Mengenal Popular Forces, Musuh Hamas di Gaza-"Boneka" Israel
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemimpin milisi pro-Israel di Gaza, Yasser Abu Shabab, tewas setelah mengalami luka serius dalam bentrokan internal. Kematian komandan Pasukan Populer (Popular Forces) ini dinilai sebagai pukulan besar bagi strategi Israel membangun proksi Palestina untuk menekan Hamas.
Abu Shabab, pemimpin suku Badui Tarabin berusia 30-an, disebut meninggal akibat luka tembak dalam konflik dengan sebuah keluarga bersenjata kuat di Gaza.
"Komandan kami wafat karena luka tembak saat berupaya melerai perselisihan keluarga," demikian pernyataan Pasukan Populer. Mereka menolak laporan yang menyebut Hamas berada di balik kematiannya.
Sejumlah sumber lokal dan laporan media sebelumnya menyebut Abu Shabab tewas setelah menolak melepaskan sandera yang ditahan kelompoknya. Keluarga sandera dikabarkan menyerbu pangkalan Pasukan Populer, memicu baku tembak yang menelan korban di kedua pihak.
Hamas membantah terlibat. Juru bicara kelompok itu menyebut Abu Shabab sebagai kolaborator namun menegaskan, "Kami tidak bertanggung jawab atas kematiannya."
Proksi Israel Melawan Hamas
Popular Forces merupakan milisi terbesar dari sejumlah kelompok yang muncul selama fase akhir konflik dua tahun di Gaza, sebagian besar berkembang dengan dukungan Israel. Pada Juni lalu, PM Benjamin Netanyahu secara terbuka mengakui bahwa Israel mempersenjatai klan dan faksi anti-Hamas.
Israel awalnya berupaya menggandeng tokoh masyarakat dan tetua klan untuk membangun koalisi anti-Hamas, namun upaya itu gagal karena tekanan keras dari Hamas. Sebagai gantinya, intelijen Israel mulai merangkul individu dan kelompok bersenjata seperti Popular Forces.
"Yang kami lakukan ini bersifat kemanusiaan," ujar Abu Shabab dalam wawancaranya dengan The Guardian pada Juni. Ia juga menegaskan tidak bekerja "secara langsung" dengan militer Israel.
Popular Forces diketahui berkoordinasi secara intens dengan pasukan Israel dalam distribusi bantuan melalui Gaza Humanitarian Foundation, sebuah lembaga yang didukung AS dan Israel dan kini telah ditutup.
Namun, aktivitas kelompok-kelompok pro-Israel di Gaza juga memicu kontroversi. Banyak anggotanya dituding terlibat penjarahan konvoi bantuan, memunculkan pertanyaan apakah Israel menutup mata demi memperkuat proksi barunya.
Pada 18 November, kelompok ini merilis video puluhan anggotanya menerima perintah "membersihkan Rafah dari teror," merujuk pada pejuang Hamas yang diyakini bersembunyi di terowongan. Seminggu kemudian, mereka mengklaim menangkap anggota Hamas.
Belum ada komentar resmi dari pemerintah Israel mengenai tewasnya Abu Shabab.
Sementara itu, di tengah dinamika tersebut, rencana Gaza 20 poin Donald Trump yang mencakup pelucutan senjata Hamas dan pembentukan otoritas transisi dengan dukungan pasukan multinasional, belum menunjukkan kemajuan. Hamas menolak melucuti senjata, sementara tidak ada konsensus internasional soal pembentukan pasukan stabilisasi.
Perang di Gaza sendiri bermula dari serangan Hamas ke Israel pada 2023 yang menewaskan 1.200 orang dan menimbulkan penculikan sekitar 250 warga. Sejak itu, lebih dari 70.000 warga Palestina tewas dalam serangan lanjutan Israel, kebanyakan warga sipil, meninggalkan Gaza dalam kondisi hancur total.
(luc/luc)