Saat Pebisnis Pelayaran RI Anteng-anteng Saja di Omnibus Law

Siswanto Rusdi, CNBC Indonesia
23 October 2020 15:49
Siswanto Rusdi
Siswanto Rusdi
Siswanto Rusdi adalah pendiri dan Direktur The National Maritime Institute (Namarin), lembaga pengkajian yang fokus di bidang pelayaran, pelabuhan, MET (Maritime Education and Training (MET), dan keamanan maritim. Ia berlatar belakang pendidikan pascasarja.. Selengkapnya
The 75-foot vessel
Foto: Ilustrasi (Mike Eliason/Santa Barbara County Fire/Handout via REUTERS)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Sekitar setahun yang lalu, saya diundang oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI untuk memberikan pandangan atas rencana lembaga para senator tersebut merevisi UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Mereka menilai aturan itu perlu diubah karena beberapa alasan.

Pertama, penanganan kecelakaan laut dinilai belum maksimal.

Kedua, sistem pelayaran di laut masih kurang maksimal yang ditandai dengan lebih mahalnya ongkos pengiriman barang antardaerah dibanding biaya logistik dari luar negeri ke Indonesia.

Dan, ketiga, eksistensi pelayaran belum berdampak signifikan pada pendapatan daerah.

Selain saya dimintai pula pemikiran tiga narasumber lainnya: satu akademisi dari Universitas Indonesia, seorang ekonom dari sebuah perusahaan pelayaran besar nasional, satunya lagi aktivis Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI).

Penulis mengamini tiga permasalahan yang disoroti oleh DPD RI di atas dan memberikan catatan-catatan yang memperkuat temuan mereka.

Alih-alih merevisi UU Pelayaran 2008, saya mengusulkan kepada para senator agar menyusun dan mengusulkan undang-undang baru untuk menuntaskan kerisauan yang ada.

Presiden Ingin Pelabuhan Patimban Jadi Hub Besar untuk Ekspor Otomotif. /Laily Rachev - Biro Pers Sekretariat PresidenFoto: Presiden Ingin Pelabuhan Patimban Jadi Hub Besar untuk Ekspor Otomotif. /Laily Rachev - Biro Pers Sekretariat Presiden
Presiden Ingin Pelabuhan Patimban Jadi Hub Besar untuk Ekspor Otomotif. /Laily Rachev - Biro Pers Sekretariat Presiden

Merespons rencana DPD RI, pengusaha pelayaran yang tergabung dalam Indonesian National Shipowners' Association (INSA) mengeluarkan jurus andalannya.

Organisasi ini menolaknya. Perubahan itu, menurut INSA, membuka celah bagi pelonggaran Asas Cabotage yang sudah berjalan selama ini. Asas Cabotage adalah kewajiban kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak kapal (ABK) Indonesia.

INSA berhak khawatir karena praktik ini diinisiasi dan diperjuangkan habis-habisan oleh mereka sejak lama.

Lalu, muncullah Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.

Seperti yang sudah diberitakan oleh media, aturan ini merevisi puluhan undang-undang, salah satunya UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Menariknya, kali ini sikap INSA berbeda. Mereka mendukungnya.

Tentu saja dukungan diembeli dengan narasi standar "selama kepentingan sektor pelayaran dalam negeri tetap berdaulat di wilayah NKRI".

Barangkali, dukungan ini diberikan karena Ketua Umum INSA tiga periode itu, Carmelita Hartoto, merupakan salah satu dari 127 anggota Satgas yang menyiapkan naskah RUU.

Kini, RUU Cipta Kerja sudah diketok oleh Parlemen menjadi undang-undang pada 5 Oktober silam.

Di dalamnya terdapat 60 lebih pasal UU Pelayaran 2008 yang 'ditertib'kan.

Pasal sebanyak itu ada yang diubah, ditambah dan dihapus.

Pasal 14

Saya ingin memberikan catatan untuk Pasal 14 yang oleh UU Omnibus Law (nama beken UU Cipta Kerja dan sekaligus menggambarkan sifatnya yang sapu jagat) disisipkan pasal tambahan.

Awalnya pasal ini berbunyi, "Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan laut khusus diatur dengan Peraturan Pemerintah".

Setelah 'kerasukan' semangat cipta kerja, pasal dimaksud berbunyi "Sepanjang kapal berbendera Indonesia belum tersedia, maka kapal asing dapat melakukan kegiatan khusus di wilayah perairan Indonesia. Namun, kegiatan khusus tersebut tidak termasuk mengangkut penumpang dan atau barang".

