Blunder Jouska: Potret Kegagalan Industri Manajer Investasi


Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Satgas Waspada Investasi (SWI) pada Jumat (24/7/2020) malam mengumumkan bahwa PT Jouska Finansial Indonesia melakukan kegiatan investasi ilegal, sehingga menyerukan pemblokiran akun dan aktivitas mereka. Merespons ini, tidak selayaknya perusahaan Manajer Investasi (MI) bernafas lega.
Keputusan tersebut diambil setelah SWI memanggil pendiri Jouska, yakni Aakar Abyasa, dan pengurus Jouska lainnya dalam pertemuan virtual. Pertemuan dilangsungkan lebih cepat dari sebelumnya, yang sempat diberitakan bakal berlangsung pekan ke depan.
Pada intinya, Jouska dilarang beroperasi mengelola dana nasabah, dilarang mengada di media sosial (dengan pemblokiran oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika), dan diminta mengembalikan dana nasabah yang ditanganinya.
Kabar ini menjadi klimaks dalam "drama" tiga hari terakhir mengenai aduan 80 nasabah Jouska kepada SWI dan maraknya pemberitaan di media massa mengenai nasabah yang protes karena merasa dirugikan dalam praktik jasa "financial advisory" Jouska.
Kasus ini juga menarik perhatian kalangan media sosial, karena Jouska dikenal sebagai idola milenal dalam hal pengelolaan keuangan dan investasi. Akun instagramnya, yakni @jouska_id kini diikuti 755.000 orang, mayoritas adalah anak muda. Sebelum skandal itu meledak, pengikutnya sempat terpantau mencapai 785.000. Artinya, 30.000 orang telah unfollow Jouska.
Angka ini tentu tak seberapa jika dibandingkan dengan selebgram Raffi Achmad dan Nagita Slavina (@raffinagita1717) yang diikuti 43,2 juta orang. Namun menurut penelusuran, akun Instagram Jouska masih paling populer di antara akun keuangan dan bisnis di Instagram.
Sebagai perbandingan, financial consultant Prita Hapsari Ghozie (@pritaghozie) saat ini diikuti 176.000 orang, financial trainer Ligwina Hananto (@mrshananto) diikuti 42.400 orang, sang Master of Financial Planner Safir Senduk (@safirsenduk) diikuti 35.100 orang, atau Aidil Akbar Madjid (@aidilakbarmadjid) yang diikuti 20.000 orang saja meski punya jam terbang 20 tahun sebagai financial planner.
Konten Jouska yang menghibur, edukatif dan secara bersamaan mendekatkan isu pengelolaan keuangan serta investasi dengan kehidupan dan isu keseharian anak muda berhasil memikat kaum milenial yang umumnya belum terlalu melek dan peduli dengan dunia pasar modal.
Selama ini, jika bicara soal 'investor' pasar modal, sontak kita akan mengacu pada kaum berduit, dengan setelan kemeja dan dasi yang bekerja di ruang ber-AC. Tak banyak yang berpikir bahwa "kaum rebahan" urban yang bekerja paruh waktu, freelance, atau karyawan staf dan hobi scrolling e-commerce serta nongkrong di warung kopi bisa dijadikan 'investor'.
Pada 2017, Alvara Research melapokan hasil temuan mereka bahwa 79,8% dari milenial di perkotaan memasukkan produk tabungan dalam top of mind mereka jika bicara keuangan. Asuransi dan investasi di nomor buncit. Artinya, mereka belum banyak yang melek investasi dan justru menjadi peluang untuk memperbesar basis investor nasional.
Jembatan Milenial ke Pasar Modal
Jika mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk usia muda (antara 16-30 tahun) pada 2019 diperkirakan berjumlah 64 juta orang, atau seperempat dari populasi Indonesia. Namun jika mengacu pada definisi milenial, yakni kelahiran tahun 1980-an ke atas, maka jumlah kaum milenal jauh lebih besar dari itu.
Menurut laporan BPS berjudul Profil Generasi Milenial 2018, jumlah generasi milenial mencapai 33,75% atau sepertiga lebih dari penduduk keseluruhan. Dari 67,02 % penduduk usia produktif, separuh atau 50,36% di antaranya adalah generasi milenial.
Di usia produktif, mereka bekerja dan memiliki penghasilan. Laporan IPSOS Indonesia berjudul "E-commerce Outlook 2018" menyebutkan bahwa 64% milenial yang jadi warganet atau netizen gemar bertransaksi atau belanja online.
Artinya, mereka ini kaum berduit, berdaya beli. Namun sayangnya, mereka tidak akrab dengan dunia investasi. Menurut survei Luno dan Dalia Research, nyaris 70% kaum milenial tidak memiliki strategi investasi. Blank.
Inilah ruang yang berhasil digarap oleh Jouska. Dia melakukan literasi keuangan terhadap kaum perkotaan, di mana angka literasi keuangannya baru sebesar 41,4% (per 2017). Tidak bisa dipungkiri, Jouska berhasil membangun jembatan yang membawa milenial ke pasar modal.
Ironisnya, Jouska--sebagaimana disebut SWI tadi malam--tidak memiliki izin usaha sebagai penasihat investasi, apalagi sampai mengelola dana nasabah. Izin yang mereka kantongi hanya sebagai perusahaan yang bergerak di bidang 'kegiatan jasa pendidikan lainnya'.
"Aktivitas ilegal" Jouska tersebut, yang berujung pada kerugian para nasabahnya, menjadi potret kegagalan industri manajemen investasi di Indonesia. Skandal Jouska muncul karena perusahaan MI tidak atau belum sukses menggarap apa yang disasar Jouska: pasar kaum milenial.
Ketakmampuan (atau ketakmauan?) mereka menggarap pasar ini menciptakan "ruang tak bertuan" di bisnis jasa pengelolaan keuangan yang akhirnya digarap perusahaan investasi bodong yang terus bermunculan, atau digarap perusahaan tak berizin seperti Jouska.
Bagaimana mungkin perusahaan dengan aset puluhan triliun seperti MI-MI raksasa itu tidak memiliki inisiatif menggarap kaum milenial sejeli Jouska?
Dari sisi dana, mereka tak ada persoalan untuk membangun jejaring di media sosial, meng-hire talent terbaik atau termahal untuk menciptakan konten menarik, guna menggaet pasar besar milenial (yang jumlahnya separuh dari kaum berpenghasilan di negeri ini).
Alih-alih membandingkan jumlah follower akun Instagram mereka dengan Jouska, kita justru bakalan dibuat bertanya-tanya: kenapa sih nggak banyak akun Instagram perusahaan MI dengan konten yang ringan seperti milik Jouska? Ngapain aja?
Seandainya perusahaan MI bisa melakukan apa yang diterapkan oleh Jouska, yakni memberi literasi keuangan dan investasi serta mengelola dana nasabah lewat berbagai produknya, maka tak ada aturan yang mereka langgar karena memang itulah lapak jualan perusahaan MI.
Ketika mereka mengelola dana nasabah, ada rambu-rambu yang harus dipatuhi di bawah pengawasan OJK, sehingga kecil kemungkinan blunder Jouska terjadi. MI seolah-olah terlalu asyik berjualan reksa dana, meyakini bahwa milenial akan terliterasi sendiri untuk mengetuk pintu mereka.
Tok.. tok.. tok..!!! Helloo??
(ags)