sebanyak itu bakal dipergunakan untuk bom ikan oleh pelaku yang ditangkap di lokasi penemuan, sebuah gudang di Margomulyo, Surabaya, Jawa Timur.
Kasus ini merupakan pengembangan kasus sebelumnya yang berhasil diungkap pada Desember 2020 lalu. Pada penemuan pertama itu, jumlah potassium chlorate yang ditangkap berjumlah 16 ton. Ditambahkan Yassin, ada indikasi barang labil ini akan dijual kepada konsumen.
Parahnya, penjualan itu didahului dengan penelusuran latar belakang pembeli, dan mengabaikan aspek keselamatan dan kesehatan dengan tujuan demi mendapatkan keuntungan, lanjut Yassin.
Sinyalemen inilah yang membuat saya mengatakan bahwa potret keamanan maritim 2021 buram. Dengan begitu mudahnya barang seperti itu diperjualbelikan di masyarakat jelas akan menciptakan kerawanan. Bukan hanya di laut tempat bom ikan akan dipergunakan tetapi juga di tempat lainnya di dalam masyarakat kita.
Tanpa adanya temuan 25 ton bahan baku bom ikan sebetulnya laut sudah menyimpan potensi kerawanan. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa wilayah ini begitu luasnya.
Ingat, dua-pertiga bumi yang kita huni ini merupakan laut, sehingga, seberapa pun kuatnya kemampuan manusia mengamankan laut tetap saja ada bagian yang tidak bisa terpantau sama sekali.
Dari tempat-tempat yang tak bertuan inilah biasanya ancaman keamanan maritim muncul. Pelaku kejahatan human trafficking, smuggling, piracy dan lain sebagainya memanfaatkan celah ini dalam menjalankan aksinya.
Kurang kuat apa matra laut Negeri Paman Sam (AL dan Coast Guard-nya), tetap saja berton-ton zat adiktif mengalir ke daratannya melalui laut setiap tahunnya.
Tentu ada banyak pengiriman barang terkutuk itu yang berhasil digagalkan oleh otoritas keamanan maritim AS. Sayangnya, lebih banyak lagi penyelundupan narkoba melalui laut yang tak terdeteksi oleh mereka. Kata Rohan Gunaratna, dosen RSIS-NTU Singapura, situasi seperti itu dikarenakan "The maritime domain is the most unregulated of spaces and the least policed" (Siswanto dan Alban, 2011).
Tantangan Indonesia
Tantangan yang sama juga dihadapi oleh Indonesia. Malah bisa jadi lebih berat dibanding AS atau negara manapun.
Laut kita luasnya dua-pertiga dari luas wilayah nasional. Sementara, kemampuan otoritas keamanan maritim amat terbatas.
Dengan adanya pandemi Covid-19 di mana dari sisi anggaran pemerintah menjalankan refocusing anggaran, besar dugaan saya kemampuan aparat keamanan maritim nasional yang serba terbatas tadi semakin merosot akibat kebijakan refocusing.
Itu artinya, kegiatan patroli maritim rutin oleh instansi penegak hukum di laut akan berkurang karena bahan bakar minyak (BBM) untuk kapal patroli tentu ikut menyusut pula dengan langkah refocusing.
Padahal, tanpa kebijakan tersebut sebetulnya patroli laut sudah lama dijalankan dengan keadaan pas-pasan. Selain anggaran yang terbatas, kapal-kapal patroli yang dimiliki oleh mereka juga tidak semuanya fit. Baik karena usia yang tidak lagi muda maupun perawatannya yang bisa dibilang seadanya. Kedua kendala ini ujung-ujung disebabkan oleh anggaran lagi.
Kapal tua tetap dioperasikan soalnya mau beli baru anggaran tidak ada. Konon katanya kapal tua tidak jadi masalah sejauh dirawat dengan baik. Apa hendak dikata, anggaran perawatan pun cekak. Alhasil, laut kita yang begitu luas, menyitir Rohan Gunaratna di muka "the most unregulated of spaces and the least policed".
Lagi, fakta inilah yang membuat saya menyimpulkan bahwa potret keamanan maritim buram. Dan, ini berlaku sepanjang tahun, bukan hanya pada awal tahun.
Menariknya, di tengah kondisi pas-pasan yang ada tetap saja ada prestasi yang ditorehkan oleh aparat keamanan maritim nasional.
Salah satunya adalah pengungkapan 25 ton bahan bom ikan potassium chlorate oleh Polair di atas.
Sebelumnya, di tahun lalu, lembaga ini juga sudah berhasil memetakan sepuluh hotspot yang mendapat perhatian khusus dari pimpinan Polair.
Di lokasi-lokasi ini sering terjadi pencurian di atas kapal. Hotspot dimaksud adalah Belawan, Dumai, Pulau Nipah, Tanjung Priok, Gresik, Taboneo/Banjarmasin, Muara Berau/Samarinda, Tanjung Butan/Kepulauan Riau, Balikpapan dan Tanjung Berakit/Kepulauan Riau.
Perlu dicatat, wilayah perairan rawan tersebut ditetapkan oleh Polair dengan memanfaatkan informasi yang disampaikan oleh Piracy Reporting Center (PRC) yang bermarkas di Kuala Lumpur, Malaysia.
Bila selama ini instansi keamanan maritim di Indonesia alergi terhadap lembaga milik International Maritime Bureau/IMB, Polair malah bekerjasama dengannya.
Untuk mengamankan laut yang begitu luas memang tidak ada satu negara pun yang mampu melakukannya sendirian. Kerja sama menjadi mutlak adanya. Apa yang telah dilakukan Polri sebuah langkah maju yang patut diapresiasi.