Siaga Perang Besar di Awal 2026, Rudal Nuklir Rusia Sudah Bergerak
Jakarta, CNBC Indonesia - Tensi perang Rusia-Ukraina kembali meningkat setelah Moskow mengumumkan penempatan sistem rudal terbaru yang mampu membawa hulu ledak nuklir di Belarusia. Langkah ini diumumkan hanya sehari setelah Rusia menuduh Ukraina melancarkan serangan drone berskala besar terhadap kediaman Presiden Vladimir Putin.
Kementerian Pertahanan Rusia merilis rekaman video yang memperlihatkan sistem rudal baru bernama Oreshnik bergerak perlahan di tengah hutan bersalju. Dalam video tersebut, tampak para prajurit menyamarkan kendaraan tempur dengan jaring berwarna hijau serta mengibarkan bendera di sebuah pangkalan udara di Belarusia timur, dekat perbatasan Rusia.
Penayangan video itu dipandang sebagai bagian dari upaya terkoordinasi untuk mengirim pesan intimidatif kepada Eropa, sekaligus menyiapkan opini publik domestik Rusia terhadap kemungkinan eskalasi lebih lanjut dalam perang yang telah berlangsung brutal melawan Ukraina.
Jika penempatan rudal tersebut benar terjadi, langkah ini secara simbolis akan memperpendek waktu tempuh rudal Rusia untuk mencapai ibu kota negara-negara Uni Eropa.
Dilansir The Guardian, Rabu (31/12/2025), Presiden Belarusia Alexander Lukashenko mengatakan bahwa sebanyak 10 sistem Oreshnik akan ditempatkan di negaranya. Pernyataan itu menyusul pengumuman Presiden Vladimir Putin pada Senin, yang menyebut sistem tersebut telah memasuki masa tugas aktif.
Pengumuman disampaikan Putin dalam pertemuan dengan para jenderalnya, di mana ia kembali menegaskan niat Rusia untuk merebut lebih banyak wilayah Ukraina, termasuk kota Zaporizhzhia di bagian selatan.
Sebelumnya pada hari yang sama, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov memperingatkan bahwa "pembalasan" akan dilakukan terhadap Kyiv dan bahwa target-target serangan sudah disiapkan.
Ancaman itu menyusul klaim Moskow mengenai serangan pada Minggu malam yang disebut melibatkan 91 drone Ukraina yang menargetkan istana kepresidenan Rusia di wilayah Novgorod.
Namun, hingga kini Kremlin belum menyertakan bukti untuk mendukung tuduhan tersebut. Juru bicara Putin, Dmitry Peskov, pada Selasa mengatakan tidak akan ada bukti yang disampaikan karena seluruh rudal atau drone disebut telah ditembak jatuh.
Ia juga mengaku tidak dapat menjelaskan ketiadaan puing-puing di lokasi yang diklaim menjadi sasaran serangan.
Kesaksian warga setempat justru memunculkan tanda tanya atas klaim Rusia. Menurut laporan media independen Rusia, Sota, warga di wilayah tersebut mengatakan tidak mendengar ledakan maupun suara tembakan sistem pertahanan udara. Tidak ada peringatan serangan udara yang dikeluarkan, dan tidak pula beredar rekaman ponsel yang menunjukkan asap atau api, sesuatu yang biasanya muncul dalam serangan yang benar-benar terjadi.
Dari pihak Ukraina, Menteri Luar Negeri Andrii Sybiha secara tegas membantah tuduhan Moskow. Ia menyebut cerita tersebut sepenuhnya direkayasa dan meminta negara-negara lain untuk mengabaikannya.
"Hampir satu hari berlalu, dan Rusia masih belum memberikan bukti yang masuk akal atas tuduhan mereka. Dan mereka tidak akan melakukannya. Karena tidak ada. Serangan semacam itu tidak pernah terjadi," tulis Sybiha di platform X.
Sybiha tidak secara langsung mengkritik Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang sehari sebelumnya menyatakan dukungan keras terhadap versi Rusia. Trump mengatakan Putin telah memberitahunya tentang serangan tersebut dalam sebuah percakapan telepon.
"Satu hal bersikap ofensif, karena mereka memang ofensif. Hal lain adalah menyerang rumahnya. Ini bukan waktu yang tepat untuk melakukan hal semacam itu," kata Trump.
Namun, Sybiha menyampaikan kekecewaannya terhadap India, Pakistan, dan Uni Emirat Arab setelah negara-negara tersebut menyatakan keprihatinan atas laporan serangan drone tersebut.
"Reaksi semacam ini terhadap klaim manipulatif Rusia yang tidak berdasar hanya bermain ke dalam propaganda Rusia dan mendorong Moskow untuk melakukan lebih banyak kekejaman dan kebohongan," ujarnya.
Di lapangan, komandan Ukraina mengatakan bahwa drone kamikaze Rusia kerap melintas di atas kompleks pemerintahan yang digunakan Presiden Volodymyr Zelensky saat menuju ibu kota. Seorang perwira, kepala unit pertahanan teritorial 112, mengatakan timnya menembak jatuh dua drone pada Sabtu di atas kediaman negara di Koncha-Zaspa, selatan Kyiv.
"Setiap kali ada serangan berskala besar, mereka terbang di wilayah kami. Selalu ada Shaheed. Cukup sering kami menembak jatuhnya di tempat ini," kata prajurit tersebut kepada The Guardian.
Ia juga membagikan sebuah video yang memperlihatkan drone musuh terbang rendah di langit musim dingin yang putih.
Di tengah eskalasi retorika dan ancaman militer, Ukraina berusaha menjaga fokus pada jalur diplomasi untuk mengakhiri konflik. Upaya ini mengikuti pertemuan selama dua jam antara Zelensky dan Trump pada Minggu di Florida.
Kedua pemimpin membahas rencana perdamaian 20 poin, di mana Amerika Serikat akan menawarkan jaminan keamanan pascaperang kepada Ukraina yang akan diputuskan melalui pemungutan suara di Kongres.
Namun, belum ada kemajuan terkait masa depan wilayah Donbas di timur Ukraina, yang menurut Putin harus diserahkan kepada Rusia. Zelensky dengan tegas menolak penyerahan wilayah. Ia mengusulkan pembentukan zona demiliterisasi yang dapat dikukuhkan melalui referendum, jika Rusia menyetujui gencatan senjata setidaknya selama 60 hari.
Zelensky mengatakan Rusia menyebarkan "berita palsu" karena pembicaraannya dengan Trump berlangsung "cukup berhasil" dan adanya kemajuan dalam beberapa pekan terakhir antara delegasi AS dan Ukraina. Rusia, menurutnya, melontarkan tuduhan karena tidak menginginkan "hasil positif apa pun bagi siapa pun dalam format ini".
Presiden Ukraina dijadwalkan bertemu para pemimpin Eropa pada 6 Januari di Prancis dalam sebuah konferensi yang diselenggarakan Presiden Emmanuel Macron. Pertemuan tersebut akan membahas kontribusi Eropa dalam kemungkinan operasi penjaga perdamaian.
Setelah itu, diperkirakan akan ada pertemuan lanjutan antara para pemimpin Eropa dengan Trump dan tim Gedung Putih di Washington.
(luc/luc)