Big Stories 2025

Melihat Gonjang-ganjing Perang Dagang AS di Era Tarif Trump 2025

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
Kamis, 25/12/2025 22:00 WIB
Foto: Presiden AS Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping saat mengadakan pertemuan bilateral di Bandara Internasional Gimhae, di sela-sela KTT Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC), di Busan, Korea Selatan, 30 Oktober 2025. REUTERS/Evelyn Hockstein

Jakarta, CNBC Indonesia - Sepanjang 2025, dunia dilanda gonjang-ganjing perang dagang setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menjadikan tarif impor sebagai senjata utama kebijakan ekonomi dan luar negerinya.

Kebijakan tersebut membuat Washington silih berganti mengumumkan, menunda, menegosiasikan, hingga merevisi bea masuk terhadap hampir seluruh mitra dagang. Situasi ini memicu ketidakpastian global yang berimbas kepada pabrik mainan di China hingga petani kopi Brasil.

Trump menetapkan status darurat nasional terkait defisit perdagangan AS dan memberlakukan tarif impor baru berbasis kewenangan Undang-Undang Kekuasaan Ekonomi Darurat Internasional (IEEPA). Lewat kebijakan ini, AS mengenakan tarif dasar 10% ke hampir seluruh negara, disertai tarif tambahan terhadap mitra dagang tertentu.


Langkah tersebut memicu eskalasi perang dagang global. Meski demikian, Washington kemudian membuka jalur negosiasi dengan sejumlah mitra utama seperti Inggris, Jepang, Uni Eropa (UE), dan Korea Selatan, menciptakan dinamika tarik-ulur yang mewarnai hampir seluruh 2025.

Puncaknya terjadi pada 2 April 2025, saat Trump mengumumkan tarif timbal balik besar-besaran, atau yang disebut Gedung Putih sebagai "Hari Pembebasan". Dampaknya, tarif efektif rata-rata AS melonjak ke kisaran 16-17%, level tertinggi sejak era Depresi Besar 1930-an.

Kebijakan tarif ini mendongkrak penerimaan pemerintah AS secara signifikan. Sepanjang 2025, pendapatan dari tarif diperkirakan mencapai sekitar US$200 miliar (sekitar Rp3.160 triliun) secara kumulatif, atau sekitar US$30 miliar per bulan (sekitar Rp474 triliun).

Namun, biayanya ikut dirasakan masyarakat. Menurut Tax Foundation, tarif tersebut setara dengan kenaikan pajak rata-rata US$1.100 per rumah tangga AS (sekitar Rp17,4 juta) pada 2025 akibat kenaikan harga barang.

"Masih belum jelas seberapa tahan lama kebangkitan tarif sebagai alat geopolitik ini," kata analis kebijakan Cato Institute, Colin Grabow, seperti dikutip TRT World. Ia menilai kebijakan Trump lebih mencerminkan pendekatan personal presiden ketimbang kebangkitan proteksionisme luas.

"Dukungan publik terhadap perdagangan internasional tetap kuat, dan tarif tidak populer karena biayanya semakin terlihat," ujarnya.

Pandangan berbeda datang dari analis Beijing, Jianlu Bi. Ia menilai 2025 sebagai titik balik besar. Menurut Bi, AS beralih dari multilateralisme ke kesepakatan bilateral, memprioritaskan keamanan nasional, serta mempersenjatai tarif sebagai alat geopolitik.

"Kebijakan perdagangan Presiden Trump mewakili kebangkitan tarif paling agresif dalam hampir satu abad, secara efektif mengakhiri era liberalisasi perdagangan pasca-Perang Dunia II," katanya.

Tarik Ulur Tarif dengan China

Ketegangan paling tajam terjadi antara AS dan China. Trump menaikkan tarif impor terhadap produk China hingga 104% pada April 2025, sebelum kembali melonjak menjadi 125% menyusul langkah balasan dari Beijing. Dalam satu hari, China bisa menghadapi tarif ekstrem, lalu keesokan harinya Washington membuka ruang kompromi.

Ketegangan mulai mereda pada paruh kedua tahun setelah kedua negara menyepakati semacam gencatan senjata dagang. AS juga menunda pemberlakuan tarif tambahan atas semikonduktor China hingga Juni 2027, dengan tarif nol selama 18 bulan sebelum diterapkan secara bertahap-langkah yang memberi napas sementara bagi industri teknologi global.

Indonesia Sempat Terancam Tarif Tinggi

Indonesia turut terdampak gonjang-ganjing kebijakan tersebut. RI sempat masuk daftar negara yang terancam tarif hingga 32%, salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara. Namun, AS menangguhkan kebijakan itu selama 90 hari guna membuka ruang negosiasi.

Hasilnya, pada Juli 2025, tarif impor AS terhadap produk Indonesia disepakati turun menjadi 19%. Meski demikian, perundingan belum sepenuhnya rampung. Negosiasi lanjutan masih berlangsung hingga akhir tahun, dengan rencana penandatanganan perjanjian dagang lanjutan pada awal 2026.

Meski banyak ekonom sebelumnya memprediksi bencana ekonomi dan lonjakan inflasi, dampaknya relatif lebih terkendali. Ekonomi AS sempat terkontraksi moderat pada kuartal I-2025 akibat lonjakan impor sebelum tarif berlaku, namun kembali tumbuh didorong investasi besar di kecerdasan buatan dan konsumsi yang tetap kuat. Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan dua kali menaikkan proyeksi pertumbuhan global setelah ketidakpastian mereda.

Namun, warisan gonjang-ganjing perang dagang Trump belum berakhir. Tantangan hukum atas dasar penerapan tarif timbal balik masih bergulir di Mahkamah Agung AS, sementara masa depan hubungan dagang AS-China serta peninjauan perjanjian dengan Kanada dan Meksiko berpotensi membuka babak baru ketidakpastian pada 2026.

Satu hal jelas: sepanjang 2025, perang dagang Trump telah mengubah lanskap perdagangan global, dan dampaknya belum sepenuhnya usai.

Disclaimer:

Big Stories merupakan kumpulan berita lama dari CNBC Indonesia yang telah dipublikasikan sebelumnya dan disajikan kembali karena menjadi berita terpopuler dan paling banyak diminati sepanjang tahun 2025. Informasi yang dimuat tidak selalu mencerminkan kondisi atau perkembangan terbaru. Pembaca disarankan untuk meninjau tanggal publikasi dan mencari referensi tambahan untuk mendapatkan informasi terkini.


(tfa/tfa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Trump Mau Lacak Santa Claus di Seluruh Dunia, Ini Alasannya!