Internasional

Chaos! Negara Krisis Uang 'Hilang', Warga Barter & Ngutang Demi Hidup

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
Senin, 01/12/2025 18:00 WIB
Foto: Sudan (AFP via Getty Images/-)

Jakarta, CNBC Indonesia - Lebih dari dua tahun perang saudara di Sudan melumpuhkan total sistem perbankan negara tersebut. Konflik memaksa warganya kembali ke sistem masa kuno yakni barter dan sistem utang-piutang untuk mendapatkan kebutuhan pokok.

Indikator keruntuhan ekonomi terlihat dari nilai tukar yang meroket drastis di pasar gelap. Nilai tukar 1 euro, yang sebelum perang bernilai 450 pound Sudan, kini melonjak hingga 3.500 pound (Rp 77 ribu) di pasar gelap.


"Saya belum memegang uang kertas selama lebih dari sembilan bulan," kata seorang warga bernama Ali, yang mengeluhkan sulitnya mendapatkan uang tunai.

Di kota Dilling yang dikepung dan di tempat lain, benda-benda rumah tangga dan pakaian digunakan sebagai alat tukar. Ali menceritakan bagaimana ia pernah menukar aset pribadinya demi makanan pokok.

"Saya pernah menukar cangkul dan kursi dengan tiga karung sorgum," ujar Ali merujuk sereal pokok di banyak bagian Afrika, dikutip AFP, Senin (1/12/2025).

Bahkan untuk layanan transportasi, tuk-tuk dan pengemudi sepeda motor sering dibayar dengan minyak atau sabun. Sementara keluarga menawarkan jagung, tepung, atau gula sebagai imbalan untuk layanan seperti perawatan kendaraan.

Runtuhnya sistem moneter berawal dari ibu kota Khartoum, di mana Bank Sentral Sudan (yang terhubung ke jaringan interbank SWIFT) dibakar dan kemudian diduduki oleh Pasukan Dukungan Cepat (RSF) selama hampir dua tahun. Dengan bank-bank tutup atau dijarah, dan brankas dikosongkan, ekonomi Sudan pun ambruk.

Situasi ini berbanding terbalik dengan harapan sebelum perang pada tahun 2023. Di mana sektor keuangan Sudan berada di ambang transformasi menuju pasar terbuka, yang mirip dengan model Kenya atau Ghana.

William Cook, seorang ahli dari CGAP, menyimpulkan perang telah menghambat banyak potensi kemajuan yang dimiliki oleh negara Arab Afrika itu. "Sayangnya, konflik telah menghentikan sebagian besar kemajuan ini," ujarnya.

Di tengah chaos, aplikasi digital Bankak milik Bank of Khartoum menjadi penyelamat bagi mereka yang berada di wilayah yang dikuasai tentara (SAF) dan memiliki koneksi internet, memungkinkan warga menerima gaji, bantuan, atau transfer dana dari kerabat di luar negeri. Namun, aplikasi ini juga dimanfaatkan oleh RSF, yang di Khartoum dikabarkan mengambil komisi hingga 25% untuk menyediakan uang tunai sebagai ganti transfer.

Sementara itu, warga di daerah yang sepenuhnya terputus komunikasi terpaksa mengandalkan sistem kredit kehormatan. Pedagang Abdelrahman mengatakan ia mencatat utang pelanggan di buku catata dengan harapan sistem pembayaran dapat kembali lagi bekerja.

"Anda bisa membayar ketika Bankak (akun transfer bank Sudan) berfungsi lagi," ujarnya.

Di daerah yang infrastruktur telekomunikasi runtuh, sistem satelit Starlink milik Elon Musk diselundupkan dan disewakan per jam, meski penggunaannya dilarang militer karena banyak dioperasikan oleh pejuang RSF. Kerentanan dalam sistem utang-piutang ini semakin besar mengingat banyak warga tidak memiliki dokumen identitas dan risiko uang hilang tanpa jaminan hukum sangat tinggi.

Saat ini, Sudan secara efektif terbagi antara wilayah yang dikuasai militer di utara, timur, dan tengah, dan wilayah yang dikuasai paramiliter di barat dan selatan, memperparah fragmentasi sistem moneter. Perang ini telah menewaskan puluhan ribu orang, menelantarkan 12 juta jiwa, dan menyebabkan negara itu menghadapi krisis kelaparan dan pengungsian terbesar di dunia.


(tps/șef)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Pemberontak RSF Umumkan Gencatan Senjata 3 Bulan di Sudan