China Bangun Pangkalan Militer Canggih Pulau Buatan dekat Perairan RI
Jakarta, CNBC Indonesia - Temuan terbaru dari analisis citra satelit mengungkap bagaimana Beijing memperkokoh kehadirannya di Laut China Selatan. Dalam beberapa tahun terakhir, tiga pulau buatan terbesar milik China di Kepulauan Spratly menunjukkan pembangunan fasilitas baru yang secara signifikan memperluas kemampuan intelijen, pengawasan, perang elektronik, serta pertahanan kawasan tersebut.
China tetap berkukuh menguasai sebagian besar Laut China Selatan dengan mengacu pada apa yang disebut sebagai "hak historis". Namun, dasar tersebut telah ditegaskan tidak memiliki landasan hukum dalam putusan Permanent Court of Arbitration di Den Haag pada 2016.
Dalam pernyataan pada Juli lalu, juru bicara Kementerian Luar Negeri China menegaskan kembali penolakan Beijing terhadap putusan arbitrase Laut China Selatan.
"Posisi China terkait 'Putusan Arbitrase 2016 di Laut China Selatan' konsisten dan jelas. 'Putusan' tersebut hanyalah selembar kertas bekas yang ilegal, batal demi hukum, dan tidak mengikat. China tidak menerima maupun mengakui 'putusan' tersebut, dan tidak akan pernah menerima klaim atau tindakan apa pun yang timbul dari putusan tersebut. Kedaulatan teritorial, hak, dan kepentingan maritim China di Laut China Selatan tidak akan terpengaruh oleh 'putusan' tersebut dengan cara apapun."
Sebagai bagian dari strategi memperketat kontrol, Beijing mempertahankan kehadiran konstan kapal perang dan penjaga pantai, didukung oleh terumbu karang yang telah direklamasi menjadi pos-pos dengan infrastruktur militer, termasuk landasan udara, radar, hingga sistem pertahanan.
Aktivitas tersebut kerap ditantang Amerika Serikat yang menjalankan operasi Freedom of Navigation serta patroli bersama para sekutu, termasuk Filipina.
The Asia Maritime Transparency Initiative (AMTI) di Center for Strategic and International Studies, sebuah lembaga kajian berbasis di Washington, D.C., mengatakan bahwa mereka mengidentifikasi sejumlah fasilitas baru di tiga pos terluar militer China, yakni Fiery Cross Reef, Mischief Reef, dan Subi Reef.
Fasilitas baru yang muncul sepanjang 2023 hingga 2024 menunjukkan tren peningkatan kemampuan perang elektronik dan sistem intelligence, surveillance, and reconnaissance (ISR) berbasis kendaraan.
AMTI mencatat bahwa dua radome baru dipasang di Subi Reef, dengan desain yang "nyaris identik" dengan radome yang telah dibangun di Fiery Cross Reef dan Mischief Reef sejak 2017. Struktur ini diyakini memberikan cakupan pengintaian luas dan saling tumpang tindih di seluruh kawasan Laut China Selatan.
Di Mischief Reef, analisis menemukan tiga set dari tiga emplasemen yang dibangun pada 2023. Struktur tersebut dinilai mampu menampung sistem senjata bergerak seperti artileri atau peluncur roket untuk memperkuat pertahanan pos tersebut.
"Peningkatan ini menggarisbawahi fakta bahwa fungsi utama pangkalan China adalah untuk menyediakan cakupan ISR yang tak tertandingi di Laut China Selatan, mendukung operasi penjaga pantai dan angkatan laut China di masa damai dan memungkinkan Beijing untuk menentang penggunaan spektrum elektromagnetik oleh pihak lain jika terjadi konflik," kata AMTI, dikutip dari Newsweek, Minggu (7/12/2025).
Selain China, Vietnam juga disebut memperluas reklamasi di fitur maritim yang dikuasainya di Kepulauan Spratly. Dalam pernyataan sebelumnya, Kementerian Luar Negeri China menegaskan keberatan terhadap pembangunan fasilitas oleh negara lain di pulau dan karang yang mereka anggap "diduduki secara ilegal".
(luc/luc)[Gambas:Video CNBC]