Ketika Megathrust Menghantam, Tsunami Tewaskan 130.000-an Warga Aceh
Jakarta, CNBC Indonesia - Tak ada yang terasa berbeda di Aceh pada Minggu pagi, 26 Desember 2004, tepat hari ini 21 tahun lalu. Warga menjalani akhir pekan seperti biasa. Mereka berlibur, berolahraga, dan berkumpul bersama keluarga. Di berbagai daerah lain di Indonesia, suasana Natal yang masih hangat membuat pagi itu terasa syahdu.
Namun, semuanya berubah ketika jarum jam menunjukkan pukul 07.59 WIB.
Mengutip United States Geological Survey, gempa bumi dahsyat berpusat di wilayah Samudra Hindia di pantai barat Sumatra, Indonesia, tiba-tiba mengguncang Aceh dan terasa hingga Medan. Bangunan bergoyang hebat. Warga berhamburan mencari perlindungan. Dalam hitungan detik, rumah ambruk, jalanan terbelah, pohon dan tiang listrik roboh bersamaan.
Beberapa menit kemudian, guncangan mereda. Warga mengira bencana telah usai dan mulai bernapas lega. Kenyataannya, itu baru awal dari petaka yang jauh lebih besar.
Tak lama berselang, air laut di pesisir Aceh surut drastis. Warga yang belum memiliki pengetahuan kebencanaan tak memahami tanda tersebut. Saat itu, belum ada sistem peringatan dini tsunami, dan mitigasi bencana nyaris tak dikenal.
Banyak yang menganggap surutnya air laut sebagai peristiwa biasa. Padahal, bahaya besar tengah mengintai.
Benar saja, tak lama kemudian gelombang laut raksasa muncul dari kejauhan. Tingginya menjulang, setara bahkan melampaui pohon kelapa. Tak ada waktu untuk menyelamatkan diri.
Gelombang tsunami menyapu daratan, menenggelamkan warga dan meratakan apa pun yang dilaluinya-rumah, bangunan, kendaraan, hingga kehidupan yang dibangun selama bertahun-tahun. Dalam sekejap, kawasan pesisir berubah menjadi puing-puing.
Setelah gelombang pertama menelan begitu banyak nyawa, dunia terperangah melihat kedahsyatan bencana pagi itu. Aceh luluh lantak. Warga yang selamat kebingungan, tak tahu harus berbuat apa di tengah kehancuran total.
Sehari kemudian, terungkap bahwa pusat gempa bukan berada di Aceh, melainkan di Samudera Hindia. Kekuatan gempa mencapai 9,1 Skala Richter, menjadikannya salah satu gempa terbesar yang pernah tercatat dan bencana paling dahsyat di abad ke-21.
Energi gempa tersebut memicu tsunami yang menghantam banyak negara. Mulai dari Thailand, Sri Lanka, India, Myanmar, hingga Pantai Timur Afrika. Namun, Aceh menjadi wilayah yang terdampak paling parah. Di sejumlah titik, tinggi gelombang tsunami mencapai 30 meter.
Pasca-bencana, mata dunia tertuju pada Aceh dan India. Ucapan duka dan bantuan mengalir dari berbagai penjuru. Tercatat, 56 negara mengirimkan bantuan kemanusiaan dan menjadikannya sebagai Operasi Militer Non-Perang Terbesar pada Abad ke-21. Sempat beredar isu bahwa Israel termasuk salah satu donatur, namun Kementerian Luar Negeri Indonesia segera membantahnya.Â
Amerika Serikat menjadi negara dengan kontribusi terbesar. Mereka mengerahkan 14 ribu personel militer, 57 helikopter, dan 14 pesawat untuk misi kemanusiaan. Sejumlah negara lain juga mengirimkan pasukan, tenaga medis, serta bantuan logistik.
Indonesia sendiri saat itu tergolong gagap menghadapi bencana sebesar ini. Belum ada Undang-Undang Penanggulangan Bencana, sehingga koordinasi dan penanganan berjalan terbatas. Kondisi semakin sulit karena Aceh masih berada dalam konflik bersenjata, yang membuat wilayah tersebut relatif tertutup dan menyulitkan distribusi bantuan.
Beberapa bulan kemudian, skala tragedi itu baru benar-benar terpetakan. Sekitar 280 ribu orang di berbagai negara tewas akibat gempa dan tsunami Samudera Hindia. Menurut data BPBD, khusus di Aceh, korban jiwa mencapai 130 ribu orang, sementara sekitar 500 ribu penduduk kehilangan tempat tinggal. Kerugian ekonomi ditaksir mencapai Rp41,4 triliun.
Pemulihan pasca-tsunami Aceh bukanlah perjalanan singkat. Infrastruktur harus dibangun kembali dari nol. Rumah-rumah yang rata dengan tanah diganti, kehidupan sosial dan ekonomi perlahan ditata ulang. Proses ini memakan waktu bertahun-tahun.
Namun, dari tragedi tersebut lahir kesadaran baru. Tsunami Aceh menjadi titik balik pemahaman kebencanaan di Indonesia. Pemerintah dan masyarakat mulai menyadari bahwa Indonesia berada di wilayah rawan bencana dan tak bisa mengabaikan mitigasi.
Pada 2005, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Penanggulangan Bencana dan membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Langkah ini menjadi fondasi penting dalam upaya menghadapi risiko bencana di masa depan.
Pada akhirnya, tragedi Aceh mengajarkan satu pelajaran mahal. Hidup di negeri cincin api berarti belajar berdamai dengan alam.
(mfa/mfa)[Gambas:Video CNBC]