Generasi X - Milenial: Warga RI yang Paling Putus Asa Cari Kerja
Jakarta, CNBC Indonesia - Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia atau LPEM FEB UI mengungkapkan adanya golongan masyarakat yang tercatat sudah putus asa dalam mencari kerja di Indonesia.
Meski jumlahnya tidak signifikan, dan tidak mempengaruhi tingkat pengangguran terbuka alias TPT yang kerap dijadikan acuan pemerintah untuk menunjukkan perbaikan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia, namun memberi sinyal masalah ekonomi yang lebih dalam, seperti melemahnya mobilitas naik alias peningkatan status ekonomi, keterbatasan layanan penempatan kerja, atau meningkatnya mismatch antara keterampilan dan lowongan kerja.
"Dengan kata lain, angka yang kecil bukan berarti persoalannya sepele. Di banyak negara, lonjakan kecil dalam kelompok ini sering mendahului stagnasi partisipasi kerja atau naiknya informalitas, terutama ketika kelompok rentan merasa peluang yang tersedia tidak realistis untuk dicapai," dikutip dari Labor Market Brief LPEM FEB UI edisi November 2025, Selasa (2/12/2025).
Memanfaatkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS 2024-2025, tim ekonom LPEM FEB UI mengungkapkan, jumlah penduduk yang tidak bekerja dan tidak mencari kerja karena putus asa pada catatan per Februari 2025 sebesar 1,85 juta, naik sekitar 11% dibanding catatan per Februari 2024 sebesar 1,68 juta.
"Lonjakan belasan persen dalam satu tahun menunjukkan bahwa ada segmen penduduk yang bergeser dari posisi "mencari kerja" menjadi "menyerah", yang berarti kehilangan kepercayaan terhadap peluang pasar kerja yang tersedia," tulis tim ekonom LPEM FEB dalam kajian terbarunya itu.
LPEM FEB UI juga menyebutkan, kenaikan ini konsisten dengan sejumlah temuan lembaga pembangunan tentang sulitnya mencari pekerjaan berkualitas di Indonesia. Laporan Bank Dunia tentang Pathways to Middle Class Jobs menyimpulkan bahwa dua pertiga pekerjaan di Indonesia masih berada pada pekerjaan berproduktivitas rendah dan mayoritas tenaga kerja hanya berpendidikan menengah pertama atau lebih rendah.
Bank Dunia juga menekankan masih lemahnya sistem informasi pasar kerja dan layanan penempatan kerja di Indonesia, sehingga pencari kerja sering tidak memiliki informasi yang jelas tentang lowongan dan keterampilan yang dibutuhkan. Dalam konteks seperti itu, tim ekonom LPEM FEB UI menganggap wajar jika sebagian penduduk yang sebelumnya aktif mencari pekerjaan kemudian merasa upaya mereka tidak realistis untuk dilanjutkan.
Mereka juga menyebut, dari data per Februari 2025 lebih dari separuh kelompok putus asa berasal dari penduduk dengan pendidikan SD atau tidak tamat SD dengan porsi mencapai 50,07%.
Urutan kedua ialah lulusan SMP 20,21%, SMA 17,29%, SMK 8,09%, Diploma 1,57%, S1 2,42%, lulusan S2 dan S3 sekitar 0,35%.
"Angka ini menandakan bahwa hambatan struktural yang dialami kelompok berpendidikan rendah jauh lebih dalam daripada sekadar kurangnya lowongan. Mereka menghadapi kombinasi keterbatasan kemampuan dasar," menurut tim ekonom LPEM FEB UI.
Berdasarkan kelompok generasi, Generasi X dan kelompok yang lebih tua menjadi penyumbang terbesar putus asa dalam mencari kerja berdasarkan data Sakernas 2025, mencapai sekitar 38,17%. Setelahnya Generasi Milenial dengan porsi 24,56%, dan Generasi Z 24,09%.
