Kisah Deden, Pelopor Kopi Panas Bumi Pertama di Dunia dari Kamojang

Elga Nurmutia, CNBC Indonesia
Senin, 24/11/2025 16:38 WIB
Foto: Dok Pertamina Geothermal Energy

Jakarta, CNBC Indonesia - Terletak di kawasan Cincin Api Pasifik, Indonesia memiliki potensi panas bumi yang sangat besar, mencapai sekitar 40% dari total cadangan panas bumi dunia. Kamojang menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah panas bumi Indonesia.

Sejak dieksplorasi pada 1926, Kamojang tak hanya konsisten menyuplai energi bersih, melainkan mencatat sejarah baru sebagai tempat lahirnya inovasi kopi pertama di dunia yang diproses dengan uap panas bumi. Dalam hal ini, Muhammad Ramdhan Reza Nurfadilah, atau yang lebih dikenal dengan sapaan Mang Deden, merupakan pelopor yang menghadirkan inovasi tersebut.

Sejak tahun 2023, Deden bersama para pelaku usaha lokal memanfaatkan kekayaan alam kampung halamannya dengan dukungan dari PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) (PGEO), yang telah beroperasi di Kamojang sejak 1983.


Awal mula berbisnis kopi


Sebelum mencetuskan inovasi kopi panas bumi, Deden telah menjalankan usaha kopi sejak 2015, termasuk mengelola kedai kopi sendiri. Tak hanya itu, Deden pun turut aktif menjadi Ketua Karang Taruna Kecamatan Ibun, Bandung, sehingga kedainya sering menjadi tempat berkumpul warga dan pekerja PGE untuk bersantai dan berbagi cerita.

Sejak menjalin hubungan baik dengan karyawan PGE Area Kamojang, Deden kerap terlibat dalam obrolan santai seputar kopi. Obrolan itu pun berkembang menjadi gagasan nyata ketika PGE menyampaikan keinginan memulai program pembinaan kopi, yang disambut Deden dengan antusias.

"Waktu itu saya anggap ide tersebut menjadi tantangan. Saya melihat potensi panas bumi sebagai peluang untuk menjadi solusi dari berbagai permasalahan yang dihadapi para produsen kopi konvensional," jelasnya, dikutip Senin (24/11/2025).

Lahirnya kopi panas bumi

Bersama PGE, Deden melakukan riset intensif untuk menemukan teknik fermentasi yang paling sesuai dengan karakter panas bumi dalam pengolahan kopi. "Saya melakukan riset fermentasi selama hampir setahun. Dari lebih dari 20 jenis proses yang dicoba, akhirnya kami menemukan tiga metode yang paling sesuai dengan karakter pengeringan," ungkapnya.

Setelah itu, Deden mulai memproduksi kopi dari biji Arabika yang tumbuh di dataran tinggi Kamojang, sekitar 1.500 meter di atas permukaan laut. Ia kemudian mengajak pelaku usaha kopi setempat untuk membangun ekosistem bisnis yang lebih efisien lewat teknologi 'Geothermal Dry House', yang memanfaatkan steam trap panas bumi dari PGE sebagai pengganti sinar matahari untuk proses pengeringan yang lebih stabil, higienis, dan berkualitas.

Secara bisnis, teknologi ini unggul karena mempercepat waktu pengeringan hingga tiga kali lipat, sehingga efisiensinya bisa mencapai 300%. Alhasil, biaya operasional lebih hemat dan kapasitas produksi meningkat tanpa menambah waktu atau biaya.

"Hal ini juga meminimalkan risiko kontaminasi bakteri dari luar. Dengan begitu, bakteri yang berpengaruh terhadap proses hanya berasal dari fermentasi sebelum pengeringan. Dari sisi cita rasa, hasil akhirnya jadi lebih fruity, aromanya lebih kuat, dan teksturnya pun terasa lebih lembut dibandingkan kopi yang diproses secara konvensional," terang dia.

Saat ini, Deden memimpin Geothermal Coffee Process (GCP) dan berkolaborasi dengan PGE untuk memberdayakan petani kopi di Kamojang. GCP mengolah biji kopi pascapanen hingga menghasilkan green bean, bermitra dengan 80+ petani dan menyerap 20 ton kopi pada musim lalu. Ke depan, Deden menargetkan GCP menjadi usaha terintegrasi yang memberi dampak sosial dan ekonomi lebih luas bagi komunitas.

Pada tahun pertama peluncuran, Deden mengatakan ada pihak dari luar negeri yang tertarik untuk meniru sistem ini. "Kami merasa penting untuk segera mematenkannya. Daripada konsep ini diadopsi pihak luar terlebih dahulu, lebih baik kita kembangkan di dalam negeri. Kami ingin agar masyarakat Indonesia, khususnya di daerah penghasil kopi yang dekat dengan sumber panas bumi, bisa lebih dulu menerapkan konsep serupa," harap Deden.

Inilah yang mendorong semangat Deden untuk mengenalkan kopi panas bumi sebagai inovasi asli Indonesia ke tingkat global. Usaha tersebut membuahkan hasil, karena GCP berhasil menembus pasar internasional dengan mulai mengekspor produknya ke Jepang. Tahun ini, mereka bahkan menargetkan perluasan ekspor ke wilayah Eropa.

"Sejak awal, teman-teman di PGE Kamojang selalu percaya dan memberi semangat agar saya terus mencoba hal-hal baru. Kolaborasi ini bukan cuma soal melahirkan kopi panas bumi pertama di dunia, tapi juga jadi pintu bagi kami, pelaku usaha lokal, untuk berkembang, belajar, dan bermimpi lebih besar. Kami makin merasakan manfaat panas bumi, bukan cuma sebagai sumber listrik di rumah, tapi juga sebagai pintu yang membuka peluang hidup lebih baik lagi," kata dia.

Berbekal latar belakang sebagai lulusan SMK Farmasi, Deden kini tengah menjajaki peluang melanjutkan kuliah S1 lewat program beasiswa dari PGE. Ia memilih jurusan manajemen bisnis untuk mewujudkan impiannya dalam membangun usaha berkelanjutan adalah tantangannya.


(rah/rah)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Demi Ekonomi 8%, PGE Incar Investasi Panas Bumi USD 6 Miliar