Terungkap! Ratusan Eksportir Ngakalin Data Biar Bebas Pajak

Zahwa Madjid, CNBC Indonesia
Selasa, 25/11/2025 16:30 WIB
Foto: Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto dalam program CNBC Indonesia Squawk Box di Jakarta, Selasa (18/11/2025). (CNBC Indonesia/Tias Budiarto)

Denpasar, CNBC Indonesia - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengungkapkan maraknya praktik manipulasi modus penghindaran pajak yang merugikan penerimaan negara.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menjelaskan bahwa secara keseluruhan, terdapat 463 wajib pajak yang terduga melakukan manipulasi data untuk menghindari pungutan ekspor.


Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan 282 eksportir produk turunan Crude Palm Oil (CPO) yang diselidiki oleh DJP.

"Jadi targetnya dari kemarin 282 setelah kita coba telusuri ini ada sekitar dugaan ya ini masih dugaan, tentu ini Prejudice of Innocence itu sekitar 463 wajib pajak," ujar Bimo dalam Media Gathering di Kantor Wilayah DJP Bali, Selasa (25/11/2025).

Bimo menjelaskan modus lain yang dicurigai antara lain pengabaian kewajiban Domestic Market Obligation (DMO), kewajiban pajak dalam negeri, dan indikasi adanya dividen terselubung.

"Tentu tadi modusnya untuk menghindari penghutang ekspor kemudian kewajiban domestic market obligation kemudian pajak dalam negeri dan dugaan dividen yang terselubung," ujarnya.

Sebagai informasi, Bimo sebelumnya menjelaskan terdapat berbagai jenis pelaku under invoicing atau mis-invoicing, di sektor CPO. Mulai dari perusahaan perdagangan murni, pedagang yang terafiliasi dengan pabrik kelapa sawit, hingga pabrik sawit berstatus eksportir.

"Jadi kalau kita lihat, memang modusnya itu mis-invoicing. Bisa under, bisa over, tergantung tujuannya seperti apa. Penghindaran pajaknya, penghindaran pajak-pajak atas ekspor, bea keluarnya seperti apa," ujar Bimo dalam acara Squawk Box CNBC Indonesia, Selasa (18/11/2025).

Dari data Ditjen Pajak, tercatat volume transaksi yang diduga dimanipulasi mencapai Rp 2,8 triliun dari 25 perusahaan, dan Rp 49,8 triliun dari 257 perusahaan lain. Dari aktivitas ekspor yang terjadi sepanjang 2025, potensi kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 140 miliar.

Perhitungan tersebut diperoleh dari sinkronisasi harga dan penelusuran terhadap penggunaan kode HS. Ditemukan, banyak eksportir yang melaporkan CPO sebagai fatty matter maupun POME, komoditas turunan CPO yang tidak dikenakan bea keluar.

"Jadi seharusnya CPO itu dikenakan biaya keluar sekian, kemudian revenue-nya juga dari sisi perpajakan sekian, ternyata dilaporkan sebagai fatty matter. Yang mana tidak kena bea keluar, kemudian juga pungutan ekspor yang lain juga tidak kena. Sehingga transaksi yang dilaporkan pun akan jauh di bawah harga transaksi yang sesungguhnya," ujarnya

Sebagai tindak lanjut, DJP kini tengah melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan (Bukper) terhadap PT MMS dan tiga perusahaan afiliasinya, yaitu PT LPMS, PT LPMT, dan PT SUNN, untuk memastikan kepatuhan perpajakan dan kebenaran nilai transaksi yang dilaporkan.


(mij/mij)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Banjir Landa Malaysia, 18.000 Warga Mengungsi