Tim ekonom LPEM FEB UI mengungkapkan, ILO dan OECD mencatat bahwa diskriminasi usia yang tidak diakui secara formal sering menjadi alasan mengapa pekerja usia menengah menyerah lebih cepat setelah serangkaian kegagalan seleksi. eureka menghadapi tantangan untuk beradaptasi dengan perubahan teknologi, stereotip usia dalam proses rekrutmen, serta persaingan dengan pekerja yang lebih muda dan dianggap lebih mudah dilatih.
"Kelompok ini berada pada rentang usia yang secara umum dianggap matang secara karier, tetapi justru menghadapi hambatan yang membuat mereka berhenti mencari pekerjaan," sebagaimana tertera dalam Labor Market Brief LPEM FEB UI.
Berdasarkan wilayah, provinsi dengan angka absolut tertinggi penduduk yang tidak bekerja dan tidak mencari kerja karena putus asa berada di Jawa Barat dan Jawa Tengah yang masing masing mencapai lebih dari 300 ribu orang, disusul DKI Jakarta, Riau, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan. Lalu, 60% penduduk yang putus asa tinggal di wilayah perkotaan, sementara 40% berada di perdesaan.
Menurut tim ekonom LPEM FEB UI, dominasi angka di kota sekilas tampak berlawanan dengan asumsi bahwa perkotaan menawarkan peluang kerja yang lebih luas. Namun pola ini selaras dengan analisis provinsi, terutama di wilayah berpenduduk besar seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah yang mencatat jumlah putus asa tinggi dan memiliki konsentrasi angkatan kerja urban yang besar.
"Bank Dunia mengamati bahwa kota kota besar di negara berkembang sering menghadapi situasi di mana peluang kerja memang bertambah, tetapi akses terhadap peluang tersebut semakin tersaring oleh tingkat keterampilan," tulis tim ekonom LPEM FEB UI.
Masyarakat Perlu Dilatih
Untuk menangani masalah ini, LPEM FEB UI menilai, dalam jangka pendek pemerintah dapat memprioritaskan peningkatan informasi peluang kerja melalui pusat informasi lowongan terverifikasi di setiap provinsi dan kabupaten atau kota sehingga pencari kerja tidak lagi terjebak dalam misinformasi mengenai ketersediaan lowongan.
Layanan konseling kerja yang ditujukan terutama bagi pencari kerja berpendidikan rendah dapat memperbaiki persepsi mereka tentang peluang yang realistis serta memberikan arahan mengenai keterampilan yang dibutuhkan.
Program pelatihan singkat yang dirancang berdasarkan permintaan industri dapat membantu kelompok rentan memperoleh keterampilan cepat pakai, terutama di provinsi dengan angka discouragement tinggi.
Transisi sekolah ke kerja bagi Generasi Z perlu diperkuat melalui penempatan magang yang terstruktur agar lulusan baru memiliki pengalaman pertama yang lebih kuat. Selain itu, perluasan penyaluran lowongan dari UMKM ke portal pemerintah dapat memperlihatkan pasar kerja lokal yang lebih jelas bagi pencari kerja, terutama di wilayah urban.
Dalam jangka menengah, pemerintah perlu memperbarui kurikulum pelatihan vokasional agar benar benar selaras dengan kebutuhan industri dan mampu menghasilkan lulusan yang relevan dengan transformasi ekonomi.
Ekosistem layanan transisi kerja bagi pekerja usia menengah penting untuk dikembangkan di kota kota dengan tingkat discouragement yang tinggi agar pencari kerja usia tiga puluh tahun ke atas memiliki jalur adaptasi karier yang jelas.
Upaya mengurangi hambatan kerja bagi perempuan perlu dilakukan melalui penyediaan fasilitas penitipan anak di kawasan industri dan perkantoran di berbagai wilayah urban sehingga perempuan dapat tetap aktif di pasar kerja.
Konektivitas desa kota perlu diperkuat untuk memperluas mobilitas kerja, terutama di kabupaten yang bergantung pada pertanian dan masih terbatas akses transportasinya. Selain itu, peningkatan kualitas data pasar kerja melalui integrasi informasi lowongan, data pencari kerja, dan indikator underutilisation akan memungkinkan pemerintah memantau discouragement secara lebih presisi dan responsif.
(arj/haa)