Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Mudik adalah bagian tak terpisahkan dari Lebaran atau Hari raya Idul Fitri, yang tahun ini diikuti tak kurang dari 18 juta warga Jabodetabek. Mengapa mudik masih relevan di era digital yang-semestinya-mempersempit jarak dan rentang waktu komunikasi?
Jumlah pemudik tahun ini memang masih simpang siur, antara proyeksi pesimistis Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan sebanyak 18 juta orang dan proyeksi optimistis Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi sebanyak 23 juta orang.
Tingginya jumlah pemudik ini setidaknya menunjukkan bahwa teknologi digital saja belum cukup mempererat komunikasi dan interaksi manusia. Sebagaimana kita ketahui, teknologi digital memungkinkan masyarakat untuk saling berkomunikasi secara
real time bahkan dengan fitur
video call. Tapi ternyata mereka masih ingin bertemu muka.
Mereka yang di Jakarta sebenarnya bisa langsung berkomunikasi dengan famili di Padang atau Papua tanpa hambatan, berkirim kabar berjam-jam dengan fasilitas layanan data di ponsel pintar yang kian murah. Ini semestinya menghapus problem yang diramalkan oleh Eric dan Mary Josephson dalam bukunya
Man Alone: Alienation in Modern Society (1962), yakni alienasi (keterasingan).
 Foto: Suasana Bandara Soekarno-Hatta h-1 lebaran (CNBC Indonesia/Monica Wareza) |
Namun, tahukah anda bahwa dengan keberadaan gawai, pola komunikasi manusia berubah menuju arah yang kian memperdalam alienasi itu? Betul bahwa komunikasi menjadi kian intens, tetapi ini tidak serta-merta menghapus problem alienasi karena intensitas yang ada cenderung membuat volume informasi membanjir sehingga berujung pada interaksi
cethek.
Kita bertukar kabar dengan famili misalnya untuk bertanya hal formal seputar kabar dan
update acara yang akan dihadiri. Tetapi belum tentu bertanya seputar apa yang terjadi dan dirasakan secara personal. Pertautan media sosial membuat famili, kawan, kolega, kenalan hingga artis idola berjajar dalam etalase gawai, berisikan
update tentang apa saja yang-belum tentu penting-tapi menarik kita untuk tahu (kepo).
Sejarawan Cambridge Peter Laslett dalam bukunya
The World We Have Lost (1965) menyebutkan: "Dulu, tepatnya lebih dari 200 tahun lalu, ada masa di mana seluruh perikehidupan kita berpusar pada keluarga, di wajah dan obyek yang kita cintai dan dekat, dan sekarang bergeser menjadi seluruh manusia."
Akibat makin banyaknya mitra dan obyek komunikasi di setiap individu, kesempatan untuk mengeksplorasi komunikasi dan membangun jembatan empati antara pelaku komunikasi pun berkurang. Banjir
update informasi membuat kita memilih mengecek berita dunia, politik atau artis serta status ratusan kenalan kita, sehingga mengurangi waktu khusus untuk teman dekat atau bahkan kerabat.
 Foto: CNBC |
Banjir informasi (tertulis dan visual) yang berkelindan dengan tingginya intensitas pola hidup modern membuat jurang alienasi itu kian menganga meski ada gawai pintar di tangan kita. Situasi ini dengan sangat apik digambarkan oleh Joseph Strand dalam
Do You Relly Get Me? (Finding Value in Yourself and Others Through Empathy and Connection) (2016).
Menurut dia, pola hidup digital memperlebar alienasi karena masyarakat terpola hidup sendiri,
self-service. Mulai dari cara makan (pesan via aplikasi), cara bepergian (pesan kendaraan via aplikasi), hingga cara komunikasi (intens berkomunikasi satu-persatu dengan ratusan kontak yang mungkin tak dikenal baik, karena mudah dilakukan dan tak perlu berkumpul secara fisik).
Intinya, masyarakat modern cenderung berkomunikasi dengan frekuensi lebih tinggi dan jangkauan lebih luas (ke seluruh dunia) di era digital, sehingga cenderung mengabaikan kesempatan untuk membangun jembatan empati dengan orang-orang terdekat guna mengisi ruang keterasingan jiwa mereka di alam modern.
Di tengah situasi demikian, tak mengherankan jika tradisi mudik di hari raya hingga kini masih berlangsung di Indonesia dan negara lain seperti Amerika Serikat (AS), India, Bangladesh, hingga China. Rongga-rongga alienasi itu masih ada dalam jiwa manusia modern, menciptakan dahaga untuk kembali ke akar mereka, yakni tanah kelahiran dan keluarga.
Mudik menjadi semacam terapi penyeimbang antara pemenuhan kebutuhan psikologis primordial dengan pemenuhan kebutuhan sosial yang kian mengglobal. Namun, terapi ini tidak akan berguna jika kita justru menciptakan alienasi baru lewat teknologi digital, bahkan ketika berkumpul dengan keluarga.
Jangan sampai ketika berkumpul dengan sanak famili, momen kebersamaan itu hilang ditelan riuh rendah aktivitas di kota seperti update status di sosial media, sibuk berbagi foto dan rutin mengecek mereka yang secara pribadi jauh secara fisik maupun hati.
Jika ini yang terjadi, maka efektivitas mudik dalam menghapuskan "alienasi fisik" pun terbuang sia-sia. Karenanya, untuk sekian waktu, matikan gawai dan berkomunikasilah dari hati ke hati dengan orang-orang terdekat anda, yang menjadi akar eksistensi dan esensi hidup anda.
Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Batin...
(ags/ags)