Selanjutnya, "Ketentuan mengenai kegiatan khusus yang dilakukan oleh kapal asing akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP)".

Tanggapan eksekutif perusahaan pelayaran yang ditanyai media terhadap perubahan aturan di atas fine-fine saja.

Setali tiga uang dengan ketua umum organisasi payung mereka. Sikap galak yang selama ini menjadi ciri khusus INSA manakala ada keterlibatan asing (kendati baru sebatas wacana) sirna.

Pelayaran dalam negeri tenang-tenang saja karena kapal khusus yang akan diizinkan beroperasi itu adalah jenis armada offshore yang tidak banyak populasinya, jika tidak hendak disebut tidak ada sama sekali, di republik ini.

Kapal-kapal tipe begituan sejatinya sudah mondar-mandir di perairan Indonesia selama ini.

Praktik ini diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2011 tentang Angkutan di Perairan dan Peraturan Menteri Perhubungan atau Permenhub tentang Izin Penggunaan Kapal Asing/IPKA.

Pertanyaannya sekarang, apakah kapal asing yang bakal masuk ke Indonesia sejurus pemberlakuan UU Omnibus Law hanya tipe offshore?

Soalnya, selain jenis ini negeri kita juga kekurangan/tidak ada kapal jenis lain - bulker, peti kemas, dan lainnya - terutama dengan tonase atau ukuran besar.

Apakah kapal beginian akan diberi izin pula pengoperasiannya di dalam negeri nantinya?

Ada banyak pertanyaan lain yang bisa diajukan tetapi dicukupkan sampai sekian saja.

Itu berarti, terbuka peluang lebar untuk memperjualkan izin pengoperasian kapal asing dengan amandemen Pasal 14 UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Apalagi, proses perizinannya langsung dipegang oleh pemerintah pusat sehingga akuntabilitas dapat diragukan.

Open registry

Memang ada komitmen untuk melibatkan stakeholder dalam proses tadi tetapi who guarantees akan berjalan seperti yang direncanakan?

Untuk menghindari kemungkinan praktik kelam itu, ada baiknya keinginan untuk memasukkan kapal asing ke dalam negeri dibuka saja sepenuhnya.

Caranya dengan membuka register pendaftaran kapal nasional menjadi terbuka (open registry).

Open registry adalah kebijakan negara bendera (flag stateyangmemberikan kesempatan kepada pemilik kapal dari seluruh dunia, tidak terbatas hanya kepada warga negara bersangkutan, untuk memakai benderanya.

Biasanya kebijakan ini diikuti dengan menyediakan berbagai perlakuan khusus atau kemudahan.

Tetapi, jika Indonesia ingin menerapkanopen registry, kemudahan yang diberikan harus terbatas pada bidang pajak, kepastian hukum dan lainnya.

Sebetulnya banyak negara yang menerapkan kebijakan tersebut untuk meningkatkan jumlah armadanya tanpa perlu mengorbankan aspek keselamatan dan kondisi kerja pelaut.

Indonesia perlu segera menata ulang aturan perpajakan dan kepastian hukumnya agar para pemilik kapal mau mendaftarkan kebangsaan kapalnya dengan bendera Indonesia.

Pilihan menerapkanopen registry perlu dipikirkan secara serius oleh pemerintah.

Apalagi, Presiden Joko Widodo berulang kali mengatakan akan mendorong keterlibatan asing dalam mendorong ekonomi nasional.

Apa pun risikonya.

Pastikan akan ada perdebatan seputar penerapan registrasi terbuka ini.

Sesuatu yang lumrah.

Hanya saja, akan lebih baik jika perdebatan itu juga melibatkan semua pihak mengingat wacana open registry amat sangat strategis untuk didiskusikan hanya oleh Kemenhub, pelaku industri pelayaran, pengamat dan pelaut. Ini karena menyangkut salah satu simbol negara, yakni bendera nasional.

Kita membutuhkan keputusan bersama apakah Sang Merah Putih boleh dikibarkan di atas kapal yang dimiliki oleh orang asing atau tidak.

Bentuk aurannya bisa bermacam-macam: Instruksi Presiden atau Keputusan Presiden atau lainnya.

Open registry? Kenapa tidak.


(tas/tas)

Tags

Related Opinion
Recommendation