Kronologi Perang Baru di Yaman, Sekutu Negara Arab Terbelah
Jakarta, CNBC Indonesia - Konflik Yaman kembali memasuki babak berbahaya sepanjang 2025. Di tengah gencatan senjata rapuh yang telah bertahan sekitar tiga setengah tahun, bentrokan baru justru muncul di dalam kubu yang selama ini sama-sama menentang pemberontak Houthi. Perang "di dalam perang" ini memperlihatkan retaknya aliansi pemerintah Yaman, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA).
Awal eskalasi terjadi pada 2025 ketika Dewan Transisi Selatan (Southern Transitional Council/STC), kelompok separatis yang didukung UEA dan selama ini menjadi mitra pemerintah, merebut sebagian besar wilayah strategis Hadramawt dan Mahrah.
Hadramawt dikenal sebagai provinsi terbesar sekaligus terkaya di Yaman, dengan cadangan minyak vital dan pelabuhan yang relatif aman dari serangan Houthi di Laut Merah.
Langkah STC memicu reaksi keras Arab Saudi. Riyadh menilai ekspansi separatis itu mengancam stabilitas perbatasan selatannya dan kepentingan strategis jangka panjang. Ketegangan memuncak pada Selasa, ketika koalisi militer pimpinan Saudi melancarkan serangan udara terhadap pengiriman senjata dan kendaraan tempur yang diduga dikirim UEA kepada STC. Abu Dhabi membantah tudingan tersebut.
Serangan itu menjadi titik balik. Dewan Kepresidenan Yaman segera membubarkan pakta pertahanan dengan UEA dan menetapkan status darurat nasional selama 90 hari. Di saat bersamaan, Arab Saudi mendesak pasukan separatis untuk mundur dari wilayah yang mereka kuasai. Namun STC menolak, bahkan bersumpah mempertahankan posisinya.
Situasi semakin rumit ketika UEA mengumumkan akan menarik seluruh pasukan yang tersisa dari Yaman. Meski demikian, seorang pejabat militer Yaman mengungkapkan sekitar 15.000 pejuang yang didukung Saudi telah berkumpul di dekat perbatasan, menandakan potensi eskalasi lanjutan meski belum ada perintah serangan darat.
Para pengamat menilai konflik 2025 ini berisiko besar meruntuhkan keseimbangan rapuh yang ada. April Longley Alley, peneliti senior Washington Institute, memperingatkan ketegangan ini dapat memperburuk hubungan dua sekutu utama AS, Arab Saudi dan UEA.
"Konfrontasi ini berisiko menggagalkan gencatan senjata tiga setengah tahun yang rapuh di Yaman," katanya, seperti dikutip Associated Press, Rabu (31/12/2025).
Di balik manuver militer, STC dinilai tengah mengejar agenda politik jangka panjang. Kelompok yang dipimpin Aidaros Alzubidi itu ingin memperkuat otonomi, bahkan membuka jalan bagi kemerdekaan Yaman Selatan, wilayah yang pernah berdiri sebagai negara sendiri hingga 1990.
"STC bertaruh bahwa jika Selatan dapat bersatu di bawah satu kepemimpinan, mereka bisa memanfaatkan pendapatan minyak dan gas serta menciptakan negara yang stabil," tulis Gregory D. Johnsen dari Arab Gulf States Institute, seraya mengingatkan langkah itu akan menghadapi perlawanan luas.
Bagi Arab Saudi, Hadramawt bukan sekadar wilayah kaya sumber daya. Provinsi ini memiliki ikatan historis dan ekonomi kuat dengan Saudi, karena komunitas Hadrami telah lama menjadi bagian penting dunia bisnis kerajaan.
"Jika saya adalah Arab Saudi, saya tidak akan bisa tidur nyenyak jika kehilangan Hadramawt," ujar Farea al-Muslimi, peneliti Chatham House.
Ke depan, kemampuan Riyadh untuk menghentikan separatis masih dipertanyakan. Pengalaman hampir satu dekade menghadapi Houthi menunjukkan keterbatasan intervensi militer. Meski medan selatan dinilai lebih terbuka, para analis menilai serangan udara saja tidak cukup.
"Serangan udara tidak akan pernah membuat perbedaan signifikan tanpa perang darat," tegas al-Muslimi.
Dengan sekutu yang saling berhadapan, konflik Yaman sepanjang 2025 menunjukkan bahwa perang ini bukan hanya soal pemerintah melawan Houthi, tetapi juga perebutan kekuasaan di antara mereka yang sebelumnya berada di sisi yang sama.
(tfa/tfa)[Gambas:Video CNBC]